Hilangnya ketersediaan beras di pasaran sempat membuat masyarakat panik. Kelangkaan tersebut berimbas pada melambungnya harga.
Hal ini tentu saja semakin membuat kaum ibu menjerit. Semakin sulit mengatur keuangan agar kebutuhan keluarga terpenuhi.
Kompleksitas permasalahan pangan terutama beras seolah tak ada habisnya. Sebagai bahan pokok masyarakat Indonesia, perihal yang berkaitan dengan beras pastinya akan mengganggu stabilitas.
Anomali cuaca telah berdampak pada menurunnya pertumbuhan produksi. Perubahan iklim telah pula memicu serangan hama.
Lahan produktif banyak beralih fungsi menjadi hunian akibat lonjakan populasi manusia. Lahan pertanian yang terus berkurang tentu saja berpengaruh pula terhadap hasil panen.
Padahal pertumbuhan penduduk yang terus merangkak naik menjadikan konsumsi beras juga terus bertambah.
Badan Pusat Statistik (2023) mencatat bila kekeringan panjang akibat El Nino ditenggarai menjadi penyebab produksi beras nasional pada tahun 2023 turun dari jumlah sebelumnya di tahun 2022 sekitar 31,54 juta ton menjadi 30,9 juta ton.
Erizal Jamal Dt. Tumengguang, profesor riset BRIN dalam opininya di Kompas pada Sabtu, 24 Februari 2024 mengungkapkan tingginya harga beras setahun terakhir di picu banyak faktor, antara lain: kenaikan biaya produksi, penurunan produksi beras nasional, dan tingginya harga beras di pasaran.
Lebih lanjut, Erizal yang juga Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, menyatakan bahwa secara global peningkatan harga beras disebabkan penghentian ekspor beras oleh India sejak 20 Juli 2023 yang berimbas pada berkurangnya stok beras di pasar dunia dan berpengaruh terhadap harga beras dunia.
Buruknya sinergi ketersediaan pangan di tingkat makro dan aksesibilitas rumah tangga terhadap bahan pangan semakin memperparah kondisi yang berakibat pada gizi buruk.