Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menikah dan Beberapa Hal Lainnya

22 Desember 2020   05:13 Diperbarui: 22 Desember 2020   16:54 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Beberapa tahun lalu saya sempat bertegur sapa dengan teman lama semasa sekolah menengah. Basa-basi satu dua hal dan berakhir dengan pertanyaan pada usia berapakah saya akan menikah. Saya lupa jawaban saya saat itu, yang jelas saya ingat responnya terhadap jawaban saya.
"Usia maksimal perempuan sebelum mendapat label tidak laku adalah 25 tahun"

Saat itu saya hanya menganggapnya sebagai saran serampangan yang tidak betul-betul saya masukkan ke otak. Namun jika dipikir-pikir itu adalah salah satu bentuk bagaimana masyarakat mempersepsikan perempuan yang tidak kunjung menikah sebagai barang yang tidak laku.

Menurut teori-teorian saya yang mungkin jauh dari benar, orang zaman dulu alias manusia purba mempunyai urgensi untuk memiliki anak sesegera mungkin karena keperluan kelompok: agar kelompoknya cukup besar dan memungkinkan regenerasi lebih cepat jika anggota kelompoknya beranak-pinak dalam usia dini. 

Namun, dengan posisi Indonesia sebagai negara dengan penduduk terpadat keempat di dunia (jika belum bergeser), apakah hal itu masih kontekstual dengan permasalahan yang ada?
Tentu dengan asumsi bahwa setiap perkawinan akan menghasilkan keturunan, sebab Indonesia belum terlalu akrab dengan pilihan untuk menikah tanpa memiliki anak biologis.

Beberapa kali saya sempat mendengar opini dari teman-teman saya yang juga akan menamatkan pendidikan tingginya, bahwa selepas lulus mereka akan segera menikah. Terlebih mereka juga punya target menikah sebelum usia tertentu. Yang saya tahu, pendidikan mengurangi kemungkinan pernikahan dini, tetapi yang saya tidak tahu sampai umur berapakah pendidikan sukses menekan pernikahan muda pada realitanya.

Satu hal yang saya amati dari orang-orang itu (terlepas dari kecilnya sampel), kesemuanya menganggap orang yang memiliki target menikah dengan usia yang lebih tua adalah sesuatu yang salah. Beberapa darinya malah menggurui saya bahwa perempuan memang harusnya menghentikan pendidikannya dulu ketika sudah "diminta" oleh lelaki.

Saya kira hanya pada zaman kerajaan saja di mana ketika ada seseorang (raja) meminta sesuatu harus pada saat itu pula dikabulkan. Memang mereka punya otoritas macam apa untuk mengubah rancangan hidupmu?

Dari spesies manusia yang sama seperti di atas, ada dua hal yang saya sayangkan:
Pertama, ternyata pendidikan tinggi tidak mendorong angka usia perkawinan sesignifikan yang saya kira.
Kedua, hal yang sama ternyata tidak berhasil menyadarkan mereka bahwa jika mereka hidup di bawah air, mereka tidak akan merasakan airnya sampai mereka terpancing ke luar oleh kail nelayan. Mereka tidak sadar sudah berpikir menggunakan standar tertentu dalam masyarakat dan bahwa ada standar lain selain milik mereka yang hanya akan mereka sadari ketika mereka menanggalkan pola pikir itu.

Apakah salah bila memiliki keinginan tertentu pada usia tertentu? Sayangnya saya akan bilang tidak. Sangat wajar dan normal. Namun akan membuat saya mengerutkan segenap otot-otot wajah saya dengan sangat jijik ketika mereka merasa bahwa keinginan itu adalah kondisi ideal yang harus ada dalam masyarakat.

Menarik Konsep Pernikahan ke dalam Realita

Saya teringat beberapa FTV yang saya pernah tonton saat saya duduk di bangku sekolah dasar dulu. Premis yang berkembang kala itu adalah seputar sepasang kekasih yang ingin menikah tetapi si lelaki tidak cukup mapan untuk standar orang tua si perempuan. 

Akhirnya setelah beberapa kali memeluk pohon dan berlarian dalam hujan sambil menyanyikan lagu, mereka memutuskan kawin lari. Cinta di atas segalanya, kata mereka.

Di sisi lain, orang tua dan kerabat si perempuan akan dengan sombongnya menyumpahi si pemuda yang belum punya apa-apa tetapi nekat menikahi si perempuan. Oh ya, tidak lupa dengan iringan musik jahat atau sambaran petir sebagai latar belakang. Saya curiga mereka punya stok musik itu dan hanya akan menyalinnya pada FTV lain yang sejenis.

Namun butuh waktu lama bagi saya untuk menyadari bahwa slogan "Cinta tidak bisa dimakan" yang biasa dikatakan peran antagonis itu juga ada benarnya. Mungkin persentasenya tidak setinggi yang ada di benak tokoh-tokoh antagonis itu, tetapi tetap saja omongan mereka berangkat dari kebenaran.

Dulu saya membayangkan hubungan ideal yang mungkin saya miliki saat nanti menikah. Bersama dengan orang dengan rupa yang indah, rupiah yang banyak dan pandai berhitung dalam logika tuhan. Sampai suatu saat saya menyadari bahwa hal itu adalah mustahil untuk didapatkan bersamaan. Setidaknya untuk saya yang bukan siapa-siapa.

Tersebab kategorisasi yang menyudutkan saya ke sisi kelompok pesimis, saya sudah mempunyai kemungkinan-kemungkinan terburuk terhadap apa-apa saja yang akan menimpa saya. Mungkin saya menikah dengan orang yang saya tidak suka, mungkin orang yang saya suka menyatakan cintanya kepada saya sehari sebelum pernikahan saya, mungkin suami saya nanti tidak sama dengan standar orang atau malah standar saya sendiri.

Semua skenario rasa-rasanya pernah saya putar di otak saya beserta simulasi untuk melakoninya. Mungkin pada ujungnya saya sadar bahwa saya bisa melakukannya atas dasar ibadah dan seharusnya tidak satu ibadah pun diniatkan untuk memuaskan mata manusia atau membungkam mulut tetangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun