Mohon tunggu...
Meliana Aryuni
Meliana Aryuni Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis pemula yang ingin banyak tahu tentang kepenulisan.

Mampir ke blog saya melianaaryuni.web.id atau https://melianaaryuni.wordpress.com dengan label 'Pribadi untuk Semua' 🤗

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Karena Bahasa

16 Maret 2023   21:19 Diperbarui: 16 Maret 2023   21:25 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lengkap sudah penderitaanku, Mas. Masa' pedagang-pedagang di pasar pakai bahasa Jawa semua," keluhku kepada mas Budi beberapa saat setelah pulang dari pasar.

Bukan hanya sekali ini aku diajak menggunakan bahasa dan dialeg Jawa. Sejak aku dan mas Budi merantau di desa paling ujung Sumatra Selatan, aku selalu menemukan orang yang bercakap-cakap menggunakan bahasa Jawa. Padahal mereka adalah penduduk asli di sini dan bahasa mereka berbeda sekali.

Oh iya, ada beberapa suku yang mendiami desa ini, seperti suku asli, yaitu Bayur, suku Ranau, Batak, Sekayu, Palembang, Sunda, dan Jawa. Di antara suku-suku itu, suku Jawa mampu mendominasi penduduk desa dari bahasa dan adat istiadatnya.

Suamiku, mas Budi memang orang Jawa, tepatnya orang Solo. Namun, sejak aku menikah dengannya sampai sekarang ini, dia jarang sekali menggunakan bahasa Jawa dalam keseharian kami. Kami selalu menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi di rumah.

Pernah suatu kali mas Budi memintaku untuk menggunakan bahasa Jawa saat di rumah.

"Alah ribet banget si Mas. Entar bakalan enggak selesai-selesai deh ngomongnya. Aku pasti akan banyak bertanya," tolakku kepada mas Budi. Lelaki itu tersenyum, seolah-olah sedang mencari ide untuk menggolkan keinginannya itu.

"Entar kalau Mas marah, Mas mau pakai bahasa Jawa aja ah," ucap lelaki itu tak mau kalah setelah beberapa menit berselang. Namun, dia buru-buru berhenti ketika aku menantangnya.

"Oke, kalau begitu aku akan menggunakan bahasa kerajaanku!" Tak kalah sengit aku mempertahankan pendapatku. Pikiranku tidak boleh diribetkan dengan masalah bahasa saja. Ada banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan, bukan hanya pemakaian bahasa, pikirku saat itu.

"Ngape ngakak, Yung? Ape suek sen, yek?" Dengan santai kuucapkan kalimat itu. Bahasa kerajaan ibuku itu membuat mas Budi melonggo dan terlihat kaget mendengarkannya. Aku tersenyum, lalu pergi meninggalkan mas Budi yang bingung dengan ucapanku tadi.

"Syukurin, baru tahu rasanya bingung, 'kan?" ucapku pelan sekali meninggalkan mas Budi.

***

"Bu Ranti, besok kita rewang di tempat bunda Darmi, ya. Pekan ini beliau akan menikahkan anaknya," ajak Tanti, tetangga di seberang rumahku. Sebelum bu Tanti mengajak, yang punya hajatan, bu Darmi telah lebih dulu datang ke rumahku. Beliau memintaku seminggu ini untuk membantu masak di acara pernikahan anaknya.

"Baik, Bu. Nanti aku ke rumah, ya. Kita bareng ke sana, ya, Bu," ucapku mengakhiri pertemuanku di warung sayur mbok Inah, yang letaknya tepat di depan rumahku. Suamiku yang melirik dari teras memperlihatkan wajah masamnya. Kulayangkan seutas senyum paling manisku kepada dia, lalu aku berbalik arah. Dengan sigap kutangkap senyuman itu.

"Kenapa sih ngintip? Kalau mau tahu, ikutan aja kenapa. Enggak bakal ada yang marah kok. Justru ngintip itu yang bikin sebal!" ujarku saat masuk ke rumah. Mas Budi diam saja, lalu kembali menonton TV. Ahad kali ini mas Budi banyak diam. Pagi-pagi sekali biasanya dia mencuci motor, tetapi kali ini tidak dilakukannya.

"Mbok yo iling toh, Bu. Belanja kok turu," omel mas Budi, dengan mata yang masih menatap TV. Aku terkesiap.

"Apa, Mas?" tanyaku tak mengerti.

"Yo, ora wani aku," balasnya. Aku tambah bingung. Ucapannya yang pertama saja sudah membuatku bingung, ditambah lagi dengan yang kedua ini. Kepalaku mendadak mumet.

Kudekati mas Budi. Kucubit tangannya. Kesal juga aku melihat tingkahnya pagi ini.

"Apa sih maksudnya? Mas marah sama aku?" tanyaku sambil menatap matanya. Namun, tatapanku selalu dihindarinya.

Begitulah mas Budi, dia akan menggunakan siasatnya yang paling jitu untuk mengomeliku.  Awalnya sih aku tidak begitu memedulikan semua ucapannya, tetapi senyum mas Budi membuatku curiga. Aku betul-betul penasaran dengan maksud kata-katanya.

"Emang ucapan mas tadi itu apa artinya?" tanyaku ingin tahu. Bukannya menjawab pertanyaanku, mas Budi malah tertawa.

"Hush! Orang mau belajar kok diketawain," omelku kesal.

Mas Budi menarik tanganku dan mengajakku duduk di kursi. Sepertinya kali ini akan ada pembicaraan serius antara aku dan mas Budi. Semoga kali ini rasa penasaran terjawab oleh lelaki itu.

"I love you. Itu artinya," jawabnya cengegesan. Tak menunggu lama bagi tanganku untuk mencubit pipinya. Gemas juga aku dibuat oleh lelaki ini. Mas Budi terlihat kesakitan dan aku pergi dengan senyum kesal.

***

Kuketuk pintu rumah bu Tanti yang sudah terbuka lebar. Rencananya, hari ini aku mulai ikut rewang di rumah bu Darmi. Seperti janjiku kemarin, kami akan berangkat bareng ke rumah bu Darmi.

"Ya Allah, Ibu sudah siap. Bentar, ya, Bu. Saya ganti baju dulu," ucap bu Tanti malu ketika melihatku. Aku duduk di teras dan menunggu bu Tanti berganti baju.

"Oh, iya, Ibu bawa pisau 'kan?" tanya bu Tanti. Ternyata, dia lupa membawa pisau. Bu Tanti lalu kembali masuk rumah.

"Sekali lagi maaf, ya, Bu," ucap bu Tanti kembali. Aku menganggukkan kepala dan kami pun menuju rumah bu Darmi.

Dari kejauhan, rumah bu Darmi sudah terlihat ramai. Anak-anak tampak berkeliaran dan berkejaran. Para lelaki sudah berkumpul untuk membuat panggung.

Aku dan bu Tanti langsung menuju dapur bu Darmi. Di sana para ibu sudah siap dengan pisau dan bumbu untuk dimasak pada hari itu. Rumah besar bu Darmi terlihat sumpek karena dijejali oleh para ibu yang ingin ikut membantu.

Berbagai bahasa asing di telingaku mulai terdengar. Semua orang memakai bahasa yang sama, yaitu bahasa Jawa. Aku terhenyak. Tak ada satu pun isi pembicaraan mereka yang dapat kumengerti. Sebab itulah aku lebih memilih duduk diam sambil mengupas bawang.

"Mangan dulu, Bu," ucap bu Darmi kepada kami. Aku melongo. Entah apa maksud ucapan itu. Bu Tanti seakan mengerti kebingungan yang sedang aku hadapi.

"Ayo, Bu. Enggak enak kita sudah disuruh makan. Nanti kita lanjutin lagi," ujar bu Tanti berdiri kembali. Oh, ternyata 'mangan' itu artinya makan. Aduh, kok bahasa mudah kayak gitu aja aku enggak ngerti. Pokoknya aku harus bisa bahasa Jawa, tekadku.

Kejadian di rumah bu Darmi membekas di pikiranku. Sepanjang perjalanan aku mencari cara untuk mengerti dengan cepat bahasa Jawa. Apakah aku harus menarik ucapanku kepada mas Budi. Ah, tensin aku.

Setelah pulang dari rumah bu Darmi, aku segera mencuci kaki dan tanganku, lalu kuambil gawaiku dan kuketik 'kamus bahasa Jawa' di sana. Aku menemukan situs Wiktionary.org di sana. Saat ini bagiku menemukan kamus bahasa Jawa adalah sesuatu yang sangat berharga. Sepertinya, aku tidak akan dibohongi lagi oleh mas Budi. Aku pun akan mengerti maksud pembicaraan orang lain, yang isinya mungkin saja mengejekku.

Aku mulai membaca kata yang diawali dari huruf 'a'. Beberapa kata terdengar umum di telingaku. Ada beberapa kata yang menurutku harus kuingat dan kuberi stabilo hijau padanya. Aku tersenyum membayangkan mas Budi yang akan terkejut mendengar aku memakai bahasa Jawa.

"Mulih omah kok maen hape toh, Bu," omel mas Budi. Langsung saja kucari kata 'mulih' di kamus. Aku tersenyum, aman. Mas Budi tidak mencelaku.

"Adus sono, mambu embek," omelnya kembali. Aku segera mencari kata 'adus' di kamus. Oh, kali ini mas Budi sedikit menyindirku. Kudekati mas Budi sambil tetap tersenyum.

"Mambu asem gini Mas tetap tresno podo aku toh?" balasku sambil mendekatkan tubuhku kepada lelaki itu. Kubiarkan ketiak bauku menyebarkan aroma 'sedap' kepada mas Budi. Sambil menutup hidungnya, kulihat wajah lelaki itu tampak kaget mendengar kalimat yang kuucapkan.

"Wow, apik tenan boso Jowonyo, Bu!" serunya sambil bertepuk tangan. Aku mendengus kesal, mas Budi seakan mengejekku kembali.

"Cup ... ojo nesu tho, Bu," bujuk mas Budi, yang tiba-tiba menggendongku ke kasur.

"Apa, Mas ngatain aku 'asu'!" teriakku kesal.

"Buka 'asu', tapi 'nesu', Bu," sangkalnya. Buru-buru kucari kata itu di kamus. Ah, ternyata aku yang salah!

Sebagai permintaan maafku, kuberikan kecupan sayang di dahinya dan mas Budi pun membalas hal yang sama padaku. Meskipun penggunaan bahasa ini terkesan biasa saja, tetapi sering terjadi kesalahpahaman antara satu orang dengan orang lain karena bahasa.

"Mulai hari ini Mas harus ngajarin aku bahasa Jawa. Aku enggak mau ketipu karena tidak mengerti bahasa." Mas Budi tersenyum kembali. Keinginannya menggunakan bahasa Jawa di rumah akhirnya bisa terlaksana. Aku berharap ketika sudah memiliki anak nanti, aku sudah bisa mengajarkan mereka dengan beragam bahasa di negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun