Mohon tunggu...
Meliana Aryuni
Meliana Aryuni Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis pemula yang ingin banyak tahu tentang kepenulisan.

Mampir ke blog saya melianaaryuni.web.id atau https://melianaaryuni.wordpress.com dengan label 'Pribadi untuk Semua' 🤗

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pengganti dari Allah

7 Februari 2021   16:03 Diperbarui: 7 Februari 2021   16:48 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bu, bolehkah Andi merawat kucing ini?" tanyanya kepada Ibu sambil menggendong kucing kecil berwarna hitam, yang ujung keempat tangannya berwarna putih.

"Ih, kucing siapa itu?" Ibu balik bertanya.

"Tadi Andi lihat di depan pagar rumah kita, Bu. Kasihan, Bu. Dari tadi dia mengeong terus," jelasnya.

"Tuh lihat, tubuhnya kotor kan?" Ibu memperhatikan bercak lumpur di bagian kaki belakangnya.

"Kan bisa kita bersihkan, Ibu," renggek Andi.

"Apa kamu mau bertanggung jawab?"

"Andi mau merawatnya, Bu."

"Tidak gampang merawat kucing. Kamu harus memberinya makan, minum, memandikannya, dan mengajaknya bermain," jelas Ibu kepada anak kelas empat SD itu.

"Andi mau, Bu. Lihatlah betapa cantiknya dia," ungkap Andi sambil menggendong si kucing hitam ke depan wajah Ibu.

"Ih, iya. Nanti Ibu yang mandikan ya. Sekarang kamh cuci tangan dan beri dia makan." pinta Ibu.

Andi memberikan makan pada kucing hitam kecil itu.
"Kasih ikan sama nasi ya, Nak! Letakkan tempat minum di sampingnya!" ucap Ibu.

Andi melaksanakan apa yang Ibu katakan.
"Sudah, Bu. Sepertinya dia mau tidur. Dia boleh tidur dengan Andi, Bu?"

"Sementara, biarkan dia di luar. Kan dia belum mandi."

"Oh, iya ya."
Andi meletakkan si kucing di dalam kardus di teras.

Kucing kecil itu mungkin buangan dari orang di sekitar rumah Andi. Memang banyak sekali yang suka membuang kucing di depan rumahnya. Namun, baru kali ini Andi berniat untuk merawat si kucing. Mungkin muka si kucing hitam yang sangat imut dan menggemaskan.

Saat Andi tidur siang, Ibu diam-diam memandikan si kucing hitam dengan air dari bak. Si kucing mengeong kaget. Tidur Andi menjadi terganggu. Dia bangun dan mencari sumber suara kucing.
"Ibu, mengapa tidak bilang kalau hari ini mau memandikan kucing?"

"Ibu tidak tahan. Ibu takut nanti dia membawa penyakit," jawab Ibu.

"..., tapi mengapa dia mengeong dan tubuhnya gemetar, Ibu."

"Itu biasa. Sebentar lagi pasti dia akan seperti semula. Kalau dia sudah terbiasa, mandi itu tidak lagi membuatnya kedinginan," jelas Ibu. Andi diam karena dia tidak mengerti tentang kucing. Baru kali ini dia mau merawat kucing. Ibu mengambil kain yang tidak dipakai lalu membungkusnya pada tubuh si kucing.

***
"Ibu, sepertinya kucingnya sakit. Dia kok tidak mau makan. Kasihan, Bu." Andi melihat si kucing tidak menyentuh makanan yang dia sediakan. Padahal pada nasi yang disediakan itu, Andi sudah memberi banyak ikan di sana.

Ibu mendekat dan melihat si kucing.
"Apa karena dimandikan kemarin ya, Ndi?"

"Ini semua gara-gara Ibu! Kucing Andi jadi sakit," Andi marah kepada Ibu. Ibu merasa kasihan dan mengambil sedikit susu lalu memasukkannya kr dalam mulut si kucing.

"Dia tidak mau makan. Ini semua kesalahan Ibu!" Andi sangat marah kepada Ibu.

"Nak, bukan mau Ibu kalau si kucing sakit. Ibu hanya ingin si kucing sehat. Jadi, Andi bisa bermain dengannya. Ibu tidak takut untuk membiarkan si kucing masuk rumah."
Andi berlalu dan masuk ke kamar.

Di kamar, Andi menangis. Rasa sayang pada si kucing yang baru ditemukan beberapa hari membuatnya marah kepada Ibu.
"Nak, maafkan Ibu ya."  Suara Ibu terdengar dari balik pintu. Andi tidak menjawbnya. Dia hanya menangis dan menyesali kejadian itu.

***
Keesokan harinya, tubuh si kucing semakin lemas. Andi juga semakin sedih. Air susu yang diberikan Ibu sudah tidak bisa lagi ditelannya. Air susu itu mengalir membasahi lantai. Hati Andi bertambah sedih.
"Bu, kita bawa ke dokter hewan saja, Bu," pinta Andi.

"Di sini belum ada dokter hewan, Nak. Kalau ada, Ibu pasti sudah membawanya. Kalaulah rumah kita di kota, pasti akan mudah mencari dokter hewan."
Mendengar ucapan Ibu, harapan Andi untuk kesembuhan si kucing semakin hilang.

"Nak, semua yang hidup pasti mati. Yang bisa kita lakukan adalah berusaha semampunya. Jika setelah berusaha, belum ada perubahan, maka itu takdir yang harus kita terima." Andi menangis melihat si kucing meringkuk di kardus.

"Kamu merasa sedih, Ibu tahu. Kadang apa yang buruk menurut kita, ternyata itu adalah yang terbaik dari Allah. Yakinlah, pilihan Allah adalah yang terbaik untuk kita," nasihat Ibu. Andi masih menangis, tetapi suaranya mulai mereda. Dielusnya badan si kucing. Rasa sayang kepada si kucing semakin terasa.

"Pus, jika kematianmu memberikan kebaikan, aku rela," ucap Andi lirih bersama dengan air yang mulai mengalir lagi.

"Ya Allah, aku rela pus Kau ambil kembali. Aku rela ya Allah. Biarkan kami bertemu nanti di surga-Mu," doa Andi.

Tak lama berselang, dada si kucing terlihat kembang kempis. Tubuh kurus itu menegang dan terdengar erangan. Si kucing sudah tidak lagi bernapas, tubuh kurusnya mulai dingin. Andi membungkus tubuh si kucing dengan sisa kain dan menguburkannya bersama Ibu di kebun.

"Maafkan Andi yang marah kepada Ibu karena Pus sakit ya, Bu." ucap Andi disambut pelukan Ibu.

***
Meong-meong-meong!

"Bu, ada kucing lagi! Cepat, Bu. Nanti dia lari!" teriak Andi saat mendengar suara kucing dari balik pintu depan.

"Wah, warnanya abu-abu, Nak. Ayo, kita ambil!" Ibu dan Andi bergegas membuka pintu dan berniat membawa masuk si kucing dari pagar. Kucing itu terlihat bersih. Sepertinya sangat terawat.

"Maaf, Tante. Saya ambil ya kucingnya," ucap anak perempuan yang tiba-tiba berlari mengambil si kucing.

"Oh, ini kucing kamu ya. Cantik sekali ya."

"Iya, Tante. Di rumah masih ada tiga. Kalau Tante mau, nanti saya bawa satu buat Tante," kata anak itu sambil menggendong dan mengelus si kucing.

"Wah, Tante senang sekali. Andi pasti suka. Iya kan, Ndi?" tanya Ibu. Andi tersenyum gembira. Akhirnya dia mendapatkan pengganti si hitam.

Tidak menunggu lama, anak perempuan yang bernama Nina sudah membawakan seekor anak kucing berwarna kuning.
"Bu, cantiknya kucing ini. Andi senang, Bu. Terima kasih ya, Mbak."

Si anak perempuan tersenyum. Setidaknya dia tahu, si kuning berada di tangan orang yang menyayanginya.
"Nah, kan. Allah Maha Baik. Dia akan memberikan yang terbaik jika kita menerima dan bersabar pada takdir-Nya."

Apapun perkataan Ibu, Andi tetap menggendong si kuning. Kali ini Andi menciumnya.
"Terima kasih ya, Allah."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun