"Loh, kok dimatikan sih? Emak 'kan mau dengar radio juga," sambar Emak sambil mencari channel dangdut kesukaannya. Emak hapal betul channel kesukaannya itu. Lalu, Emak segera membesarkan volume radio. Ada lagu Hamdan ATT di sana. Emak ikut melantunkan lagu itu sambil sedikit mengoyangkan kepala.
Tari tak peduli dengan aksi Emak. Dia segera mengambil piring dan makan dengan lahap. Sedari tadi dia tidak mau beranjak dari kursi rotan, takut ketinggalan cerita.
"Emak, ayo makan sini sama Tari!" teriak Tari. Ternyata, bocah itu tidak mau makan sendiri.
"Emak, udah nyanyinya! Berisik!" Tari berkomentar, tetapi Emak tidak bergeming dari depan radio.
"Emak, pelankan sedikit volumenya!" Tari berteriak kembali. Namun, Emak tetap tidak mendengar. Akhirnya, Tari menutup salah satu telinganya sambil membawa piring ke dapur. Di sana suara radio tidak terlalu keras.
Sambil mengunyah orek tempe dan cah kangkung buatan Emak, bocah itu terus tersenyum. 'Ah, andai saja dia bisa seperti Meisin. Aduh, betapa cantiknya dirinya'. Namun, bayangan itu buyar  saat dia terdengar suara Emak memanggilnya.
"Iya, sebentar, Mak," jawab bocah itu buru-buru. Tari segera berlari mendekati si Emak.
"Ada apa, Mak?" tanya Tari setelah berada di dekat Emak. Dia berusaha mengecilkan volume radio.
"Tolong ambilkan teh Emak di meja makan, ya," pinta Emak. Tari menggeleng dengan bibir mengerucut. Ah, Emak! Kira bocah itu ada sesuatu yang sangat penting. Ternyata, Emak hanya kehausan saja. Apa enggak bisa ambil sebentar, toh lagunya bisa terdengar sampai meja makan toh? Pikir Tari kesal.
Ups! Tari jadi ingat, barusan saja dia rela keroncongan hanya karena ingin mendengarkan sandiwara radio. Kini giliran Emak kok dia harus marah. Tari menelan ludah dan mengambilkan teh yang dipinta Emak.
***
"Diam dulu dong. Bapak belum mendengar azan nih. Di masjid juga belum azan. Apa sudah buka, ya?" tanya Bapak tiba-tiba keluar dari kamar. Beliau beranjak menuju radio. Sambil memutar tombol channel, Bapak mendekatkan telinganya ke radio.