Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Hukum

MNC Group untuk Indonesia yang Lebih Produktif

22 September 2020   11:22 Diperbarui: 22 September 2020   15:12 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bukan pertama kalinya Mahkamah Konstitusi menerima permintaan akan judicial review. Beberapa waktu lalu, sekelompok orang yang resah akan LGBT juga mengajukan judicial review mengenai pemidanaan LGBT yang saya tidak tahu diterima tidaknya. 

Namun bukan mengenai LGBT yang lebih menarik untuk dibahas, melainkan tuntutan MNC Group untuk merevisi definisi penyiaran. Tuntutnya, definisi penyiaran harus mencakup siaran di platform lain seperti Youtube, Instagram atau Facebook. Alasannya bukan karena istilah Youtube yang disinyalir memiliki arti aku Yahudi dalam bahasa Ibrani, tetapi atas dalih tanggung jawab moral bangsa. Sungguh mulia sekali. 

Ditandatangininya petisi penolakan gugatan MNC Group oleh ribuan orang ini menandakan bahwa masyarakat luas, saya yakin, sudah mengetahuinya. Sehingga tentu penjelasan lanjutan tidak perlu dilakukan. 

Yang perlu saya tekankan adalah mengapa kita perlu mendukung gugatan MNC Group ini. Betul, patutnya kita mendukung peluasan definisi penyiaran meluas yang diharapkan hingga mencakup siaran di platform lain yang telah disebutkan di atas. 

Pasalnya, bukankah hiburan yang berlebihan dapat membuat kita tidak produktif? Bandingkan dengan TV yang hanya menyajikan acara orang kaya yang berpura-pura jadi pemulung sampah atau percintaan anak muda yang minim logika. 

Tentu manusia sapien cerdas akan menyadari bahwa TV sesungguhnya menyuruh kita untuk lebih produktif dengan meninggalkan tayangan TV karena ketidakmenarikannya. Dengan asumsi bahwa masyarakat cukup melek dengan kesadaran ini.

Sayangnya sudah banyak sekali platform digital yang lebih menarik dari TV, sehingga TV mulai khawatir bagaimana nasib anak Indonesia yang terpapar siaran yang meningkatkan hormon dopamin terlalu sering? 

Dr. Cameron Sepah, psikolog asal San Fransisco dalam penelitiannya menyatakan bahwa paparan terhadap hormon dopamin yang terlalu sering akan menyebabkan kecanduan, sehingga ia sekaligus juga memperkenalkan puasa dopamin atau dopamine detox dengan cara mengurangi paparan internet dan gawai. 

Bicara mengenai tuntutan tersebut, saya yakin para petinggi TV ini dulunya memiliki nilai yang baik saat penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) zaman orba dulu. Sehingga pengetahuan akan kehidupan bernegaranya serta kepedulian sosialnya sangat bagus.

Segala hal di dunia ini memang perlu diatur. Contohnya, dikarenakan kemampuan industri perlampuan Indonesia dalam memproduksi sendiri lampu LED baru sekitar 50%, alangkah lebih baik bila pemerintah Indonesia meregulasi intensitas paparan matahari yang diterima di seluruh nusantara. 

Bayangkan bila pada siang hari masyarakat tidak mendapatkan cahaya matahari yang cukup untuk beraktivitas, permintaan terhadap lampu pun akan meningkat. Dengan adanya permintaan yang meningkat, produsen lampu akan menikmati laba lebih besar sehingga skala produksi akan meningkat. 

Gagasan yang berasal dari Petition of The Candlemaker yang ditulis Frederic Bastiat ini sebetulnya sudah ada beratus tahun lalu, tetapi hingga hari ini tampaknya masih relevan. Nampaknya terlalu realistis ide ini untuk sekadar dianggap sebagai satir.  

Lagipula jika tidak ingin secara langsung membangun ekonomi dari sektor swasta, pemerintah pun memiliki opsi lain untuk mengembangkan bidang penerangan melalui perusahaan negara yang kita sebut PLN.

Terlepas dari siapapun pengelolanya, pembatasan paparan matahari ini, selain ditinjau dari segi ekonomi, dapat pula ditinjau dari segi kesehatan. Sinar matahari, sebagaimana yang kita tahu, merupakan pemicu timbulnya kanker kulit.

 Kanker kulit sendiri merupakan satu dari enam kanker paling ganas di dunia. Jika pembatasan paparan matahari benar-benar dilakukan, berapa banyak nyawa yang akan diselamatkan dari pembunuh nomor satu di dunia ini? 

Poin penting selain dari hal diatas adalah dari sudut pandang gender yang hampir selalu dipersepsikan dengan keindahan. Saya berpendapat bahwa pembatasan paparan sinar matahari juga akan memangkas anggaran untuk bersolek. 

Tidak lagi diperlukan riasan berlebihan karena berias pun jika suasananya redup, siapa yang mau memperhatikan? Dengan adanya hal ini, sebenarnya para pelaku industri fashion juga akan dirugikan. Sebab masyarakat akan mengurangi konsumsi terhadap produk fashion. 

Bukan hal yang negatif seharusnya. Tetapi kesenjangan sosial yang biasanya tergambar dengan sempurna di atas kain yang melekat pada tubuh tidak akan ada lagi. Masyarakat akan lebih peduli mengenai bagaimana memenuhi kebutuhan akan penerangan yang sebelumnya bahkan tidak termasuk dalam kebutuhan pokok. 

Lalu bagaimana dengan petisi penolakan terhadap gugatan MNC Group? Sudah terlalu jelas bahwa itu adalah hal paling tidak rasional yang pernah ada. MNC Group saja ingin agar masyarakat tidak menonton TV terlalu lama, mengapa malah kita gugat?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun