Akhirnya setelah beberapa kali memeluk pohon dan berlarian dalam hujan sambil menyanyikan lagu, mereka memutuskan kawin lari. Cinta di atas segalanya, kata mereka.
Di sisi lain, orang tua dan kerabat si perempuan akan dengan sombongnya menyumpahi si pemuda yang belum punya apa-apa tetapi nekat menikahi si perempuan. Oh ya, tidak lupa dengan iringan musik jahat atau sambaran petir sebagai latar belakang. Saya curiga mereka punya stok musik itu dan hanya akan menyalinnya pada FTV lain yang sejenis.
Namun butuh waktu lama bagi saya untuk menyadari bahwa slogan "Cinta tidak bisa dimakan" yang biasa dikatakan peran antagonis itu juga ada benarnya. Mungkin persentasenya tidak setinggi yang ada di benak tokoh-tokoh antagonis itu, tetapi tetap saja omongan mereka berangkat dari kebenaran.
Dulu saya membayangkan hubungan ideal yang mungkin saya miliki saat nanti menikah. Bersama dengan orang dengan rupa yang indah, rupiah yang banyak dan pandai berhitung dalam logika tuhan. Sampai suatu saat saya menyadari bahwa hal itu adalah mustahil untuk didapatkan bersamaan. Setidaknya untuk saya yang bukan siapa-siapa.
Tersebab kategorisasi yang menyudutkan saya ke sisi kelompok pesimis, saya sudah mempunyai kemungkinan-kemungkinan terburuk terhadap apa-apa saja yang akan menimpa saya. Mungkin saya menikah dengan orang yang saya tidak suka, mungkin orang yang saya suka menyatakan cintanya kepada saya sehari sebelum pernikahan saya, mungkin suami saya nanti tidak sama dengan standar orang atau malah standar saya sendiri.
Semua skenario rasa-rasanya pernah saya putar di otak saya beserta simulasi untuk melakoninya. Mungkin pada ujungnya saya sadar bahwa saya bisa melakukannya atas dasar ibadah dan seharusnya tidak satu ibadah pun diniatkan untuk memuaskan mata manusia atau membungkam mulut tetangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H