Berkat kandungan protein yang tinggi dan nutrisi yang banyak dimilikinya, tak heran bila di bandingkan jamur konsumsi lainnya, harganya melambung.. Tercatat kisaran harga jual yang mencapai $ 50-216 per kilo gram, dengan kebutuhan mencapai 225 ton kering.
Nilai ekonomi yang cukup menggiurkan. Tentu menjadi incaran masyarakat. Belum ditemukannya teknik budidaya yang tepat menjadikan masyarakat memburunya di hutan secara langsung. Pengambilan secara terus menerus tanpa ada proses budidaya dikuatirkan akan mengancam kelestariannya.
Asep Hidayat PhD, peneliti ahli utama pada Pusat Riset Mikrobiologi Terapan-BRIN, yang juga menjadi koordinator program riset jamur morel, mengungkap bila ancaman kelestariannya tak hanya akibat faktor internal berupa penurunan kelimpahan. Pengakuan sumber daya genetik dari pihak lain, dikuatirkan menjadi ancaman secara eksternal.
Sebagai bentuk antisipasi, Balai TNGR mengandeng Pusat Riset Mikrobiologi Terapan dan Pusat Riset Biosistematika-Badan Riset dan Inovasi Nasional-BRIN untuk melakukan kajian bersama. Base line study menjadi pondasi guna menghimpun basis data. Muaranya mengarah pada upaya pemanfaatan secara berkelanjutan. Masyarakat juga dapat di dorong untuk turut berpartisipasi dalam upaya konservasi. Bahkan nantinya dapat menikmati potensi secara ekonomi.
Dalam kunjungannya beberapa waktu sebelumnya, Kepala Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan, Iman Hidayat PhD, menyatakan dukungan nya akan kolaborasi yang terjalin. Skema pendanaan riset dapat dibangun secara jangka pendek dan panjang. Dukungan BRIN dapat juga berupa peralatan lapangan, pembangunan laboratorium alam khas/spesifik serta menciptakan talenta muda lokal.
"Mandat Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan adalah pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati lokal potensial. Pemanfaatan tersebut dimulai dengan penemuan teknologi kunci yang diselaraskan dengan aspek konservasi, pengelolaan dan perbaikan lingkungan. Tugas ini menjadi penting dan prioritas dalam mendukung peningkatan nilai ekonomi serta proteksi protein dan genomic data dimasa depan". Ujar nya.
Dedy Asriady, selaku Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani tentu sangat menyambut baik jalinan kerja sama ini. Dalam keterangannya, untuk pengelolaan keanekaragaman hayati, TNGR telah memiliki peta jalan penelitian hingga 2031.
Lebih lanjut Dedy mengungkap harapannya, dari kerja sama ini, BRIN dapat mengkaji ulang dokumen dalam hal penajaman pengelolaan kawasan konservasi. Saat ini, terdapat 6 prioritas jenis yang ditetapkan untuk perlindungan, dan pemanfaatan secara lestari. Terutama spesies yang memiliki nilai ekonomi, seperti Morel (Morchella sp.) dan Pranajiwa (Euchresta horsfieldii).
Sebagai kekuatan secara legal dalam tataran teknis pelaksanaannya, Nota Kesepahaman antara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kepala Badan dan Inovasi Nasional telah ditandatangani pada tanggal 3 Mei 2023.