Banyak kasus-kasus perampasan pengetahuan dan sumber daya genetik di dunia. Perampasan ini bisa dalam bentuk pengetahuan turun temurun ataupun suatu kejadian luar biasa yang kemudian dipatenkan hasilnya.
Sebagai contoh adalah ketika terjadi kasus Flu Burung. Berbagi sampel virus memainkan peran penting dalam mempersiapkan vaksin pra-pandemi. Namun terjadi ketimpangan antara negara maju dan berkembang dalam pandangan berbagi sampel virus tersebut. Masih ingatkan kita sewaktu Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari telah melarang semua rumah sakit di Indonesia untuk mengirimkan sampel virus flu burung ke laboratorium The U.S. Naval Medical Research Unit Two (Namru II). Selain alasan kotrak yang sudah berakhir, beliau meyakini bahwa keberadaan laboratorium medis milik angkatan laut AS merupakan alat intelejen AS dan memiliki potensi biopiracy. Setelah virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusahaan dari negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal di negara berkembang, termasuk Indonesia. Bagaimana mereka bisa memproduksi vaksin padahal di Negara mereka sendiri tidak masuk virus tersebut? Ternyata mereka mendapatkan sampel virus dari Negara-negara yang tertular dengan membingkai argument atas dasar hukum internasional yang mengharuskan Negara-negara berkembang untuk berbagi sampel dalam rangka mendukung keamanan kesehatan global, sedangkan Negara berkembang melihatnya sebagai bentuk biopiracy yang merupakan neokolonialisme baru. Bagaimana kejahatan salah satu biopiracy di Indonesia? Silakan baca artikel berikut ini
[caption caption="Sebaran Kejadian Luar Biasa Flu Burung di Dunia (Sumber: WHO)"]
Kasus menarik lainnya adalah pencurian beri supermanis dari Afrika. Sebuah pohon sejenis beri di Afrika Barat atau disebut pohon brazzein oleh masyarakat lokal, mengandung pemanis yang 2000 kali lebih manis dari gula. Penduduk setempat telah menggunakan brazzein sebagai pemanis rendah kalori selama berabad-abad. Namun tanpa seizing mereka, kode genetik brazzein diisolasi, diurutkan dan dipatenkan di AS. Mereka kemudian mentransfer gen tanaman ini ke jagung, yang kemudian diekstraksi untuk menghasilkan brazzein.
Â
Mari Peduli Sumber Daya Indonesia
Di pedesaan di Jawa sangat popular dengan Gadung, lazim dijumpai di kebun dan pekarangan. Warga biasa memanfaatkannya untuk membuat aneka kudapan dari umbi gadung setelah membuang zat racun yang dikandungnya. Siapa sangka, paten gadung dimiliki justru orang asing. Adalah badan paten Amerika Serikat yang mengeluarkan untuk ekstrak tanaman ini, disebutkan dalam paten tersebut dimiliki oleh tiga investor Taiwan. Paten Gadung hanya salah satu contoh kecil saja dari sekian banyak sumber daya kita yang diambil peneliti asing.
Pernah mendengar Manjakani Kanza? Ramuan khas tradisional dari Aceh yang bahan utama dari manjakani adalah sejenis buah-buahan yang tumbuh di Indonesia yang bermanfaat dalam mengatasi keputihan serta menjadikan organ intim wanita lebih elastis. Manjakani Kanza ini banyak dijadikan pil dan dijual oleh masyarakat sebagai salah satu bentuk pengobatan tradisional. Namun sangat lucu jika suata saat, orang asing secara diam-diam mematenkan kandungan aktif dari majakani tersebut dan akhirnya dapat menuntut ataupun meminta ganti rugi pada masyarakat lokal yang memproduksi sejak awal dan melakukan penjualan dengan kandungan majakani dengan alasan melanggar hak paten.
[caption caption="Manjakani Kanza dalam sediaan pil (ttp://manjakanikanzaaceh.org/)"]
Sumber daya genetik menjadi isu utama dalam rancangan Undang-undang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem yang sekarang masuk Program Legislasi Nasional 2016. Rancangan ini diharapkan mampu menjadi pengganti UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Rancangan UU ini mencakup perlindungan terhadap sumber daya genetic dan pengetahuan tradisional sebagai bagian dari keanekaragaman hayati Indonesia. Salah satu aturan yang ditegaskan adalah keharusan peneliti asing untuk meminta izin sebelum melakukan penelitian dan keharusan untuk didampingi peneliti dalam negeri.
Tidak hanya menyalahkan pihak luar, Indonesia sendiri memang tertinggal dan akhirnya tidak bisa mengantisipasi perang intelektual ini. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan bahwa jumlah peneliti Indonesia hanya 8.000 orang atau rasionya hanya 18 peneliti per satu juta penduduk. Bandingkan dengan Singapura yang memiliki 7.000 peneliti per 1 juta penduduk.