Mohon tunggu...
Meliiinn
Meliiinn Mohon Tunggu... Pelajar

Self healing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Our Plottwist Journey

15 April 2023   16:11 Diperbarui: 15 April 2023   16:12 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

    Perjalanan mendaki gunung adalah hal yang cukup menegangkan bagi kami. Sebelumnya, kami menganggap bahwa mendaki gunung adalah hal yang mengerikan. Apalagi bagi kami yang masih sangat asing dengan pendakian gunung. Karena selama ini yang tersebar di sosial media tentang pendakian adalah hal-hal yang berbau mistis. Tapi disisi lain, kami yakin bahwa perjalanan mendaki gunung mengandung nilai-nilai intelektual. Sampai akhirnya kami memutuskan memilih Gunung Prau sebagai gunung pertama yang kami daki. Selain karena lokasinya yang dekat dengan tempat tinggal kami, juga konon katanya memiliki view yang "wadidaww".

     Ketegangan pun dimulai sejak kami meminta izin kepada orang tua masing-masing dan mendapat respon yang tak terduga. Karena melihat pengalaman sebelumnya, orang tua kami tergolong orang tua yang strict parent's. Untuk menginap di rumah tetangga saja, kami sampai harus meminta bantuan semesta untuk ikut merayu orang tua kami agar kami diizinkan. Tapi di sini kami benar-benar dibuat melongo dengan respon orang tua kami yang welcome dan tidak seperti biasanya. Saking herannya, kami sampai berpikir apakah orang tua kami baru saja mendengarkan kajian tentang pendakian atau pecinta alam.

     Ketegangan selanjutnya terjadi saat kami meminta saran kepada teman-teman pecinta alam tentang rencana pendakian saat musim penghujan. Mereka semua berkata bahwa mendaki saat musim hujan menyebabkan "kematian". "usah ndaki leh, pamaneh wayah koiki. Paskae nyg kudanan gede, banjir tekan tenda, SB ne teles, angine gede ne pok koyo tornado, tendane pan kawor, wes koyo pan mati. Opo meneh kalian pemula si? Ora pernah ndaki? Wes ora usah! Kapan kapan wae nek cuaca wes aman",kata salah satu teman toxix kami. Dari semua perkataan mengerikan itu, kami benar-benar tidak bisa berpikir lagi untuk kembali melanjutkan rencana pendakian. Karena kami sangat terpengaruh dengan perkataan teman-teman kami yang jauh lebih berpengalaman dan mengerti keadaan gunung.

     Seketika semangat kami luntur, 3 bulan rencana kami di pondok sia-sia. Halu- halu kami tentang pengaturan urutan barisan, menggambar peta lokasi yang benar-benar hanya mengandalkan imajinasi, dan berbagai kekocakan kami lainnya yang hancur lebur tak bermakna. Kami benar-benar menyerah dengan keadaan yang tidak bersahabat.

      Tapi sebenarnya, kami tetap ingin merealisasikan perjalanan tersebut. Karena ini merupakan bagian dari self healing untuk kami yang sedang dilanda keresahan. Tapatnya, quarter life crisis yang kebanyakan sedang melanda remaja seusia kami. Akhirnya kami tetap memaksakan perjalanan kali ini. Dari grup WhatsApp yang awalnya "gagal muncak" berubah nama menjadi " muncak apapun yang terjadi". Kami benar-benar mengesampingkan risiko dan benar-benar mengandalkan kenekatan belaka.

     Perjalanan pun dimulai. Tepatnya, perjalanan ternekat kami pun dimulai. Kami ber empat dengan perencanaan yang sangat tidak matang, akhirnya memutuskan untuk jadi mendaki Gunung Prau.

     Sabtu, 15 Oktober 2022. Hari yang ditentukan pun tiba. Orang-orang yang tadinya berjanji akan mendampingi kami tiba-tiba pada hari itu membatalkan semua rencana. Kami pun langsung putar otak dan memikirkan cara agar kami tetap mendaki. Setelah begitu banyak teman yang kami hubungi, jawaban mereka justru, " muncak Karo cah wedok we ngrepoti tok" "cah wedok we beban". Ah menyakitkan sekali. Mereka malah seakan-akan meojokkan kami dengan perkataannya. Itulah yang menjadi alasan kami kembali membatalkan rencana pendakian.

     Sampai pukul 12 siang, kami tenggelam dalam aktivitas masing-masing. Sebagian dari kami ada yang sedang cek out shopee, ada yang sedang izin sama ayammm, ada yang memilih sajadah cuple dengan tetangga, dan melupakan rencana 3 bulan yang agaknya akan ambyar mak pyar.

     Tiba-tiba salah satu dari kami teringat dengan tawaran dari kakak teman kami. Beliau menawarkan transportasi dan menjadi guide kami di gunung nantinya. Sebut saja beliau Mas Asep. Mas-mas baik hati dan sayang istri. Akhirnya setelah menghubungi beliau dan bernegosiasi sesingkat mungkin, ya walaupun terjadi perdebatan biaya diantara kami, namun akhirnya itu menjadi secercah harapan bagi kami.

     Padahal waktu itu kami belum mempersiapkan perlengkapan pribadi, logistik, dan persiapan lainnya. Kami pun bergegas mempersiapkan segala sesuatu yang kami perlukan. Berbagai dramapun terjadi. Mulai dari mencari alamat palsu tempat penyewaan alat mendaki, peralatan yang tidak tersedia, tersesat ketika mencari alamat lain, motor yang tidak layak pakai dan bertempur melawan dinginnya cuaca bumi Bawang dengan menahan rasa lapar yang berkepanjangan.

     Pukul 3 sore, kami baru sampai di tempat penyewaan. Padahal dalam jadwal yang sudah disepakati, seharusnya kami sudah berangkat. Di tempat penyewaan, kami mendapatkan spoiler jalan dan apa saja yang harus kami lakukan di sana. Tepatnya di basecamp kali lembu, tempat yang akan kami tuju.

     Saat kami menanyakan apakah ada sepatu muncak yang bisa disewa, ternyata yang tersisa hanya sepatu muncak untuk laki-laki dan berukuran 2 kali lipat untuk ukuran kami. Karena tidak ada pilihan lain, sedang mas Asep sudah menunggu terlalu lama, akhirnya kami tetap menyewa sepatu tersebut.

     Namun betapa terkejutnya kami ketika tiba-tiba mendapat chat dari mas Asep bahwa ternyata beliau hanya bisa mengantar sampai basecamp. Tidak sampai puncak. Wah masalah lagi nih, ga kebayang jika kami hanya berempat. Tapi karena persiapan yang sudah matang, dan perlengkapan yang sudah dibeli dan disewa, mau tidak mau kami harus tetap melanjutkan perjalanan. Walaupun sebenarnya di dalam relung hati yang paling dalam dan di bawah alam sadar kami sangat ragu.

     Setibanya di rumah, kami mendapati mas Asep sudah menunggu sejak tadi. Sedangkan masih ada perlengkapan yang belum kami persiapkan. Juga belum mengatasi kelaparan akut sejak tadi pagi. Padahal makanan sudah tersedia sejak pagi. Kami pun membagi tugas. Dua diantara kami melengkapi perbekalan logistik, dan dua lainnya menata barang-barang yang akan dibawa. Salah satu diantara kami berinisiatif menanyakan cara mendirikan tenda. Karena teringat chat mas Asep yang berkata jika beliau tidak jadi ikut naik. Namun jawaban beliau malah kontradiksi dengan pernyataan tadi. "wes ora usah belajar, nyong Milu Munggah kok". Jawaban mas Asep benar-benar membuat kami lega, karena sebenarnya kami masih sangat ragu.

     Tibalah waktu Maghrib dan kami masih belum berangkat. Sangat ngaret dari jadwal. Ketika sedang secepat kilat menata segala perlengkapan dengan perasaan tegang dan terburu-buru, Sampai sholat Maghrib kami pun bersamaan dengan adzan berkumandang. Tidak menunggu adzan selesai. Tiba-tiba mas Asep berkata,"apaa... esok bae pa?" Dengan logat khas Kesrug nya yang melekat. Mendengar ucapan mas Asep, kami langsung terdiam dan saling menatap dengan tatapan kecewa tanpa ada satupun diantara kami yang menjawab pertanyaan mas Asep.

     Tak terbayangkan perasaan kami saat itu, ketika susunan alam semesta sudah sedemikian rapi,tertata dan sudah tinggal tancap gas, seketika ditewaskan oleh ucapan beracun tersebut. Bukan tanpa alasan, kami sekecewa ini karena sebenarnya kami dikejar waktu keberangkatan pondok pesantren, karena durasi liburan kami sudah sangat mepet. Dan malam itu adalah rencana keberangkatan yang paling tepat. Selain karena bertepatan dengan malam Minggu yang katanya banyak pendaki yang naik, kami memilih malam hari juga karena sebagian dari kami harus berpuasa. Agaknya terlalu menyiksa jika kami melakukannya siang hari.

     Melihat kekecewaan kami dan wajah ndluyub wagu kami, akhirnya mas Asep dengan berat hari mengiyakan. Alhamdulillah, kami pun kembali bersemangat meskipun belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Semangat banget dong kami ketika mendengar keputusan mas Asep yang jadi berangkat malam itu juga. Sampai-sampai saking semangatnya, kami sudah memakai seluruh perlengkapan dari dalam rumah. Carier yang sudah terpasang di punggung, kaki yang sudah terbalut kaus kaki dan sepatu kebesaran, senter yang sudah stand by di kepala, dan tracking poll yang sudah berdiri tegak di tangan.

     Sekitar pukul 6 sore, pick up kami mulai melaju. Sedang asyik-asyiknya menikmati perjalanan dengan keheranan over karena kenekatan yang hampir tercapai, tanpa diduga mobil kami berhenti pada sebuah rumah yang berada di perkampungan sepi. Lalu mas Asep keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah tersebut tanpa memberi penjelasan sepatah katapun kepada kami. Kami sangat kebingungan tiba-tiba berhenti di planet asing yang tidak kami kenali. Tak berselang lama, mas Asep keluar bersama dua pemuda berpawakan tinggi besar dengan berpakaian gelap. Kami hanya menerka-nerka dengan pikiran yang kacau.

     Setelah itu, mas Asep hanya berkata, "mbak mangke dianter mas niki ke basecamp". Speechless dong kami, ternyata mas Asep tidak jadi ikut dan otomatis tidak ada yang mendampingi kami mendaki. Kami pun hanya bisa pasrah ketika mendengar pesan dari mas Asep "seng penting nek nggawe tenda pasake seng kuat" padahal bentuke tenda pun kita ora ngerti, opo meneh cara nggawene lek. L

     Akhirnya pick up kami kembali melaju bersama dua pemuda berpakaian gelap tadi yang ternyata adalah adik ipar mas Asep yang bernama Pupuy dan Kiki, sebut saja begitu. Mereka diutus untuk mengantar kami ke basecamp, benar-benar HANYA SAMPAI BASECAMP. Perjalanan kali ini terlalu mencekam bagi kami yang kurang akrab dengan kegelapan malam. Apalagi harus melewati hutan belantara yang tidak ramah, jalan berkelok tanpa penerangan sedikit pun kecuali cahaya rembulan yang tersipu malu dibalik awan hitam, dan tanjakan maut krakalan yang berada di Desa Pranten,Bawang.

     Kami merapal bacaan apapun yang kami bisa. Mulai dari sholawat Jibril, sholawat nariyah, sampai mujahadah yaumiyah Al sya'iriyah. Dan tanpa kami sadari, suara kami sudah lebih dulu sampai di puncak Prau saking kerasnya. Sampai-sampai mas Pupuy dan Kiki yang sedang asyik menyetir mendadak prengas-prenges sendiri seperti orang jatuh cinta mendengar gema sholawat kami. Oh iya, dalam situasi mendebarkan tersebut,  salah satu dari kami masih menyempatkan berbuka puasa di atas goncangan mahluk besi berwarna hitam tersebut.

     Setelah peperangan melawan ketidak ramahan perjalanan tersebut berakhir, kami langsung disuguhkan dengan gemerlapnya dunia Dieng. Pick up kami mulai melaju dengan santuy. Kami juga sempat putar balik beberapa kali karena lokasi basecamp yang tidak kami ketahui sebelumnya, sampai akhirnya menemukannya. Sesampainya di sana, kami kembali dibuat tercengang dengan lokasi parkir yang berada persis disebelah kuburan, dan sangat sepi. Bahkan basecamp pun tidak terlihat dari sana. Kami masih harus berjalan 73,2 meter dari tempat parkir. Tidak sampai di situ, sesampainya di basecamp, kami dikejutkan dengan keadaan basecamp yang hanya kami satu-satunya rombongan pendaki.

     Kami memeriksa seluruh sudut basecamp. Dan nihil, tidak ada kehidupan sama sekali. Terakhir, kami melangkahkan kaki menuju ruang registrasi. Berharap ada seseorang yang dapat kami temui. Terdengar suara kehidupan dari arah ruang registrasi yang membuat kami mempercepat laju kami. Dan ternyata benar, kami menjumpai seseorang terduduk di sana yang langsung antusias menyambut kami. Setelah memastikan kaki nya tertancap di bumi, nafas lega akhirnya terhembus dari hidung kami yang mulai beku.

     Mas Pupuy dan Kiki mengambil alih tugas pendaftaran dan registrasi. Kemudian menyuruh kami beristirahat di tempat yang sudah tersedia. Mas Pupuy dan Kiki terlihat sangat perhatian kepada kami demi menjalankan amanat dari mas Asep yang agaknya sangat merasa bersalah karena tidak bisa mengantar dan mendampingi kami dengan alasan yang tidak bisa kami sebutkan.

     Sambil meluruskan otot kaki, di tempat peristirahatan kami membicarakan keadaan basecamp yang meragukan. Rasa takut justru menjalari seluruh persendian kami. Karena sebenarnya dalam rencana, kami benar-benar mengandalkan kehadiran rombongan lain. Merujuk pada perkataan mas-mas di tempat penyewaan yang berkata,"nanti di sana ikut rombongan lain aja mbak,biasanya malam Minggu rame. Ngga mungkin banget soalnya kalo cuma berempat apalagi cewe semua dan belom pernah ndaki". Kami pun teringat mas-mas di tempat penyewaan yang sempat memberikan nomor WhatsApp nya dan memutuskan untuk menghubungi nya. Sebut saja mas Mamut. "mas kok sepi, gimana?", isi pesan kami sambil nge-pap suasana basecamp kala itu. Balasan mas Mamut malah mmengejutkan.

"Lho mbak kok asing, itu dimana?"

"lha bukannya ini basecamp kali lembu?"

"Bukan ah, coba liat tulisannya itu dimana"

Kami kira kami terdampar dan tersasar, ternyata memang iya. Jantung kami sudah B aja merespon keplottwist an ini karena sudah maraton jantung sejak tadi. Ternyata kami berada di basecamp dieng, bukan kali lembu.

    Setelah mas Pupuy dan Kiki menyelesaikan pendaftaran dan registrasi, mereka langsung menghampiri kami dan mendapat serbuan protesan dari kami. Kami menjelaskan bahwa ternyata kami salah basecamp. Di schedule yang telah disepakati, dan kami juga sudah berkomunikasi dengan pihak basecamp kali lembu, bahwa kami akan datang ke basecamp tersebut. BTW yang ngomongin mas Mamut. Makasih mas Mamut J.

     Setelah mendengar kicauan bising kami, mas Pupuy akhirnya menawarkan pindah ke basecamp kali lembu karena merasa bersalah. Kami berpikir sejenak mendengar tawaran mas Pupuy. Dan akhirnya kami memilih menghubungi pihak basecamp kali lembu terlebih dahulu untuk mencari informasi. Namun ternyata informasi yang kami dapat tetap tidak merubah apapun. Semua pendaki dari basecamp kali lembu sudah berangkat sejak pukul 7 malam. Dari sini kami baru sadar bahwa kesalahan terbesar kami adalah benar-benar ngaret dari jadwal. Ditambah mas-mas penjaga basecamp dieng yang juga mengabarkan bahwa sebenarnya ada banyak pendaki yang datang, tapi semuanya sudah meninggalkan basecamp sejak pukul 7 tadi, yang membuat kami semakin menyesali kengaretan jadwal ini.

     Karena bingung dan berhubung sudah memasuki waktu Isya, sebagian dari kami melakukan ibadah, dan sebagian yang udzur mencari informasi tentang keamanan jalur dieng. Karena sebenarnya kami bahkan baru mengetahui ada jalur basecamp via dieng. Yang kami tahu hanya Patak banteng dan kali lembu. Tanpa kami sadari, oksigen di ruangan ini terasa lebih banyak dari sebelumnya. Setelah diperhatikan, ternyata mas Pupuy dan Kiki sudah tidak lagi menghirup oksigen di ruangan ini. Karena mereka telah keluar entah kemana.

      Kami terus mencari informasi kepada semua teman-teman pendaki kami yang pernah melewati jalur dieng, dan menanyakan apakah aman jika kami naik hanya berempat. Ternyata jawaban mereka menenangkan kami. Mereka mengatakan walaupun jarak tempuh pada jalur dieng terbilang cukup jauh, namun treck nya aman dan landai.

     Okelah, dengan dukungan yang kuat dari semua kingdom mahluk hidup beserta spesies dan family nya, kami fix memantapkan perjalanan kali ini melalui jalur dieng. Walaupun sebenarnya dengan merinding disko.

     Tak berselang lama, sekembalinya sebagian dari kami dari peribadatan nya, mas Pupuy dan Kiki kembali menunjukkan eksistensinya dengan membawa berita bahagia untuk kami. "kae mbak ana sak rombongan nang njobo, wes tak omongke mengko munggahe bareng", celetuk mas Pupuy. Kami pun prengas-prenges mendengar ucapan mas Pupuy yang menenangkan kegelisahan yang kami pendam. " Ayo siap-siap, kae mas-mas e wes ngenteni" lanjut mas Pupuy. Salah satu dari kami pun reflek menjawab.

"Hiah cowok ha a mas?"

"Wes orapapa, lagian anane rombongan iki tok, wes ayo cepet wes di enteni"

" Hi tapi kok lanang si mas, kita mangkat dewe bae wes"

"Wes orapapa, nek cah 4 tok bahaya, kesasar tok mengko. Gurung ana seng tau ngambah kene si? Lagian Iki amanah sekan mas Asep. Kalian kudu mangkat Karo rombongan liyo."

    Akhirnya kami pun manut dengan pesan mas Asep yang notabene adalah seorang pecinta alam yang telah mendaki jutaan gunung di Indonesia kecuali puncak Jayawijaya. Oke, mau tidak mau akhirnya kami tetap melanjutkan perjalanan bersama 4 orang asing tadi. Setelah berdoa bersama yang dipimpin oleh mas Pupuy, perjalanan pun dimulai pukul setengah 10 malam.

     Awal perjalanan, kami masih tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dinginnya udara malam itu, ditambah kami yang berjalan tanpa percakapan, menjadikan suara-suara serangga malam sangat jelas terdengar. Disertai tlepukan gerimis yang kami  cuekin, seperti mas-mas Facebook yang mengechat tanpa alasan.

     Bagi kami yang baru pertama kali mendaki, suasana gunung di malam hari, sukses membuat degub jantung kami bekerja 12 kali lebih cepat. Senter sangat membantu penerangan malam itu. Keberadaan mas-mas 4 tadi juga sangat membantu. Bahkan ketika kami mengeluh tas yang terlalu berat, mereka langsung menawarkan menukar dengan tas mereka yang lebih simpel, tidak seperti tas kami yang terlalu berat karena kebanyakan logistik. Mereka juga tidak protes ketika kami terlalu sering istirahat. Saking lelah dan fokusnya kami menikmati perjalanan, sampai-sampai lupa menanyakan nama mas-mas tersebut. Kami baru berkenalan ketika beristirahat di tengah perjalanan menuju pos 3. Dan di situ kami tahu bahwa mereka berasal dari Brebes.

     Ketika baru saja melewati pos 3, langkah kami terhenti bersamaan dengan suara mas-mas yang memimpin di depan.

"Heh buntu gess, laka dalane kiye keprimen?", dengan logat khas Brebes nya. Demi mendengar ucapan tadi, jantung kami pun kecengklak. Beberapa detik dalam ketegangan, terdengar lagi suara dari depan, "Weh dalane ketemu kiye, jebule ketutup kabut". Kami pun menghembuskan nafas lega dan kembali melanjutkan perjalanan. Kami terus berjalan dengan lemah lembut bagaikan siput yang terjebak dalam asmaralibrasi. Perjalanan dari pos 3 menuju puncak memakan waktu hampir 45 menit. Mungkin jika tidak 5 langkah sekali istirahat seperti kami, perjalanan menuju puncak hanya membutuhkan waktu 15 menit.

     Setelah kaki kami benar-benar telah menapak pada 2590 mdpl di atap tertinggi Kota Dieng, raga kami serasa melayang karena perjuangan yang telah finish. Namun moment itu hanya bertahan sepersekian detik sebelum akhirnya kami melihat tulisan di bawah plang 2590 mdpl puncak Prau yang bertuliskan, " dilarang membuat camp di sini". Kami meng aduh ria karena sebenarnya yang kami cita-cita kan dan dambakan saat itu juga adalah selonjoran di dalam tenda. Jadi, dengan terpaksa kami harus mengumpulkan raga kami yang telah melayang jauh untuk kembali melanjutkan perjalanan.

     20 menit berjalan, kami menjumpai persimpangan jalan dengan plang yang menunjukkan jalur signal pada arah kanan, dan jalur sunrise camp untuk arah kiri. Kami langsung melangkahkan kaki ke arah kiri, yaitu jalur sunrise camp. Karena sebelumnya, kami telah diarahkan oleh mas Mamut. Setelah berjalan sekitar 94,36 meter dari persimpangan, kami mulai disuguhkan dengan pemandangan tenda-tenda yang berbaris rapi. Kami pun lingak-linguk memilih tempat untuk kami jadikan tempat persinggahan sementara. Seperti dia yang singgah tapi tak sungguhL.

     Sejenak, hanya keheningan yang mengisi detik-detik kami. Sampai telinga kami menangkap sebuah suara yang kami duga adalah kyubi lapar. 14 detik kemudian kami tersadar bahwa suara tersebut ternyata adalah dengkuran "peri" yang kelelahan setelah mendaki dan beristirahat di tendanya. Kami pun terus berjalan hingga kami menemukan tanah lapang berumput yang kelak akan menjadi tempat terbaringnya tenda kami. Dengan suhu 2C di puncak Prau, kami merasakan dingin yang luar biasa, bahkan dinginnya sikap puan Maharani pun tidak ada apa-apanya dengan dinginnya puncak Prau.

      Penyakit mager kami kambuh. Kami hanya terduduk planga-plongo merasakan kekuatan sihir Elsa di Arandlle menjalar pada tubuh kami. Sedangkan mas-mas Brebes tadi sedang berjuang antara hidup dan mati mendirikan tenda kami. Lalu setelahnya, mereka baru mendirikan tenda mereka di seberang sana. Cacing di perut kami mulai melaksanakan aksi unjuk rasa yang menjadikan kami tak enak hati membiarkannya. Kami pun mulai melakukan kegiatan sehari-hari kami, yaitu memasak mie instan kuah khas anak kos, walaupun kami tak pernah ngekos.

     Setelah cacing kami menyudahi aksi unjuk rasanya, gantian kami tak enak hati kepada raga kami yang ngikut protes karena kelelahan. Hingga akhirnya kami merebahkan tubuh kami yang sudah terbalut sleeping bag di dalam tenda biru abu-abu milik mas Asep. Melihat kelelahan kami, seharusnya kami dapat tertidur pulas, namun karena dinginnya suhu di puncak Prau, membuat kami sulit memejamkan mata. Para tokoh dalam mimpi kami pun baru melaksanakan briefing pada pukul 2 pagi, dan baru memulai pertunjukan drama di kepala kami pukul 3 pagi saat kami sudah benar-benar terlelap. Padahal kami sampai area camp dan rampung mendirikan tenda sejak 2 jam yang lalu. Hufft perjalanan yang sangat melelahkan bagi kami yang melewati empang persawahan saja butuh waktu pemulihan sehari semalam. Tapi tidak apa-apa, mari kita lihat pertunjukan semenakjubkan apa yang akan Prau suguhkan pada 4 mahluk lucu ini J.

     "Bangun bangun, kerja kerja!", "Tangi Tangi! Mujadahan!". Suara bising di luar tenda memaksa mata kami untuk melek. Ternyata itu adalah suara mas-mas Brebes yang menirukan gaya kami ketika membangunkan santri di Pondok. Kamipun bergegas keluar dari tenda. Membuka tenda rasanya seperti membuka kulkas 4 pintu. Salah satu dari mas-mas Brebes tadi menyambut kami dengan perkataan mengejek "Selamat siang kebo muslimah" dengan senyum yang dipaksakan. Kami hanya merespon dengan cengar-cengir dan menanyakan pukul berapakah ini. Dan mas Brebes tadi hanya menjawab dengan telunjuk tangan yang diarahkan ke matahari yang sudah setengah naik. Kami hampir menangis menyadari kami yang kehilangan moment ter the best yang paling kami nantikan.

     Tapi tidak apa, pemandangan yang tersisa masih sukses membuat kami takjub dan tak henti-hentinya mengucap tasbih. Dan sebenarnya, kami terhitung beruntung, karena di cuaca yang selalu dipenuhi hujan lebat ini, kami masih dapat melihat pesona matahari yang begitu dekat dan bulat sempurna tanpa kabut sedikitpun.

     Sepatu kami pun menarik paksa langkah kami berlarian kesana kemari mengelilingi Bukit Teletubbies yang di penuhi bunga edelweiss. Sesekali kami merebahkan tubuh kami di antara rerumputan dan bunga-bunga. Terakhir, kami berempat menuju bukit yang tidak ada satu orangpun di atasnya. Setelah sampai, kami disuguhkan dengan pemandangan kawah dan perkotaan Dieng yang benar-benar membius kami. Di situ kami mulai melaksanakan agenda terpenting yang telah direncanakan sejak awal.

     Kami mulai mengeluarkan keresahan demi keresahan yang selama 20 tahun ini kami pendam di lubuk hati masing-masing. Kami meracau, menangis, dan berteriak sekencang-kencangnya. Tidak ada yang melarang kami, tidak ada yang menyuruh kami diam, tidak ada yang menghentikan tangis kami.

     Alam, memang selalu membuat penjumpanya terkesima. Membuat manusia terluka menemukan tempat bercerita. Mambuat manusia penuh lara menumpahkan apa yang dirasa, saat ia tak lagi sanggup bercerita kepada sesamanya.

"Terimakasih Prau... Simpan rahasia itu baik baik :')", bisik kami lirih pada tanah menjulang itu.

                                                     TAMAT

Penulis : DMZR

Ini kami :

  • Maulidia roisa addinilhaq (dini) @dinnnii__
  • Si Intel dan si paling 2 langkah sekali istirahat.
  • Meliana (meli) @meliiinnn__
  • Si strong pemimpin barisan dan si paling tibonan.
  • Zahrotun Nisak (zah) @_zahrotun_nisak
  • Si bucin dan si paling foto bolan balen tapi Lola parah.
  • Naila Riska Oktaviana (Riska)
  • Si ambis dan paling ngantukan.

4 cowok dari Brebes :

  1.Mas Umar

     Si pemimpin barisan dan paling mengayomi.

   2. Mas Toni

      Si gantar yang hampir masuk jurang.

   3. Mas Iqbal

     Si paling kameramen dan pecinta drakor.

  • Mas Waluyo
  • Si paling relawan dan receh

Tokoh baik lainnya :

  • Mas Asep : Asif
  • Mas Mamut : Hamam Muttaqin (sabana outdoor)
  • Mas Pupuy : Putu
  • Mas Kiki : Sidqi

    

 

    

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun