" Ingatlah satu hal. Kamu boleh mencintainya. Tetapi, Jangan ambil Ia dari Tuhannya "
Tentang cerita yang terangkai adalah kisah dimana kembali semesta mempermainkanku. Sejenak aku ingin mendekap amnesia namun nyatanya krimtonesia kembali menyapaku. Dipertemukan dalam suatu kemauan dan dipisahkan karena ketidakmauan berpaling. Menulis kisah-kisah dalam lembaran putih tak bernoda adalah pilihan yang tepat bagiku dan mungkin tidak bagimu. Tatkala alam pikiran merasa lelah dan lemah mengingat cerita secara detail, hingga perlu jemari yang setia untuk menari dalam menghitamkan semua cerita itu pada lembaran putih yang kelak akan menjadi kenangan. Sebagai pengantar, ini mungkin saja akan menjadi permenungan bagi pembaca sekalian, sebab sebagian kita akan merasa canggung dalam menjalani kisah dengan lintas iman yang berbeda. Menanggapi semua keraguan itu, saya hanya bisa tertawa. "Beda keyakinan itu pilihan, tetapi berpaling dari keyakinan itu kekeliruan". Jangan lupa membaca sembari tersenyum. Setiap aksara yang lahir adalah kebenaran imajinasi yang terangkai dalam tulisan bermakna atau tidak ini, tetapi yang diingat adalah Cinta itu luar biasa menyenangkan sekaligus menyedihkan.
Perkenalkan namaku Jimy. Aku tak tahu asal usul nama itu, yang jelas adalah hasil dari perdebatan ringan antara dua insan yang tentunya sangat berharga bagiku, ayah dan ibu. Aku dilahirkan dalam situasi yang sangat membahagiakan, walaupun tangisan dan rengekan yang begitu tak nyaring tidak menutup kemungkinan-kemungkinan untuk menghalau kebahagiaan itu. Sesungguhnya dalam ziarah menapaki hidup yang penuh misteri ini, aku tak lelah mencari arti dan makna dibalik nama itu. Perihal jawaban yang kuterima dari kedua orang tuaku, nama itu adalah tanda dimana aku senantiasa akan berhadapan dengan cerita-cerita yang sungguh tak bisa dipahami, tetapi akan benar-benar terjadi dan sulit terelakan. Jadi aku semestinya ikuti alur dan permainan semesta atas pesan sang Pencipta. Setelah Setahun bersama semesta, aku kembali dipertemukan dalam misteri tentang "pembaptisan" dengan pemberkatan oleh air yang dikatakan suci. Entahlah aku tak tahu artinya itu. Yang kutahu aku telah resmi menjadi anggota Gereja dan pengikut Kristus, atau orang tuaku bilang "orang katolik". Mencari makna dari nama saja mengalami kebingungan, apalagi harus mencari arti dari kisah hidup yang sedang dijalani.
Semua kisah bermula dari hobi ku dalam menulis. Menulis adalah seni bagiku. Aku menyadari kegagapanku dalam mengungkapkan berbagai perihal, akhirnya mengalami kebuntuan saat ingin berbicara. Amigdalaku seakan keluh untuk bersalih. Lidah yang banyak menyingkap kata, namun terasa lemah dalam menuturkan. Tanpa menulis hidup terasa hampa bagiku. Sebab mengingat setiap cerita berharga yang telah berlalu secara mendetail sangatlah susah, seperti ingin menceritakan mimpi tapi tak banyak yang diingat. Gegara menulis aku kembali terjebak dalam dunia kasmaran yang sejak merasakan pahit dan getirnya, aku berusaha melepaskan diri dari kukungan dunia asmara itu. Mungkin tepatnya aku trauma bukan karena patah hati, tapi untuk tidak menyakiti lagi. Banyak kisah yang terlewati dengan berbagai rupa kaum hawa yang hadir, tetapi kali ini sungguh berbeda daripada biasanya. Menulis membuat aku senantiasa mengartikan semuanya secara tertulis, dari awal pertemuan hingga perpisahan. Sebagaimana aku berusaha untuk meng-apikkan secara menyeluruh semua kisah itu. Seakan aku telah menguasai waktu, yang tiada waktu untuk tidak menulis.
Namanya Dwi Sophia Handini yang biasa kupanggil Sophia. Jangan pernah tanya asal-usul namanya. Yang harus dipahami adalah orangnya cantik dan dapat dikatakan sebagai penghuni semesta bagi kaum hawa yang begitu luar biasa. Aku mengenalnya pada suatu group menulis yang bernama "Rumah Aksara Kita" atau kami biasa sebut RAKIT. RAKIT menjadi sandaran utama bagiku dalam mengkolaborasikan antara imajinasi dan kata-kata. Dunia itu seakan membiusku untuk semakin giat dalam menulis. Kembali kepada Sophia. Dia gadis bermata sipit dan lesung pipinya, tentunya rambut hitam pekat terurai lurus menjadikannya sebagai bintang dalam kelompok menulis kami. Dia berbeda denganku dari segi usia. Setahun setelah aku menikmati betapa indahnya semesta, barulah Sophia hadir dengan cantik yang datang sejak lahir. Walau sejalan dalam dunia tulis, kami juga berbeda keyakinan. Dia bersama keluarganya mempercayai bahwa Dewa-dewa itu ada, sehingga mereka dikatakan sebagai orang berkeyakinan hindu. Walau kami berbeda, Sophia orangnya asik dan menyenangkan jika dijadikan lawan bicara. RAKIT tak pernah mempermasalahkan dari mana latar belakang kami. Kami semua yang bergabung adalah sekumpulan orang yang bersatu berasal dari perbedaan. Terkhusus keyakinan kami yang berbeda tiap orang.
Kembali pada Aku dan Sophia. Dalam suatu kesempatan, tepatnya hari Rabu sore pukul 15.00, kami lekas berkumpul kembali seperti lazimnya, sebab kami harus kembali terjebak dalam diskusi senja bersama. Begitu banyak hal yang kami perbincangkan dan tentunya untuk menghidupkan suasana. Dalam keriuhan itu yang terdengar hanyalah kepuitisan kami yang telah terbiasa berkata-kata. Setelah diskusi usai, seperti biasa aku berjalan menyusuri koridor depan gedung bercat putih sembari memapah gitar yang selalu menemani di kala sepi menyelimutiku. Setelah lama berjalan, aku menaiki tangga menuju ke salah satu balkon dari gedung RAKIT hanya untuk menikmati senja sore itu. Lantas aku duduk menghadap sunset dengan senyum indahnya sebelum pamit karena tugasnya telah usai. Lima belas menit lamanya aku termangu dalam kesepian dan membiarkan jemariku memetik gitar hingga alunan terdengar meneduhkan. Mulutku terasa keluh untuk bersuara, hingga hanya dia yang berdawai itu leluasa bersuara. Hingga aku terhenti dalam mengalun nada, sebab ada suara akrab yang menyapaku dan memaksaku untuk terdiam sembari menghentikan semua tindakanku.
Benar, siapa lagi kalau bukan Sophia. Si gadis bermata sipit itu tersenyum simpul hingga tak lelah menampilkan lesung pipinya, membuat aku ingin mencubitnya namun aku tertahan.
"Hay Kak" Sapanya dengan suara lembut.
"Hay Sophia, Sedang apa kamu disini ?" Jawabku sembari lanjut bertanya.
"Tidak ada kak. Aku hanya lewat saja didepan dan tidak sengaja aku dengar alunan gitar. Jadi aku penasaran, rupanya situ yang mainin". Jawabnya tanpa meredupkan senyum manisnya.
"Ohh. Lantas kenapa kamu belum pulang"? Udah mau malam lo" tanggapku.
"Heheh….malas mau pulang cepat kak. Aku mau nikmatin senja dulu. Udah lama nggak nikmatin."
“Jadi, kamu suka senja?,
"Begitulah kak. Aku suka senja juga karena suka tulisan Kakak yang berisi senja."Jawabnya dengan jujur.
Aku terbujur kaku dan kembali membisu mendapati jawabannya. Rupanya dia juga suka senja. Apa artinya dia suka senja dan karena tulisanku pula. Dilihat dari sorot matanya yang jujur itu, aku seakan dibuat bungkam olehnya. Apa artinya jawaban itu. Dalam heningku, aku membiarkan diriku kembali tenggelam pada dialog imagine antara aku dan ego serta nuranilah yang menjadi penengah. Tapi sepersekian detiknya aku kembali tersadar. Bukan waktu yang tepat aku berdialog imagine sebab aku harus bertutur dengan Sophia dulu. Menghargai keberadaannya jauh lebih penting daripada keegoisanku.
"Menurutmu apa itu senja?” Tanyaku dengan penasaran.
"Menurutku, senja adalah suatu keindahan yang tak tertandingi walau hanya hadir sekejap dan juga tentunya uantuk semua orang dan bukan seorang. Dan apa Kakak tau??Senja yang nyata bagiku bukanlah sunset tapi lebih daripada itu. Senja yang mampu memahami diamku, dan selalu ada dikala duka maupun suka menghampiriku. Jika kakak tau senja yang kumaksud mungkin Kakak akan membenciku." Jawabnya dengan jujur. Senyumnya perlahan sirnah. Memandang sunset yang perlahan redup.
Aku kembali terbungkam dan tak terlepas dari kebingungan. Aku kembali tersadar bahwa barusan aku melontarkan pertanyaan yang menyesakkan baginya. Pasalnya, mengapa senyumnya yang indah itu sirnah? Aku tak tahu mengapa diriku yang harus menanyakan perihal senja. Ataukah gegara ego yang kembali berulah.
Benar, dari kejujurannya, aku memahami bahwa akulah yang dimaksudnya. Sebab dua tahun bersama dalam kelompok menulis RAKIT, Aku dan Sophia seperti sepasang kekasih. Keakraban kami melebihi kenyataan sebagai sepasang sahabat. Sejujurnya aku bingung harus mengatakannya seperti apa. Sebab mungkin mulut akan mengkhianati rasa yang suka terhadapnya melebihi sahabat. Menunggu kepastian untuk menyatakan saja. Tetapi selalu diliputi ketidakpastian. Aku selalu hadir dalam hidupnya. Kala suka maupun duka aku selalu ada baginya. Kerap Kali aku membenci jika ia tak senyum. Semua aku lakukan demi kebahagiaannya. Dan sampai pada titik dia secara gamblang membahasakan tentang senja, aku kembali berpikir, apakah ada selain aku yang selalu ada untuk Sophia. Kembali aku tersadar pada diskusi senja yang nyata antara aku dan dia.
"Wow, jawabanmu sungguh menarik Ca. Tapi apakah kamu tidak takut jika senja yang selalu ada untukmu, akan meninggalkan kamu dan tak kembali. Berbeda dengan senja walau sekejap, tapi selalu hadir. Walaupun peraduannya untuk semua orang. Dan kalau boleh aku tahu, siapa sih senja yang selalu ada buatmu?" Tanyaku.
Sekarang giliran Sophia yang terdiam. Dia menunduk penuh sendu. Matanya tak menampakkan persahabatan seakan pelupuk matanya akan menurunkan butiran air mata berharga yang tinggal tunggu waktunya saja untuk menjatuhkan diri. Lantas ia kembali tegar dan berkata
"Apakah kurang cukup aku menyatakan perihal senja itu kak? apa Kakak mencoba untuk berpura-pura tidak tahu perihal senja itu. Jika kakak benar- benar mengerti tuturan. Seharusnya Kakak mengerti dan tahu siapa yang kumaksud. Mungkin membingungkan dan membuat kakak penasaran tentang semua itu. Perihal senja yang selalu ada, jawabanya adalah Kakak sendiri, atau kurang jelas Senja itu adalah Kakak Jimy yang sangat kukagumi." Jawabnya dengan jujur dan diliputi rasa takut.
Sore itu tepatnya dibalik senja yang begitu indah telah menjadi saksi pertumpahan rasa yang dipendam Sophia. Dia ternyata telah memendam rasanya selama ini. Dengan rasa tak percaya aku mendengar penuturannya yang terangkum dalam penantian untuk mendapati kepastian. Lantas Semesta mendapati kami berdiam diri. Tak ada lagi keriuhan. Tak ada lagi alunan. Aku biarkan sahabat berdawai enam-ku berbaring di hadapanku. Aku membiarkan suasana menjadi lengang. Aku perlu berpikir keras perihal dia. Apakah penuturan yang barusan kudengar adalah sebuah kebenaran. Semesta tersenyum penuh kemenangan. Kembali aku terjebak pada dunia yang aku anggap sebagai ilusi yang menyakitkan ini. Ilusi senja mengantarku pada kenyataan getir untuk mendengar rintihan rasa Sophia yang secara jujur untuk terbuka padaku.
"Apakah semua ucapanmu benar?" Aku bersuara memecahkan keheningan diantara kami.
" Benar kak, lagian untuk apa aku berbohong, tapi aku juga bingung kak. Secara kan, aku menganggap Kakak mungkin sebatas sebagai sahabat. Mengingat kita berbeda keyakinan, jadi sangat sulit untuk bersatu. Terkadang aku merasa dibodohi kak. Sebab aku selalu terjatuh dalam perangkap rasa yang selalu tak sadar apa yang dilakukannya. Maaf ya kak". Jawabnya sembari senyum yang tadinya sirna kini kembali.
"Sophia apa kamu tau?? Sejujurnya, aku juga merasakan apa yang kamu rasakan. Aku juga memiliki rasa padamu. Tapi aku sadar, kita tak akan bisa bersama dalam waktu yang cukup lama. Sebab ada sesuatu yang menjadi tembok besar nan kokoh sebagai penghalang diantara kita. Terkadang, aku selalu ditertawai ego yang berulah, sebab tak berani mengungkapkan semua rasa kepadamu. Alam pikirku pun dikuasai ego supaya terbatas pada angan memilikimu hanya di alam halu atau mimpi saja. Sehingga aku pasrah pada diriku karena rasa yang salah berlabuh." Jelasku dengan menutup semua kebohongan yang selama ini kupendam.
"Jadi, apa Kakak juga merasakan yang kurasakan?, Apa Kakak tidak sadar bahwa kita dipertemukan dalam kemauan untuk bersama, tapi terhalang pada ketidakmauan untuk berpaling?, Mengapa Kakak tidak ungkapkan saja, aku bakalan nerima kakak walaupun kelak aku ataupun Kakak akan sama-sama tersakiti juga." Celetuknya atas keterbukaanku.
Sekilas aku tersadar. Benar apa katanya, bukankah jika kami bersama adalah suatu kesempurnaan walau sekejap saja. Dan perihal keyakinan kami yang berbeda, bukankah itu lahiriah dan tidak menjadi batu sandungan bagi kami yang beradu kasih. Lantas apa aku harus merelakan diriku hancur karena memendam rasa seperti dirinya yang juga memendam rasa. Aku tertawa dalam diamku, tertawa atas bodohnya diriku yang bodoh karena selalu menilai seseorang dari sisi bedaannya. Aku berhak menang atas diriku yang sisi bodoh, dan aku harus menang dan membungkamnya kebodohan. Sehingga tak salahkan aku menjalin kasih dengannya, asalkan tak berpaling dari kepercayaan atau agamaku.
Selepas dari diamku. Aku membulatkan diri untuk mengungkapkan perihal rasa yang memendam. Dan terciptalah kisah kami yang berbeda keyakinan. Sophia pun menerimaku dengan kebahagiaannya, walau pada akhirnya kenyataan memang harus menyakitkan. Sungguh ironi waktu yang salah tapi rasa yang benar.
Semenjak saat itu aku terjebak dalam ilusi yang mengatakan "Cinta beda keyakinan". Berbeda bukan berarti tidak bersama. Asalkan tak berpaling dari keyakinan karena itu adalah suatu kekeliruan. Aku hanya mengerti suatu ikhtiar mencintai dalam beda keyakinan. Dia yang Mencipta dan mempertemukan kami berkata" Mencintai yang beda keyakinan itu baik, tetapi menarik dia dari Tuhannya Itu kesalahan. Jadi Aku berserah padaNya Saja.
"Perihal Rasa"
Yang datang tanpa ucapan, hinggap tak bersuara, dan menetap tanpa ijin. Sempurna dan nyaman. Namun, kemudian beranjak dan pamit meninggalkan Luka, ah Rasa Sialan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H