Okelah, dengan dukungan yang kuat dari semua kingdom mahluk hidup beserta spesies dan family nya, kami fix memantapkan perjalanan kali ini melalui jalur dieng. Walaupun sebenarnya dengan merinding disko.
   Tak berselang lama, sekembalinya sebagian dari kami dari peribadatan nya, mas Pupuy dan Kiki kembali menunjukkan eksistensinya dengan membawa berita bahagia untuk kami. "kae mbak ana sak rombongan nang njobo, wes tak omongke mengko munggahe bareng", celetuk mas Pupuy. Kami pun prengas-prenges mendengar ucapan mas Pupuy yang menenangkan kegelisahan yang kami pendam. " Ayo siap-siap, kae mas-mas e wes ngenteni" lanjut mas Pupuy. Salah satu dari kami pun reflek menjawab.
"Hiah cowok ha a mas?"
"Wes orapapa, lagian anane rombongan iki tok, wes ayo cepet wes di enteni"
" Hi tapi kok lanang si mas, kita mangkat dewe bae wes"
"Wes orapapa, nek cah 4 tok bahaya, kesasar tok mengko. Gurung ana seng tau ngambah kene si? Lagian Iki amanah sekan mas Asep. Kalian kudu mangkat Karo rombongan liyo."
  Akhirnya kami pun manut dengan pesan mas Asep yang notabene adalah seorang pecinta alam yang telah mendaki jutaan gunung di Indonesia kecuali puncak Jayawijaya. Oke, mau tidak mau akhirnya kami tetap melanjutkan perjalanan bersama 4 orang asing tadi. Setelah berdoa bersama yang dipimpin oleh mas Pupuy, perjalanan pun dimulai pukul setengah 10 malam.
   Awal perjalanan, kami masih tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dinginnya udara malam itu, ditambah kami yang berjalan tanpa percakapan, menjadikan suara-suara serangga malam sangat jelas terdengar. Disertai tlepukan gerimis yang kami  cuekin, seperti mas-mas Facebook yang mengechat tanpa alasan.
   Bagi kami yang baru pertama kali mendaki, suasana gunung di malam hari, sukses membuat degub jantung kami bekerja 12 kali lebih cepat. Senter sangat membantu penerangan malam itu. Keberadaan mas-mas 4 tadi juga sangat membantu. Bahkan ketika kami mengeluh tas yang terlalu berat, mereka langsung menawarkan menukar dengan tas mereka yang lebih simpel, tidak seperti tas kami yang terlalu berat karena kebanyakan logistik. Mereka juga tidak protes ketika kami terlalu sering istirahat. Saking lelah dan fokusnya kami menikmati perjalanan, sampai-sampai lupa menanyakan nama mas-mas tersebut. Kami baru berkenalan ketika beristirahat di tengah perjalanan menuju pos 3. Dan di situ kami tahu bahwa mereka berasal dari Brebes.
   Ketika baru saja melewati pos 3, langkah kami terhenti bersamaan dengan suara mas-mas yang memimpin di depan.
"Heh buntu gess, laka dalane kiye keprimen?", dengan logat khas Brebes nya. Demi mendengar ucapan tadi, jantung kami pun kecengklak. Beberapa detik dalam ketegangan, terdengar lagi suara dari depan, "Weh dalane ketemu kiye, jebule ketutup kabut". Kami pun menghembuskan nafas lega dan kembali melanjutkan perjalanan. Kami terus berjalan dengan lemah lembut bagaikan siput yang terjebak dalam asmaralibrasi. Perjalanan dari pos 3 menuju puncak memakan waktu hampir 45 menit. Mungkin jika tidak 5 langkah sekali istirahat seperti kami, perjalanan menuju puncak hanya membutuhkan waktu 15 menit.