Mohon tunggu...
Meldy Muzada Elfa
Meldy Muzada Elfa Mohon Tunggu... Dokter - Dokter dengan hobi menulis

Internist, lecture, traveller, banjarese, need more n more books to read... Penikmat daging kambing...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

"Apakah Saya Sakit, Dok?" Bercermin dari Kasus Dokter Jaga RSUD Dipukuli

20 April 2016   23:09 Diperbarui: 22 April 2016   01:33 10278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: Dokter Dipukul (Sumber: probicvent.files.wordpress.com/2010/03/punch2.jpg)"][/caption]Senin, 18 April 2016 mungkin adalah hari yang kurang baik bagi sejawat dokter jaga Unit Gawat Darurat (UGD) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bayu Asih Purwakarta. Berawal dari keluhan pasien dengan nyeri di salah satu bagian tubuhnya kemudian meminta untuk rawat inap. Namun karena bangsal perawatan sedang penuh, setelah diberikan penanganan oleh sejawat dokter tersebut karena pasien ngotot untuk tetap rawat inap, akhirnya pasien dirujuk ke RS swasta. 

Entahkarena proses administrasi yang dianggap ribet atau masalah lain, oknum pasien yang sudah terlihat kesal tersebut datang kembali ke sejawat dokter yang bersangkutan dan memberikan pukulan. Berita itu menjadi viral baik di media cetak maupun di media sosial.

[caption caption="Berita di Media Massa kasus dokter UGD dipukul (Sumber: Grup FB Dokter Indonesia Bersatu)"]

[/caption]Tulisan kali ini tidak berhubungan langsung dengan kasus yang diceritakan tadi, tapi dari inspirasi kasus tersebut penulis mencoba untuk mengulas tentang bagaimana maksud dari kata sakit dan bagaimana seorang dokter telah berusaha untuk selalu profesional dalam menjalankan sumpahnya sesuai kode etik dokter.

Pengertian Sakit dan Apakah Saya Sakit?

Ternyata untuk mengatakan seseorang sakit harus sesuai dengan definisi yang telah dibuat. Tidak bisa serta merta seseorang datang ke dokter dan menyatakan bahwa dirinya sakit dan ingin dirawat. 

Pengertian sakit memiliki definisi yang berbagai macam, penulis akan menjabarkan satu persatu.

  • Menurut World Health Organization (WHO): Sakit adalah keadaan ketidakseimbangan baik fisik, mental dan sosial, tidak hanya bebas dari penyakit dan kelemahan.
  • Menurut batasan Medis: Sakit adalah keadaan yang menimbulkan tanda dan gejala.
  • Menurut Perry dan Potter: Sakit adalah suatu keadaan di mana fungsi fisik, emosional, intelektual, sosial, perkembangan atau spiritual seseorang berkurang atau terganggu bila dibandingkan kondisi sebelumnya.
  • Menurut Parson: Sakit adalah ketidakseimbangan fungsi normal tubuh manusia, termasuk sejumlah sistem biologis dan kondisi penyesuaian.
  • Menurut masyarakat: Sakit adalah keadaan di mana dirasakan oleh seseorang yang sudah tidak dapat bangkit dari tempat tidurnya dan tidak dapat menjalakan pekerjaan sehari-hari.

Apa benang merah yang bisa diambil dari beberapa definisi tersebut? Bahwa sakit itu adalah keadaan terganggu tubuh baik fisik, mental dan sosial sehingga tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari dan tidak produktif.

Di masyarakat, banyak sekali penderita darah tinggi (hipertensi), kencing manis (diabetes), asma, maag (dispepsia), bahkan penyakit autoimun seperti lupus danreumatoid artritis, tapi apakah mereka semua dikatakan orang sakit? Jawabannya adalah tidak.

Banyak penderita darah tinggi, kencing manis, asma dan lain sebagainya yang tetap beraktivitas seperti biasa, tetap produktif dan tetap memiliki waktu sosial bersama masyarakat tanpa dibatasi oleh penyakit yang dideritanya. dalam hal ini, maka orang tersebut tidak bisa dikatakan sakit.

Lantas, kapan saya dikatakan sakit?

Sebenarnya cukup mudah menjawab pertanyaan tersebut. Ketika seseorang terjadi gangguan fisik, mental, intelektual dan sosial bila dibandingkan sebelumnya, atau merasakan ketidaknyamanan pada tubuhnya yang menyebabkan aktivitasnya menjadi terganggu, maka orang tersebut dapat kita katakan sakit. Namun ringan atau beratnya sakit itu, adalah ranah seorang dokter untuk menggolongkannya.

Ilustrasi kasus: seorang penderita darah tinggi (hipertensi) dengan rutin berobat biasanya tekanan darah harian 130/80 mmHg (milimeter air raksa) dengan obat-obatan, maka penderita tersebut tidak dikatakan sakit. Dia hanya menderita darah tinggi, tapi tidak sakit. Suatu ketika, dia mendapat kabar tidak baik yang menyebabkan tekanan darahnya melonjak menjadi 190/100 mmHg, pandangan berputar dengan nyeri kepala hebat, pada saat itulah dia dikatakan sakit dan perlu mendapatkan perawatan lanjutan sesuai dengan sakitnya tersebut.

Surat Keterangan Sakit atau Surat Keterangan Diagnosa/Rawat Jalan?

Ini adalah masalah klasik yang sering dihadapi oleh seorang dokter di fasilitas rawat jalan baik di Puskesmas ataupun di Rumah Sakit.

Terdapat kasus pasien berusia produktif dan masih muda datang dengan keluhan yang tidak jelas bahkan membingungkan dokter. Berdasarkan pemeriksaan fisik, teman sejawat kadang tidak menemukan hal spesifik yang menyebabkan dia sakit. Walaupun telah dijelaskan bahwa kondisinya normal, pasien tetap ngotot mengatakan bahwa dirinya sakit. Usut punya usut ternyata ujung-ujungnya pasien memintan surat keterangan sakit untuk lampiran di tempat kerja atau tempat dia sekolah/kuliah.

Jika melihat dari pengertian di atas tadi, maka sebenarnya sejawat dokter dapat dengan tegas menolak memberikan surat keterangan sakit tersebut. Jika berdasarkan pemeriksaan, ditambah jika dilakukan pemeriksaan penunjang dengan hasil laboratorium atau rontgen memang tidak terbukti ditemukan penyakit apapun, tidak ada alasan bagi seorang dokter untuk memberikan surat keterangan sakit tersebut.

Sedangkan surat keterangan diagnosa/rawat jalan adalah suatu surat pernyataan kepada pasien penderita penyakit kronik seperti darah tinggi, asma, kencing manis, rematik dan sebagainya di mana hal ini diperlukan untuk terus menjalankan pengobatannya. Mereka tidak sakit, justru mereka tetap harus berobat rutin untuk mempertahankan status dirinya agar tidak menjadi sakit.

Pada saat perjalanan pengobatan, kondisi mereka menjadi turun dan dikatakan sakit, saat itulah mereka memerlukan surat keterangan sakit.

Dokter menjadi bemper permasalahan kesehatan, apapun masalahnya?

Penulis mengajak pembaca untuk melakukan survey. Coba bertanya kepada tiap orang yang datang ke rumah sakit, apa tujuan/harapan mereka datang ke rumah sakit? Penulis meyakini bahwa mayoritas jawabannya adalah untuk bertemu dengan dokter.

Ya, benar sekali. Saat kita datang ke rumah sakit, terbersit harapan di hati bahwa kita akan bertemu dengan seorang dokter yang ramah, bertemu dengan perawat dengan senyuman yang tulus, bertemu dengan petugas penunjang lainnya yang sigap dalam pelayanan. Namun kadangkala kenyataan tidak seindah harapan.

Ketika pasien datang ke fasilitas kesehatan, maka sebenarnya dia harus siap dengan konsekuensi peraturan yang ada di fasilitas kesehatan tersebut. Bukan hanya pasien dengan fasilitas asuransi, tapi juga pasien dengan status umum.

Contoh sederhana adalah kasus pemukulan dokter UGD di awal tulisan ini. Pemukulan terjadi diyakini karena pasien merasa kesal dengan masalah administrasi dimana rujukan ke RS Swasta harus meminta rekomendasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, malah menumpahkan kekesalan dengan memukul dokter jaga UGD.

Terdapat kasus dokter dimaki-maki karena pasien berhari-hari di UGD karena bangsal perawatan yang penuh. Apa salah dokter? Apakah mereka punya kuasa mengosongkan bangsal yang penuh? Kenapa mereka yang justru maki-maki?

Pada kasus lain, seorang dokter bedah memutuskan untuk pemeriksaan MSCT (Multi-Slice Computed Tomography) Abdomen/Perut dengan zat kontras karena curiga tumor di rongga perut. Namun karena pasiennya adalah peserta asuransi maka dia harus mengurus penjaminan dilanjutkan pemeriksaan laboratorium untuk memeriksa fungsi ginjal karena pemeriksaan menggunakan zat kontras dimana jika ginjal terganggu akan menimbulkan hal yang berbahaya, ditambah lagi dia harus menunggu jadwal antrian sebelum dilakukan pemeriksaan tersebut, keluarga pasien malah marah dan mendamprat dokternya karena dianggap bertele-tele dan tidak mau langsung dilakukan tindakan bedah.

Dari contoh kasus di atas? Apakah itu salah dokter? Tapi kenapa dokter yang menjadi bemper masalah itu?

Sumpah Dokter Indonesia

”Demi Allah saya bersumpah/berjanji”, bahwa:

  1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.
  2. Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran.
  3. Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter.
  4. Saya akan menjalankan tugas saya dengan mengutamakan kepentingan masyarakat.
  5. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai dokter.
  6. Saya akan tidak mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam.
  7. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita.
  8. Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kesukuan, perbedaan kelamin, politik kepartaian, atau kedudukan sosial dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita.
  9. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan.
  10. Saya akan memberikan kepada guru-guru dan bekas guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima aksih yang selayaknya.
  11. Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagaimana saya sendiri ingin diperlakukan.
  12. Saya akan menaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
  13. Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya.

Sudah membaca dengan saksama sumpah tersebut di atas?

Penulis yang sudah mengucapkan lafal sumpah tersebut bahkan masih merinding ketika membacanya kembali.

Saudaraku, percayalah....

Tidak ada satu dokterpun yang senang pasiennya sakit dan menderita...

Tidak ada satupun dokter yang bersorak ketika pasien mendapatkan kesusahan...

Tidak terbersit sedikitpun dihati untuk memperlama dan untuk menyusahkan pasien...

Ketika pasien menangis kesakitan, pasien mengeluh nyeri, maka hati dokterpun menjadi lebih tersayat dan sedih, namun harus tetap terlihat tegar untuk memberikan perasaan optimis kepada keluarganya, yang menaruh harapan tinggi akan kesembuhan pasien.

Dokter akan selalu menjunjung tinggi sumpah dokter yang diucapkan.

Penutup

Tulisan ini adalah hasil inspirasi dan curahan hati dari kasus pemukulan yang diceritakan di awal tadi. Besar harapan penulis, kasus-kasus seperti itu tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang. Sekiranya kita semua bisa arif dan bijak dalam memahami kebijakan administrasi dan situasi kondisi di fasilitas kesehatan di sekitar kita. Tidak ada hal yang sempurna dalam suatu kegiatan, pasti ada kekurangan yang perlu diperbaiki dan tentunya mari kita mengenali apa yang harus diperbaiki tersebut.

Kemudian, tulisan ini tidak menafikan profesi lain di luar dokter. Tentunya profesi lain dalam bidang kesehatan seperti perawat, bidan, apoteker, analis kesehatan, radiografer, perekam medik maupun penunjang medik lainnya sangat penting untuk saling menyokong satu sama lain agar pelayanan kesehatan berjalan secara baik dan berkesinambungan. Ini hanyalah tulisan curahan hati seorang dokter agar kiranya dengan sedikit tulisan ini kita tidak cepat menyimpulkan sesuatu masalah dengan menyalahkan salah satu profesi saja, tetapi lebih baik menelaah dimana masalah ini bisa terjadi.

 

Salam sehat,

 

dr. Meldy Muzada Elfa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun