"Berarti belum buka, Mak. Ini baru ngaji di masjid raya. Sebentar lagi kita buka. Ayo, siap-siap!" ucap Bapak.
Emak meletakkan hidangan di atas meja dan dibantu Tari. Mulutnya ikut melantunkan 5 ayat pertama pada surat Al Baqarah yang terdengar dari radio. Bapak memang rajin menyetel radio setiap ramadan. Kata Bapak, ceramah Zainuddin MZ yang ada di radio itu selalu membuat Bapak tertawa sekaligus berpikir.
Bapak juga suka menyetel radio bila ada berita. Tari, Emak, dan Bapak selalu beributan untuk memilih channel pilihan. Namun, pemenangnya adalah Tari. Hanya saja, ketiadaan TV di rumah itu membuat radio begitu diidolakan oleh penghuni rumah. Maklum, Bapak belum bisa membeli TV. Lagi pula, menurut Bapak radio lebih enak daripada TV.
"Udah bedug tuh, Pak. Udah matikan radionya!" ucap bocah itu sambil sedikit teriak karena kaget mendengar suara bedug dari radio.
Semua segera menuju meja makan dan mengambil satu kurma untuk disantap. Kemudian, segelas teh hangat pelepas dahaga. Ah, berhasil juga puasa hari ini, pikir bocah itu.
"Nanti setiap mau buka, sejam atau 2 jam sebelum buka, radionya dinyalakan, ya. Biar suasana ramadan kita itu asyik," celoteh Bapak sambil mengunyah kurma.
"Iya, Pak, tapi Emak mau dengerin lagu loh, Pak," Emak langsung menimpali.
"Emak, masak dangdutan terus sih!" Tari tidak mau mengalah.
"Pokoknya, khusus ramadan saja, dari pukul 4 sampai magrib, kita dengarin ceramah. Oke!" Itu keputusan Bapak. Meskipun Emak dan Tari tidak menyukainya, mereka harus rela karena Bapak tidak selalu menyetel radio seperti mereka.
"Baiklah, Pak," jawab Tari lesu. Bapak yang mengunyah makanan harus menahan diri melihat wajah putrinya yang lucu. Memang seharusnya Tari dan Emak mengikuti saran Bapak kalau tidak bagaimana mengisi ramadan tanpa amal ibadah.
Begitulah radio di keluarga Tari. Pada saat itu radio menjadi alat komunikasi yang sangat efektif. Semua pemberitaan, apa pun itu akan disiarkan melalui radio. Dengan mendengarkan pembawa berita di sana, Bapak bisa mengikuti perkembangan zaman.