Virus Corona adalah frasa yang tentu tidak asing bagi warga dunia pada abad ke-21 ini (Kecuali bila ada warga impor dari planet lain). Virus yang sejak 11 Maret 2020 ditetapkan sebagai pandemi ini menimbulkan berbagai dampak. Yang paling disoroti tentu sektor perekonomian dan sektor kesehatan dimana virus ini bergumul.Â
Pada sektor ekonomi, pemberitaan kebanyakan membicarakan mengenai bagaimana pandemi menghancurkan roda perekonomian terutama kepada para pekerja sektor informal.Â
Sebetulnya tidak salah juga bila dikatakan sektor informal yang terganggu akan mempengaruhi perekonomian nasional secara keseluruhan, mengingat data dari Lokadata yang menyatakan pekerja Indonesia didominasi pekerja informal sebanyak 57.27% sedangkan pekerja formal sebanyak 42.73% pada 2019.Â
Tentu beralasan sekali bila pemerintah mengkhawatirkan sektor ini. Sebab bila konsumsi pekerja sektor informal goyah, Pendapatan Nasional akan goyah juga. Hal ini bisa dilihat pada formula Pendapatan Nasional ini dimana Pendapatan Nasional dinotasikan dengan huruf Y
Y = C + I + G + (X-M)
Konsumsi pekerja informal termasuk ke dalam kategori C yang merupakan konsumsi masyarakat. Sehingga jika konsumsi turun, pendapatan nasional akan turun pula.
Tidak ada yang salah dengan cara orang-orang menyoroti dampak pandemi pada sektor ekonomi sebab kesejahteraan masyarakat memang jaminan pemerintah? Tetapi kenapa hanya fokus pada uang yang keluar dan masuk kantung saja? Bukannya kesejahteraan tidak dapat diukur dari seberapa banyak uang yang dimiliki seseorang?Â
Kesejahteraan juga tidak memiliki tolok ukur yang sama tiap orangnya, sehingga pemberian insentif dengan nominal yang sama tidak menjamin kesejahteraan individu berada pada tingkat kesejahteraan yang sama pula.
Isu mengenai kesejahteraan yang seringkali tergelincir dari perhatian media adalah problematika kelompok marjinal. Bukan hanya orang-orang yang tidak memiliki rumah lantas mereka suka tidur di pinggir jalan atau di depan toko, bukan! Bukan hanya itu maksudku. Seseorang dapat disebut bagian dari kelompok marjinal ketika ia dianggap berbeda dengan orang kebanyakan.Â
Kalau ada di lingkunganmu, orang dengan keterbatasan fisik sehingga dia kesulitan mengakses fasilitas publik, ia termasuk kelompok marjinal. Kalau juga ada di tempat tinggalmu orang yang berusia lanjut dan kesulitan menggunakan gawai atau tidak dapat mengakses informasi di internet seluwes anak muda, itu juga termasuk kelompok marjinal. Sayangnya, kelompok marjinal juga mencakup banyak kalangan lain yang tentu halaman ini tidak cukup untuk menjelaskannya.
Sebetulnya akan cukup melegakan bila kelompok-kelompok marjinal berspektrum sesempit penjelasanku di atas. Tetapi, nyatanya masih banyak lagi kelompok marjinal yang ada pada suatu komunitas. Oh, ya, transgender juga termasuk di dalamnya. Tentu stigma masyarakat dan norma-norma yang dianut di suatu komunitas lebih sering tidak menyambut baik kelompok ini.
Sekarang dengan adanya pandemi, mereka mengalami kerentanan ganda. Selain karena hambatan yang ada pada diri mereka sendiri tetapi juga hambatan yang berasal dari luar. Salah satu kelompok marjinal yang paling dekat dengan kita adalah lansia.Â
Kekurangan akses terhadap teknologi dan informasi yang berkaitan dengan penanganan pandemi, keadaan ekonomi yang kerap memaksa mereka melupakan usia mereka untuk bekerja dan juga kecenderungan para lansia untuk memiliki penyakit penyerta merupakan tiga perpaduan yang sempurna dalam menggambarkan kelompok marjinal.Â
Kerentanan yang timbul dengan adanya pandemi ini adalah kesulitan untuk mengakses fasilitas kesehatan karena adanya Pembatasan Sosial. Belum lagi kurangnya informasi yang mereka dapatkan karena ketidakakraban dengan teknologi moderen. Bayangkan apabila mereka terinfeksi virus ini sedangkan mereka memiliki penyakit penyerta. Tentu ini akan memperparah kondisi mereka.
Kelompok marjinal yang lain adalah kelompok minoritas gender. Para transpuan atau waria kerap kali tidak mendapatkan pengakuan sebagai warga suatu komunitas terkait dengan penampilan fisik ataupun orientasi seksualnya.Â
Selain itu, kelompok ini juga kerap luput dari pemberian bantuan pemerintah karena tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Ditambah lagi dengan adanya pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang membatasi ruang gerak mereka dalam mengais rupiah.
Sayangnya tidak sampai di situ, kalangan masyarakat dengan keterbatasan fisik juga masuk dalam kelompok yang memiliki kerentanan ganda selama terjadinya pandemi. Data Survei Penduduk Antar Sensus pada tahun 2015 menunjukkan bahwa 8.6% penduduk Indonesia merupakan penyandang difabilitas. Â Â
Status sebagai seorang difabel tentu membawa konsekuensi khusus yang tidak didapatkan oleh individu pada umumnya. Secara fisik, mereka kesulitan mengakses fasilitas-fasilitas umum, sulit mendapat pekerjaan serta membutuhkan bantuan orang lain dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tentu tidak mengherankan bila pandemi ini makin "meminggirkan" mereka dari pemenuhan kebutuhan mereka sehari-hari.
Dengan adanya pandemi ini dimungkinkan dunia mengalami New Normal. Masker yang hanya akrab ada negara Asia akan lebih membudaya. Mencuci tangan akan dilakukan lebih sering. Pemahaman yang lebih baik akan sanitasi. Momen ini juga dapat dipahami sebagai sebuah kesempatan untuk membentuk kesadaran dan penanganan yang lebih baik terhadap kaum marjinal.Â
Jika dari aspek kesehatan dapat dibentuk pola baru yang lebih baik, maka bukan tidak mungkin ada aspek lain seperti inklusivitas yang diharapkan juga akan membaik. Tentu dengan menggarisbawahi keseriusan pemerintah maupun warga pada umumnya dalam "menengahkan" kembali kaum yang terpinggirkan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H