Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kepintaran: Sebuah Dilema Sebab Akibat

18 November 2020   10:05 Diperbarui: 18 November 2020   10:10 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Mengobrol dengan beberapa orang yang berasal dari perguruan tinggi yang lebih bonafid dari saya, membuat saya memikirkan satu pertanyaan.

Apakah karena dia mengenyam pendidikan di kampus yang bonafid sehingga ia dibilang pintar atau kepintaran akumulatif para mahasiswa di sana yang membuat kampus itu dianggap bonafid?

Sebab dari pengamatan amatir saya, beberapa orang merasa pantas dianggap pintar karena menyandang status sebagai mahasiswa kampus besar. 

Sehingga biarkan saya perjelas,
Dia yang masuk kampus besar menyebabkan konsekuensi bahwa dia akan dianggap pintar.

Masalahnya, bukankah syarat untuk diterima di kampus bonafid adalah pintar? Jadi, pintar itu sebab atau akibat? Yang patutnya dibanggakan itu sebabnya atau akibatnya

Sejujurnya saya sadar bahwa saya sedang bersikap subjektif dalam memberi penilaian sampel yang sangat sedikit ini, tetapi berhubung saya punya kesempatan untuk bersikap subjektif setelah kuliah selama hampir 4 tahun dan dilarang menunjukkan sisi kesubjektifan saya, bukankah ini kesempatan untuk memberi kesempatan saya untuk jadi manusia subjektif sebentar saja?

Penilaian yang saya maksud tidak lain dan tidak bukan adalah label "merasa superior" (yang tentu muncul karena statusnya sebagai mahasiswa dari kampus yang terlalu terkenal untuk diabaikan), yang saya yakin bukan hanya saya saja yang melekatkannya. 

Mereka yang berasal dari kampus ternama biasanya dapat cap jelek itu meski mungkin sebetulnya mereka tidak seperti itu sama sekali.

Sebentar, jika saya menilai seperti itu dan penilaian saya salah karena sampel yang terlalu sedikit, saya akan sarankan agar para sampel itu saja yang disalahkan. 

Mengapa mereka merepresentasikan almamater mereka dengan buruk? Mereka bukan anak ayam yang tidak punya pilihan untuk bersikap bukan?

Yang mengganggu pikiran saya adalah bahwa banyak yang mengunggulkan almamater mereka, merasa pintar karena berhasil diterima di perguruan tinggi yang bagus. 

Namun, masalahnya kampus itu yang bagus karena mencetak output yang juga bagus atau mereka memang hanya memilih input yang bagus-bagus saja sehingga outputnya tidak akan jauh berbeda dengan inputnya?

Ketika status bagus atau tidaknya sebuah institusi pendidikan ditentukan oleh seberapa pintar orang yang ada di dalamnya, maka satu-satunya yang dapat dibanggakan adalah orang atau "bensin" yang menjadi penggerak.

Kalaupun "bensin" itu dipindahkan ke motor lain, ia akan bekerja dengan sama baiknya. Kampus atau "motor" itu adalah wadah. Untuk apa bensin berkualitas bagus mengunggulkan motor yang ia akan tempati? Bukankah yang menentukan bagus atau tidaknya tarikan mesin adalah dia sendiri?

Satu hal yang bisa disamakan dengan penjelasan saya sebelumnya adalah bagaimana iklan bekerja. Kita familiar dengan fakta bahwa perempuan menggunakan produk kecantikan karena ingin kulitnya seputih model di iklan produk itu. 

Namun, apakah benar bahwa produk itu membuat modelnya terlihat lebih putih? Ataukah produk itu menunjuk sesosok perempuan sebagai model karena kulitnya yang dianggap putih?

Dua hal itu adalah ilustrasi dari kesesatan berpikir yang bisa kita sebut The Swimmer's Body Illusion. Dalam bukunya yang berjudul The Art of Thinking Clearly, Rolf Dobelli menjelaskan bahwa penamaan ini berkaitan dengan hasrat orang-orang untuk memiliki tubuh yang ramping seperti para perenang. 

Padahal tubuh ramping itu bukanlah hasil dari aktivitas berenang yang dilakukan atlet, melainkan syarat yang harus dimiliki sebagai modal utama seorang perenang.  

Jika kembali ke cerita saya sebelumnya, maka kepintaran mahasiswa yang kuliah di kampus bonafid adalah prasyarat untuk dapat mengenakan jas almamater kampus itu. Meskipun ada yang mengartikan bahwa "dianggap pintar" adalah konsekuensi dari masuknya ia ke institusi itu, yang mana adalah salah.  

Bila mereka membanggakan "sebab" yang disalahpahami sebagai "akibat", memang kenapa? Toh, faktanya mereka juga sama-sama pintar. 

Katakanlah benar bahwa mereka memang pintar, tetapi bila kita urutkan kepintaran sebagai sebuah sebab yang melatarbelakangi ia mendapat almamater bagus, maka kita akan dapatkan simpulan seperti ini.

Jika seseorang pintar, ia pasti mahasiswa dari kampus yang bagus
Andini adalah orang yang pintar
Maka Andini adalah mahasiswa dari kampus yang bagus

Namun, jika dibalik, apakah mahasiswa dari kampus yang bagus sudah pasti pintar? Belum tentu. 

Hubungan antara menjadi pintar dan menjadi mahasiswa kampus yang bagus tidak bersifat kausalitas. Sama seperti argumen di bawah ini,

Semua anggur berwarna ungu
Buah itu adalah anggur
Maka buah itu berwarna ungu
Tetapi tidak semua yang berwarna ungu adalah anggur, bukan?

Jadi, bila mengamini bahwa menjadi pintar adalah sebuah sebab, tentu tidak akan ada lagi simpulan yang menyatakan bahwa semua mahasiswa dari kampus yang bagus selalu dan sudah pasti pintar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun