Beberapa kali saya nonton serial di televisi yang kurang lebih isinya mengenai anak yang durhaka pada orang tua. Muda, binal, lupa berterimakasih hampir selalu melekat pada karakter anak. Orang tua pun digambarkan sebagai pribadi yang taat kepada agama, mendoakan kebaikan bagi sang anak dan selalu sabar menghadapi kelakuan anak yang disetting menyebalkan. Â
Serial semacam ini mengaburkan realita bahwa dalam kenyataan tidak ada orang yang benar-benar jahat atau benar-benar baik. Tidak ada sosok sesempurna Fitri yang mempertahankan suaminya yang mati-matian direbut oleh Miska si pelakor (Ada yang tahu sinetron Cinta Fitri?)Â
Dunia ini juga membolehkan kita menjadi baik dengan mengadaptasi beberapa kejahatan yang menurut beberapa orang ditolerir. Contoh? Membenci guru di sekolah, pacaran sampai melewati norma budaya timur, membantah ucapan orang tua.Â
Menariknya, hal-hal itu dapat diiringi dengan prestasi baik seseorang, image baik yang ditimbulkan olehnya kepada rekan sebaya. (Sementara rekannya tidak tahu bagaimana ia bersikap kepada orangtuanya)Â
Lihat? Bukankah itu yang lebih akrab tersapa oleh mata kita? Bahwa baiknya seseorang tidak menjamin dia bebas dari unsur kejahatan yang didefinisikan sebagai ciri antagonis di sinetron.Â
Jika ditarik dari argumen diatas, maka harusnya bukan hal aneh bila sanggahan atas omongan orang tua tidak lantas menjadikan anak itu menjadi tokoh antagonis dan si orang tua menjadi protagonis.Â
Bila orang tua tidak mau membiayai kuliah sang anak dan anak membantah keinginan orang tua apa itu menjadikan anak sebagai teman Lusifer di neraka? Sementara orang tuanya tidak ingin menyekolahkan si anak untuk alasan yang tidak jelas. Padahal rumahnya terlalu bagus untuk dibilang tidak sanggup menyekolahkan anaknya.
Sebenarnya kalau mau berbicara dari sudut pandang agama, Islampun mengizinkan sanggahan atas orang tua ketika itu bertentangan dengan aturan agama yang berlaku. Saya tidak ingin menentang doktrin agama. Saya tahu itu baku dan sudah pokok. Rigid, kalau bahasa hukumnya.
Namun ada beberapa hal yang semestinya menjadi kesepakatan antara orang tua dan anak. Bahwasanya dialog yang terjadi, saran dari orang tua, bukanlah sesuatu yang tidak dapat disanggah. Sekarang bila si anak berpendidikan lebih tinggi dari orang tuanya, lantas orang tua memberikan saran yang sifatnya cenderung destruktif (Bisa dimaknai apa saja) apakah pantas bila anak diam saja atas nama perintah agama?Â
Saya tidak bilang bahwa pendidikan yang lebih tinggi membuat kita pantas berujar begitu saja. Tetapi poinnya adalah si anak disekolahkan tinggi-tinggi hanya untuk tidak didengarkan suaranya? Bahkan oleh orang tuanya sendiri? Jika orang terdekat saja tidak mau mendengarkan sang anak, lalu bagaimana dengan orang lain?
Bukankah juga agama harus membuka keran kelogisan omongan yang dapat menuntun kepada hal yang kurang baik? Sebab saya yakin menghindari mudharat itu termasuk dalam keutamaan yang harus didahulukan.
Beberapa waktu belakangan ini ibu saya terus menerus menyuruh saya mengerjakan skripsi -hal yang saya sudah lakukan- karena temannya ada yang memamerkan gelar baru anaknya yang diperolehnya melalui sidang skripsi daring. Ibu sayapun mulai kebakaran jenggot karena belum saya lapori sidang skripsi saya. Â Â Â Â Â Â
Pertanyaannya mengacu pada anak temannya yang barusan sidang skripsi. Padahal sejak SMP dulu, ibu tidak pernah menyuruh saya belajar untuk unas, tidak pernah mengingatkan saya solat. Karena kenyataannya saya sudah dan paham bahwa itu memang kewajiban saya. Di sekolah, saya juga dapat ranking yang lumayan bagus. Tanpa sekalipun diingatkan untuk belajar oleh ibu saya.Â
Beberapa suruhan untuk mengerjakan skripsi pun membuat saya tambah tertekan. Sebetulnya dua bulan pertama saya di rumah, saya sempat stres karena tidak terbiasa hidup di bawah instruksi. Bayangkan bila terus-terusan suruhan mengerjakan skripsi datang ketika saya sebenarnya juga tengah mengerjakan. Â
Lantas, saya hanya harus bilang iya? Apakah saya tidak pantas protes kepada ibu saya agar berhenti memusingkan saya? Jika saya stres, apa orang yang menyuruh tidak membantah omongan orang tua itu akan mau menukar otaknya yang baru (Karena tidak pernah dipakai) dengan otak saya yang mulai sakit sebab terus-terusan diserang ibu saya dengan membandingkan temannya yang suka pamer itu?Â
Bagaimana bila budaya membanding-bandingkan anaknya dengan anak tetangga itu dapat dihapus hanya dengan menimpali kata-kata mereka?
Bahwa anaknya bukan piala yang hanya bisa dipamerkan dan dibandingkan tingginya satu sama lain?Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI