Mohon tunggu...
Meldy Muzada Elfa
Meldy Muzada Elfa Mohon Tunggu... Dokter - Dokter dengan hobi menulis

Internist, lecture, traveller, banjarese, need more n more books to read... Penikmat daging kambing...

Selanjutnya

Tutup

Healthy featured

Tepatkah Potong Saraf Libido? Simak Kajian Medis Populernya

22 Oktober 2015   07:45 Diperbarui: 29 Agustus 2019   13:28 2861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (iStock Photo)

Dan dalam penelitian lain pada jurnal Endocrine Society oleh Matthew Leinung, MD dari Albany Medical College di New York menyimpulkan “…estrogen tidak menekan kadar testosterone…” Jadi bagaimana jika hukuman ini dilaksanakan:

  1. Pemberian estrogen pada laki-laki adalah tindakan yang sia-sia. Hormon ini tidak menekan kadar testosteron dan peran hormon estrogen sendiri belum dipahami sepenuhnya dalam hasrat seksual laki-laki.
  2. Tuhan telah memberikan keseimbangan hormonal pada manusia agar terjadi proses normal dalam tubuh. Pemberian salah satu hormon secara berlebih akan mengacaukan keseimbangan tersebut. Menurut Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) dalam buku ajar tahun 2014 dikatakan estrogen mempunyai efek menurunkan kadar antitrombin III, yaitu zat yang menghabat terjadi trombus (sumbatan) pada pembuluh darah. Artinya? Pemberian estrogen akan meningkatkan risiko stroke atau penyakit jantung koroner.
  3. Tindakan ini merupakan ranah spesialis andrologi, dengan jumlahnya yang masih sedikit di Indonesia.

Hukuman 3: Potong alat vital (kebiri)

Sebenarnya ini adalah jenis opsi yang tidak masuk akal. Karena ini sudah berkaitan terhadap suatu tindakan yang berhubungan dengan Hak Azasi Manusia (HAM). Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zaenal Abidin mengatakan bahwa petugas dokter tidak bisa menghukum seseorang dengan memotong organ tubuhnya. Sebab, itu sudah melanggar aturan.

"Siapa yang mau potong? Asal menterinya sendiri yang mau potong boleh. Peraturan kesehatan, dokter tidak boleh mencederai seseorang," ucap beliau. Jika seorang dokter urologist diberikan mandat oleh pemerintah untuk memotong pasti akan ada nalurinya untuk menyambungkannya kembali.

Apakah hukuman yang tepat?

Jika membicarakan bagaimana hukuman yang tepat, tentu hal ini bukan ranah penulis lagi karena penulis bukan seorang ahli hukum bahkan pengamat sekalipun. Namun yang jelas jika mengungkap peribahasa, maka wacana hukuman potong saraf libido masih penulis anggap ‘jauh panggang dari api’.

Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengaku masih bingung bagaimana menerapkannya jika wacana tersebut terealisasi. "Saya agak bingung kalau ada obatnya. Katanya di Inggris atau Eropa ada obatnya. Obatnya apa saya juga masih bingung," sambungnya.

Yang jelas, potong saraf libido itu tidak seperti tindakan vasektomi yang banyak dibayangkan oleh masyarakat. Vasektomi sendiri hanyalah memutus saluran vas deferens (yang dilewati sperma) sehingga laki-laki tidak bisa membuahi lagi, tetapi dalam kasus ini hasrat seksual masih ada.

Tentunya tindakan pedofilia ini selain tidakan kekerasan, menurut pandangan agama juga suatu tindakan zina. Jika penulis diizinkan untuk mengacu pada aturan syariah, maka hukuman penzina adalah dera bagi yang belum menikah dan rajam (mati) bagi yang sudah menikah. Hal ini belum diperberat dengan tindakan kekerasan dan dilakukan kepada anak-anak, artinya tentunya hukuman akan semakin berat.

Jadi apa hukuman yang pantas bagi pelaku tersebut? Silakan para pakar hukum untuk kembali mendiskusikannya dengan melihat azas manfaat dan mudharat, tetapi penulis hanya memberikan masukan bahwa hukuman potong saraf libido sebaiknya menjadi opsi terakhir.

Tulisan ini hanya satu buah pemikiran berdasarkan latar belakang pendidikan penulis dan mengacu pada pustaka yang menurut penulis dapat dipercaya. Tak ada gading yang tak retak, tentunya sebuah pendapat masih layak diperdebatkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun