Menyedihkan sekali tayangan yang saya lihat 2 hari ini di Kumparan.com, Suara.com, dan beberapa media online lainnya. Tayangan yang menampilkan tindak kekerasan para pelajar di beberapa tempat. Saya pribadi mengecam keras atas tindakan seperti itu.
Tayangan pertama adalah ulah dari segelitir pelajar yang sengaja memasangkan helm ke salah satu pelajar yang sedang duduk, lalu seorang pelajar dari belakang memukul dan menendang pelajar berhelm itu hingga terjatuh.
Tayangan pertama, yaitu ada beberapa pelajar di Tapanuli Selatan terdengar tertawa saat menendang seorang nenek di tepi jalan. Entah apa yang dilakukan oleh si nenek ini (dari salah satu sumber beliau adalah ODGJ). Padahal ODGJ juga manusia, 'kan? Para pelajar ini menghentikan motornya di tepi jalan, lalu salah satu pelajar yang berada di depannya menendang si nenek hingga membuat nenek itu terjatuh ke aspal. Sungguh tidak terlihat sedikit pun rasa kemanusiaan di antara pelajar ini. Tega sekali, coba kalau mereka berpikir yang ditendang itu adalah ibu mereka?
Kedua kejadian tadi hanya sebagian kecil yang dipublikasikan. Padahal, dalam dunia nyata perilaku preman seperti ini kerap kali terjadi, seperti perkelahian antar pelajar karena memperebutkan pacar, pemalakan, saling sahut atau ejek-mengejek yang berujung perkelahian, dan masih banyak yang lainnya.
Miris, satu kata yang bisa saya sematkan untuk perilaku buruk tersebut. Para pelajar dengan statusnya sebagai orang yang diberikan ilmu seharusnya tidak melakukan tindakan tidak terpuji itu. Namun, kenyataannya mereka menjadi preman dan penentu hukuman di antara teman-temannya.
Siapa yang Salah?
Akan banyak perdebatan dalam menentukan siapa yang harus disalahkan bila pelajar itu melakukan tindak kejahatan? Apakah orang tua yang salah? Mungkinkah guru? Dapatkah masyarakat juga memiliki andil dalam tindak kekerasan pada pelajar ini?
Para orang tua dan guru pasti tidak ingin disalahkan bila anak atau siswanya bermasalah. Mereka akan menuding kalau mereka tidak berbuat salah. Padahal, bila dirunut, maka ada jejak mereka padanya. Namun, kita perlu menyelidiki apa yang sesungguhnya terjadi. Apakah  kurikulum juga mempengaruhi perilaku buruk pelajar ini?
Keluarga, Pondasi Utama Pembentukan Perilaku Anak
Seorang anak akan meniru pada perilaku kedua orang tuanya. Sebab, sampai usia 5 tahun anak-anak akan diasuh dan dididik sepenuhnya oleh orang tua. Pada masa ini orang tua yang memahami tentang mendidik pasti akan memberikan pendidikan yang baik untuk anaknya dalam bentuk perbuatan nyata.
Anak yang melihat orang tuanya selalu bersedekah akan lebih mudah untuk menolong atau memberikan sedikit rezeki kepada orang lain. Perilaku orang tua ini akan berimbas sampai anak memahami pentingnya berbagi. Anak yang melihat orang tuanya perapi (suka hal yang rapi) akan berusaha merapikan mainannya sendiri.
Semua itu terjadi bila si anak berada pada lingkungan keluarga yang mengerti arti mendidik. Berbeda bila seorang anak berada pada keluarga yang serba sibuk, yang tidak terlalu memikirkan adab dan moral anaknya. Ditambah lagi dalam keluarga tersebut mengalami kesulitan ekonomi. Fokus orang tua bukan lagi pada pendidikan, tetapi beralih pada masalah perut.
Pada banyak kasus di sekolah, siswa-siswa yang bermasalah itu berasal dari keluarga yang kurang mampu dengan orang tua yang sibuk. Selain itu, faktor lingkungan masyakat yang buruk pun bisa menjadi pemicunya.
Saya dulu memiliki siswa yang suka sekali bertengkar dan mengganggu teman di kelas. Perilaku itu terjadi hampir setiap hari. Melihat perilakunya yang tidak baik itu, saya melakukan home visit ke rumah siswa tersebut. Beberapa penemuan akhirnya membuahkan kesimpulan di pikiran saya.
Dari pertemuan dengan orang tua siswa itu, saya baru tahu bahwa yang membuat siswa tersebut berperilaku buruk  karena memiliki orang tua yang otoriter, tinggal di lingkungan pasar, dan memiliki teman-teman yang disebut preman. Jadi, sungguh wajar bila siswa itu berperilaku buruk seperti itu karena banyak faktor yang melatarbelakanginya
Pentingnya Belajar Adab
Di mana pun saya mengajar, masalah adab selalu didahulukan, seperti memberi salam, tersenyum, berkata dan bersikap sopan dengan guru dan orang tua, juga bermain yang baik dengan teman sebaya. Ada satu hal yang saya lakukan setiap masuk kelas dan sebelum belajar. Saya akan bertanya, 'Sudahkah salat subuh hari ini?'
Bagi saya pertanyaan itu sangat penting bagi para siswa. Betapa pentingnya mengawali pagi dengan beraktivitas yang baik-baik, apalagi aktivitas yang dimaksud adalah ibadah.
Saya tahu salat subuh tidak bisa menjadikan seseorang untuk berbuat baik. Hal itu bila tidak didasari dengan keyakinan bahwa salat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Namun, bila seseorang mengerti esensi salat, maka keadaan akan berubah. Mereka akan memulai dengan kebaikan dan akan mengakhiri dengan kebaikan pula.
Pertanyaan 'Sudah salat subuh belum?' kepada para siswa bukanlah pertanyaan yang sesungguhnya. Dibalik pertanyaan itu, saya ingin para siswa konsisten melakukan kebaikan setiap hari. Jika perilaku mereka sudah terpola atau terbiasa dengan kebaikan yang saya anjurkan, maka tujuan mencegah diri perbuatan keji dan mungkar akan terwujud. Adab yang baik pun akan sering terlihat dalam keseharian mereka.
Apakah hanya dengan sebuah pertanyaan seperti itu adab seseorang pelajar berubah menjadi baik? Tidak. Seorang guru harus mau melakukannya setiap hari dan memberikan aturan dalam kelas. Menjaga ketertiban di kelas dalam bentuk perilaku dan perkataan yang baik harus betul-betul menjadi perhatian para guru dan orang tua. Kepedulian keduanya sangat penting untuk membuat anak konsisten pada perilaku baiknya.
Guru Sering Dipojokkan dengan Permasalahan Anak
Sebagaimana tujuan mendidik, yaitu dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak bisa menjadi bisa, dan dari yang tidak baik menjadi baik seharusnya dipahami betul oleh para orang tua dan guru. Di sini letak kerja sama orang tua dan guru dalam menghadapi anak yang bermasalah di kelas. Para orang tua jangan selalu menyalahkan guru atas perilaku anaknya di sekolah. Sebab, bisa jadi perilaku itu di sekolah adalah katarsis dari pencapaiannya di rumah.
Banyak banget loh anak yang berasal dari keluarga berada dan merasa tertekan psikisnya mendadak berubah drastis di sekolah. Yang tadinya disebut anak mami, mendadak menjadi 'preman pasar'. Orang tua kadang tidak peduli tentang anak. Mereka tahu anaknya itu baik, penurut, tidak banyak tingkah. Kenyataannya, di sekolah dia menjadi biang kerok semua masalah.
Ketika seorang guru berusaha mengkomunikasikan masalah tersebut kepada orang tua, malah yang didapatkan oleh guru adalah kemarahan. Paling parah itu adalah membawa masalah yang ada ke jalur hukum. Padahal, orang tua tersebut begitu 'miskin' dalam memahami anaknya sendiri.
Bahagia Guru itu Saat Anak Berubah Menjadi Baik
Seseorang sangat bisa berubah, tinggal menunggu waktunya saja. Siswa yang berperilaku buruk pun bisa berubah, asal diberikan treatment berupa hukuman yang membuat jera. Misalnya, tayangan pelajar yang menendang nenek di pinggir jalan. Meskipun mereka itu pelajar, mereka harus ditindak tegas. Tindakan yang diberikan dimaksudkan untuk memberikan efek jera pada mereka.
Oleh karena itu, hukuman untuk para pelajar ini harus betul-betul dipikirkan. Hukuman penyadaran akan tindakan buruk yang mereka lakukan pun tidak bisa sembarangan. Saat pemberian hukuman pun perlu melibatkan orang tua dan pihak sekolah. Bila hukuman itu berdampak positif pada perubahan perilaku mereka, ah, betapa bahagianya.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H