Nanti saja, sodorkan pilihan ketika aku sudah dewasa.
Tapi ternyata dewasa tidak permisi dulu. Ia melaju tanpa malu ke depan pintu rumahku. Katanya sudah saatnya yang kutunda menunggu untuk diramu. Aku terpaku.Â
Ia menatapku dengan meminta tanda tangan berlumur abu. Katanya, sebagai pengingat bahwa banyak keputusan malah mengantar pemutusnya menjadi abu.
Dewasa duduk di hadapanku, menarik kursi dan mematung. Seperti menunggu alu mencium lesung, ia tidak lantas pergi ketika melihatku termenung. Sampai ada bunyi asu mbaung, ia malah seperti sukarela dipasung. Enggan pulang meski tahun sudah terhitung.
"Kapan-kapan datanglah lagi," kataku.
"Seorang kawan lama memberitahu bahwa aku semestinya datang"
"Siapa kawan lamamu itu?"
"Si Tua"
"Mengapa kau dengarkan si Tua bahkan ketika ia mendahului orang yang harusnya kau kunjungi dulu? Ia bahkan tidak jarang menghentikanmu dari mengunjungi orang yang sama. Kau masih menyebutnya kawan lama?"
"Kawan lama selalu menghangatkan. Memberi apa yang kau tahu tidak akan dapatkan dari kawan barumu. Ia menghentikanku dari mengunjungi orang-orang yang hanya akan membuang waktuku"
"Dan ia memberitahukanmu untuk datang padaku?"
"Bukankah sudah jelas?"
"Tapi aku tidak mampu"
Dewasa memberitahuku satu hal dan tak terhitung lainnya. Memukulku keras sekali dari utopia kecil yang kulihat pada serial kartun favoritku. Katanya tidak ada ibu peri, tidak ada kuda cantik dan pangeran tampan berbaju putih dengan lencana di pundaknya.
Ia tampak sebal tiap kali aku menanggapinya dengan gelengan kepala. Sekalinya anggukan ia dapat, aku mengiyakan ketidaktahuanku yang tercium olehnya. Dia seperti menyesal dengan rekomendasi si Tua kawan lamanya.
"Sudah kubilang aku tak mampu"
"Tidak. Kau tidak tahu bahwa orang-orang sebelumnya lebih menyedihkan darimu"
"Tidakkah kau lewati ia?"
"Tidak. Aku bergumul dengannya sangat lama hingga aku lupa bahwa aku dan dia adalah dua. Aku tetap melanjutkan perjalanan walau ia terlanjur jatuh hati padaku."
"Tapi aku memang benar...."
"Kau tidak tahu apapun, perempuan muda. Ia pada akhirnya menjadi sepertiku dan banyak mengunjungi orang-orang yang si Tua kunjungi. Ia malah meringankan bebanku"
Aku mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa?
Yang kutahu bahwa ujung apapun akan sama dengan pangkal pemulainya.
"Tidak seperti itu" katanya setelah mendengar kata-kataku dalam lamunan.
"Bagaimana kau bisa tahu.."
"Kau akan mempelajari bagaimana itu bekerja setelah kau percaya padaku. Kau bahkan bisa membaca orang tanpa sedikitpun mendengar apa yang dia bisikkan pada hatinya"
Ombak bergulung lebih bulat. Ia menangkap keraguanku dengan tepat. Lalu membuatku yakin untuk tetap lewat.
Terakhir kulihat punggungnya menjauh. Jangkar telah dilempar dari sauh. Kini lembar tanda tangan telah terisi penuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H