Mohon tunggu...
Melani Kurnia Riswati
Melani Kurnia Riswati Mohon Tunggu... Penulis - Humas Ahli Muda Badan Riset dan Inovasi Nasional-BRIN

Menyenangi kegiatan alam bebas, membaca dan menulis. Edukator dan pendamping komunitas lingkungan. Saat ini bertugas sebagai Humas Ahli Muda BRIN.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bioprospeksi Jamur Morel Taman Nasional Gunung Rinjani

23 Juni 2023   17:42 Diperbarui: 23 Juni 2023   18:28 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bentang alam Taman Nasional Gunung Rinjani. Foto dokumentasi: TNGR

Demi perwujudan menuju Indonesia maju 2045 tentu tak mudah. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi kunci dalam implemantasi nya. Tak hanya sumber daya manusia yang mumpuni, berbagai peran strategis melalui pelibatan stakeholders menjadi penting dalam mendorong inovasi.

Iptek tak hanya menjadi determinan pertumbuhan ekonomi. Transformasi masyarakat berbudaya iptek menjadi harapan dalam mewujudkan daya saing demi meraih kemajuan dan kesejahteraan.

Saat ini, paradigma konservasi mulai bergeser pada upaya bioprospeksi. Bioprospeksi diistilahkan sebagai mekanisme penggalian informasi materi genetik keanekaragaman hayati agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Modal Indonesia berupa kekayaan hayati menjadi tantangan untuk terus menggali misteri guna mengungkap potensi nya. Salah satunya potensi jamur morel yang dimiliki Balai Taman Nasional Gunung Rinjani ( Balai TNGR).

TNGR tak hanya menyuguhkan bentang alam yang memesona. Keberadaannya dalam garis Wallace yakni wilayah antara zona Asia dan Australia, menjadikannya memiliki keunikan tersendiri. Kekhasan flora fauna didalamnya bahkan telah sejak lama menjadi magnet para ilmuwan dunia.

 

Mengenal Jamur Morel 

Secara ekologi, jamur morel atau Morchella spp. umum dijumpai didaerah bersuhu dingin. Peneliti menduga, didunia terdapat sekitar 80 jenis. Umumnya tumbuh tersebar pada kawasan temperate Eropa, Amerika dan Asia. Alam tropis Rinjani nyatanya menjadi salah satu habitat dari jenis edible mushroom ini.

Dalam kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani, jamur morel dapat dijumpai tumbuh pada ketinggian 1100-1800 meter diatas permukaan laut. Umumnya ditemukan pada daerah terbuka sepanjang akses jalur pendakian.

Untuk mengenali nya sangat mudah. Tampilan fisik jamur golongan Ascomycota ini unik. Pada permukaan tudungnya yang berwarna putih, tampak kerutan membentuk ruang-ruang tak beraturan.

Sosok Jamur Morel. Foto Dokumentasi: TNGR
Sosok Jamur Morel. Foto Dokumentasi: TNGR

Berkat kandungan protein yang tinggi dan nutrisi yang banyak dimilikinya, tak heran bila di bandingkan jamur konsumsi lainnya, harganya melambung.. Tercatat kisaran harga jual yang mencapai $ 50-216 per kilo gram, dengan kebutuhan mencapai 225 ton kering.

Nilai ekonomi yang cukup menggiurkan. Tentu menjadi incaran masyarakat. Belum ditemukannya teknik budidaya yang tepat menjadikan masyarakat memburunya di hutan secara langsung. Pengambilan secara terus menerus tanpa ada proses budidaya dikuatirkan akan mengancam kelestariannya.

Asep Hidayat PhD, peneliti ahli utama pada Pusat Riset Mikrobiologi Terapan-BRIN, yang juga menjadi koordinator program riset jamur morel, mengungkap bila ancaman kelestariannya tak hanya akibat faktor internal berupa penurunan kelimpahan. Pengakuan sumber daya genetik dari pihak lain, dikuatirkan menjadi ancaman secara eksternal.

Sebagai bentuk antisipasi, Balai TNGR mengandeng Pusat Riset Mikrobiologi Terapan dan Pusat Riset Biosistematika-Badan Riset dan Inovasi Nasional-BRIN untuk melakukan kajian bersama. Base line study menjadi pondasi guna menghimpun basis data. Muaranya mengarah pada upaya pemanfaatan secara berkelanjutan. Masyarakat juga dapat di dorong untuk turut berpartisipasi dalam upaya konservasi. Bahkan nantinya dapat menikmati potensi secara ekonomi.

Kegiatan eksplorasi di TNGR. Foto dokumentasi: TNGR
Kegiatan eksplorasi di TNGR. Foto dokumentasi: TNGR

Dalam kunjungannya beberapa waktu sebelumnya, Kepala Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan, Iman Hidayat PhD, menyatakan dukungan nya akan kolaborasi yang terjalin. Skema pendanaan riset dapat dibangun secara jangka pendek dan panjang. Dukungan BRIN dapat juga berupa peralatan lapangan, pembangunan laboratorium alam khas/spesifik serta menciptakan talenta muda lokal.

"Mandat Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan adalah pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati lokal potensial. Pemanfaatan tersebut dimulai dengan penemuan teknologi kunci yang diselaraskan dengan aspek konservasi, pengelolaan dan perbaikan lingkungan. Tugas ini menjadi penting dan prioritas dalam mendukung peningkatan nilai ekonomi serta proteksi protein dan genomic data dimasa depan". Ujar nya.

Kepala Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan saat melakukan kunjungan ke TNGR (tampak ditengah berkaos putih). Foto dokumentasi: TNGR
Kepala Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan saat melakukan kunjungan ke TNGR (tampak ditengah berkaos putih). Foto dokumentasi: TNGR

Dedy Asriady, selaku Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani tentu sangat menyambut baik jalinan kerja sama ini. Dalam keterangannya, untuk pengelolaan keanekaragaman hayati, TNGR telah memiliki peta jalan penelitian hingga 2031.

Lebih lanjut Dedy mengungkap harapannya, dari kerja sama ini, BRIN dapat mengkaji ulang dokumen dalam hal penajaman pengelolaan kawasan konservasi. Saat ini, terdapat 6 prioritas jenis yang ditetapkan untuk perlindungan, dan pemanfaatan secara lestari. Terutama spesies yang memiliki nilai ekonomi, seperti Morel (Morchella sp.) dan Pranajiwa (Euchresta horsfieldii).

Sebagai kekuatan secara legal dalam tataran teknis pelaksanaannya, Nota Kesepahaman antara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kepala Badan dan Inovasi Nasional telah ditandatangani pada tanggal 3 Mei 2023.

Program Riset Dari Hulu ke Hilir

Dalam pelaksanaannya, berbagai paket kegiatan telah dirancang. Penelitian lapangan dan uji laboratorium dilakukan.

Kegiatan isolasi jamur di laboratorium. Foto dokumentasi: TNGR
Kegiatan isolasi jamur di laboratorium. Foto dokumentasi: TNGR

Aktivitas lapangan berupa eksplorasi dan karakteristik habitat spesifik menjadi hal utama yang dilakukan. Riset mendalam terkait phylogenetic menjadi dasar untuk mengetahui asal usul dan kekerabatannya. Karakterisasi siklus hidup menjadi data primer yang sangat dibutuhkan. Rentetan kegiatan yang dilakukan tentunya akan bermuara pada formulasi dalam teknik budidaya secara ek-situ (di luar habitat nya).

Bioprospeksi sebagai pendekatan dalam upaya mendukung ekonomi berkelanjutan, tentu sangat didambakan. Tak hanya kelestarian ekosistem dan keuntungan eksistensi sumber bahan baku semata. Namun, investasi bioprospeksi turut mendukung pengetahuan masyarakat yang hidup bergantung pada sumber alam dan kearifan lokal.

Sumbangsih hasil riset akan dapat dirasakan oleh semua pihak. Keanekaragaman hayati tetap lestari dan masyarakat menikmati dari potensi keanekaragaman hayati yang dimiliki.(MKR)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun