Mohon tunggu...
Meliiinn
Meliiinn Mohon Tunggu... Editor - Pelajar

Self healing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Our Plottwist Journey

15 April 2023   16:11 Diperbarui: 15 April 2023   16:12 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Saat kami menanyakan apakah ada sepatu muncak yang bisa disewa, ternyata yang tersisa hanya sepatu muncak untuk laki-laki dan berukuran 2 kali lipat untuk ukuran kami. Karena tidak ada pilihan lain, sedang mas Asep sudah menunggu terlalu lama, akhirnya kami tetap menyewa sepatu tersebut.

     Namun betapa terkejutnya kami ketika tiba-tiba mendapat chat dari mas Asep bahwa ternyata beliau hanya bisa mengantar sampai basecamp. Tidak sampai puncak. Wah masalah lagi nih, ga kebayang jika kami hanya berempat. Tapi karena persiapan yang sudah matang, dan perlengkapan yang sudah dibeli dan disewa, mau tidak mau kami harus tetap melanjutkan perjalanan. Walaupun sebenarnya di dalam relung hati yang paling dalam dan di bawah alam sadar kami sangat ragu.

     Setibanya di rumah, kami mendapati mas Asep sudah menunggu sejak tadi. Sedangkan masih ada perlengkapan yang belum kami persiapkan. Juga belum mengatasi kelaparan akut sejak tadi pagi. Padahal makanan sudah tersedia sejak pagi. Kami pun membagi tugas. Dua diantara kami melengkapi perbekalan logistik, dan dua lainnya menata barang-barang yang akan dibawa. Salah satu diantara kami berinisiatif menanyakan cara mendirikan tenda. Karena teringat chat mas Asep yang berkata jika beliau tidak jadi ikut naik. Namun jawaban beliau malah kontradiksi dengan pernyataan tadi. "wes ora usah belajar, nyong Milu Munggah kok". Jawaban mas Asep benar-benar membuat kami lega, karena sebenarnya kami masih sangat ragu.

     Tibalah waktu Maghrib dan kami masih belum berangkat. Sangat ngaret dari jadwal. Ketika sedang secepat kilat menata segala perlengkapan dengan perasaan tegang dan terburu-buru, Sampai sholat Maghrib kami pun bersamaan dengan adzan berkumandang. Tidak menunggu adzan selesai. Tiba-tiba mas Asep berkata,"apaa... esok bae pa?" Dengan logat khas Kesrug nya yang melekat. Mendengar ucapan mas Asep, kami langsung terdiam dan saling menatap dengan tatapan kecewa tanpa ada satupun diantara kami yang menjawab pertanyaan mas Asep.

     Tak terbayangkan perasaan kami saat itu, ketika susunan alam semesta sudah sedemikian rapi,tertata dan sudah tinggal tancap gas, seketika ditewaskan oleh ucapan beracun tersebut. Bukan tanpa alasan, kami sekecewa ini karena sebenarnya kami dikejar waktu keberangkatan pondok pesantren, karena durasi liburan kami sudah sangat mepet. Dan malam itu adalah rencana keberangkatan yang paling tepat. Selain karena bertepatan dengan malam Minggu yang katanya banyak pendaki yang naik, kami memilih malam hari juga karena sebagian dari kami harus berpuasa. Agaknya terlalu menyiksa jika kami melakukannya siang hari.

     Melihat kekecewaan kami dan wajah ndluyub wagu kami, akhirnya mas Asep dengan berat hari mengiyakan. Alhamdulillah, kami pun kembali bersemangat meskipun belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Semangat banget dong kami ketika mendengar keputusan mas Asep yang jadi berangkat malam itu juga. Sampai-sampai saking semangatnya, kami sudah memakai seluruh perlengkapan dari dalam rumah. Carier yang sudah terpasang di punggung, kaki yang sudah terbalut kaus kaki dan sepatu kebesaran, senter yang sudah stand by di kepala, dan tracking poll yang sudah berdiri tegak di tangan.

     Sekitar pukul 6 sore, pick up kami mulai melaju. Sedang asyik-asyiknya menikmati perjalanan dengan keheranan over karena kenekatan yang hampir tercapai, tanpa diduga mobil kami berhenti pada sebuah rumah yang berada di perkampungan sepi. Lalu mas Asep keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah tersebut tanpa memberi penjelasan sepatah katapun kepada kami. Kami sangat kebingungan tiba-tiba berhenti di planet asing yang tidak kami kenali. Tak berselang lama, mas Asep keluar bersama dua pemuda berpawakan tinggi besar dengan berpakaian gelap. Kami hanya menerka-nerka dengan pikiran yang kacau.

     Setelah itu, mas Asep hanya berkata, "mbak mangke dianter mas niki ke basecamp". Speechless dong kami, ternyata mas Asep tidak jadi ikut dan otomatis tidak ada yang mendampingi kami mendaki. Kami pun hanya bisa pasrah ketika mendengar pesan dari mas Asep "seng penting nek nggawe tenda pasake seng kuat" padahal bentuke tenda pun kita ora ngerti, opo meneh cara nggawene lek. L

     Akhirnya pick up kami kembali melaju bersama dua pemuda berpakaian gelap tadi yang ternyata adalah adik ipar mas Asep yang bernama Pupuy dan Kiki, sebut saja begitu. Mereka diutus untuk mengantar kami ke basecamp, benar-benar HANYA SAMPAI BASECAMP. Perjalanan kali ini terlalu mencekam bagi kami yang kurang akrab dengan kegelapan malam. Apalagi harus melewati hutan belantara yang tidak ramah, jalan berkelok tanpa penerangan sedikit pun kecuali cahaya rembulan yang tersipu malu dibalik awan hitam, dan tanjakan maut krakalan yang berada di Desa Pranten,Bawang.

     Kami merapal bacaan apapun yang kami bisa. Mulai dari sholawat Jibril, sholawat nariyah, sampai mujahadah yaumiyah Al sya'iriyah. Dan tanpa kami sadari, suara kami sudah lebih dulu sampai di puncak Prau saking kerasnya. Sampai-sampai mas Pupuy dan Kiki yang sedang asyik menyetir mendadak prengas-prenges sendiri seperti orang jatuh cinta mendengar gema sholawat kami. Oh iya, dalam situasi mendebarkan tersebut,  salah satu dari kami masih menyempatkan berbuka puasa di atas goncangan mahluk besi berwarna hitam tersebut.

     Setelah peperangan melawan ketidak ramahan perjalanan tersebut berakhir, kami langsung disuguhkan dengan gemerlapnya dunia Dieng. Pick up kami mulai melaju dengan santuy. Kami juga sempat putar balik beberapa kali karena lokasi basecamp yang tidak kami ketahui sebelumnya, sampai akhirnya menemukannya. Sesampainya di sana, kami kembali dibuat tercengang dengan lokasi parkir yang berada persis disebelah kuburan, dan sangat sepi. Bahkan basecamp pun tidak terlihat dari sana. Kami masih harus berjalan 73,2 meter dari tempat parkir. Tidak sampai di situ, sesampainya di basecamp, kami dikejutkan dengan keadaan basecamp yang hanya kami satu-satunya rombongan pendaki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun