"Tapi aku tidak mampu"
Dewasa memberitahuku satu hal dan tak terhitung lainnya. Memukulku keras sekali dari utopia kecil yang kulihat pada serial kartun favoritku. Katanya tidak ada ibu peri, tidak ada kuda cantik dan pangeran tampan berbaju putih dengan lencana di pundaknya.
Ia tampak sebal tiap kali aku menanggapinya dengan gelengan kepala. Sekalinya anggukan ia dapat, aku mengiyakan ketidaktahuanku yang tercium olehnya. Dia seperti menyesal dengan rekomendasi si Tua kawan lamanya.
"Sudah kubilang aku tak mampu"
"Tidak. Kau tidak tahu bahwa orang-orang sebelumnya lebih menyedihkan darimu"
"Tidakkah kau lewati ia?"
"Tidak. Aku bergumul dengannya sangat lama hingga aku lupa bahwa aku dan dia adalah dua. Aku tetap melanjutkan perjalanan walau ia terlanjur jatuh hati padaku."
"Tapi aku memang benar...."
"Kau tidak tahu apapun, perempuan muda. Ia pada akhirnya menjadi sepertiku dan banyak mengunjungi orang-orang yang si Tua kunjungi. Ia malah meringankan bebanku"
Aku mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa?
Yang kutahu bahwa ujung apapun akan sama dengan pangkal pemulainya.
"Tidak seperti itu" katanya setelah mendengar kata-kataku dalam lamunan.