Karena itu keberhasilan dalam menyelesaikan tantangan yang besar saat ini banyak dipengaruhi oleh kestabilan sosial politik dan sampai seberapa jauh adanya kepastian hukum masyarakat dalam melakukan pembangunan jangka panjang maupun jangka pendek.
Salah satu kendala menuju Indonesia 2045 adalah ketidakmerataan pembangunan pendidikan di Indonesia. Hal ini pun menjadi fokus pembangunan jangka panjang. Ketidakmerataan itu mulai dari infrasturktur hingga sumber daya tenaga pendidik yang tersebar di wilayah tiga 3 T, hal ini perlu dioptimalkan oleh pemerintah untuk kepentingan menuju Indonesia Emas.
Optimalisasi Pendidikan Indonesia yang masih belum merata terutama di wilayah tertinggal. Misalnya, dibeberapa daerah masih belum memiliki gedung, akses internet yang tidak memadai dan sulit didapat. Data Kemendikbud menunjukkan ruang kelas rusak bertambah hingga 26% dalam satu tahun terakhir atau sekitar 250 ribu unit dari 2019 ke 2020. Pada tahun ajaran 2018/2019 terdapat total ruang kelas dari sekolah-sekolah negeri (SD, SMP, SMA dan SMK) yang rusak di seluruh Indonesia mencapai 969.817 ruang kelas.
Jumlahnya bertambah menjadi 1.222.064 ruang kelas yang rusak pada tahun ajaran 2019/2020. Dengan demikian, setidaknya terjadi peningkatan ruang kelas yang rusak sebesar 26% selama masa pandemi setahun terakhir. Ruang kelas yang rusak ini mulai kategori ringan, sedang, berat hingga rusak total. Data Kemendikbud juga menyebutkan hanya sekitar 14% ruang sekolah yang ada di Indonesia dalam kondisi baik dari total 1.413.523 ruang kelas. Tahun 2021, pemerintah menyediakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik untuk 31.695 satuan pendidikan sebesar Rp17,7 triliun. Anggaran tersebut masing-masing diberikan kepada PAUD Rp398,3 miliar, SD Rp7 triliun, SMP Rp657,8 miliar, SKB Rp110,1 miliar, SMA Rp2,43 triliun, SLB Rp125,3 miliar dan SMK Rp3 triliun.
Minimnya tenaga pendidik dan kurang professional. Lebih parah lagi, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Kesenjangan pendidikan di Indonesia masih tinggi, yang kaya mengakses pendidikan negeri dan yang si miskin memilih untuk pendidikan swata.
Situasi pendidikan nasional hari ini, tentu akan berdampak besar bagi masa depan Indonesia yang harapanya Bonus Demografi akan membawa kemajuan dalam perekenomian, jika pemerintah Indonesia belum mampu mengambil langkah untuk membereskan masalah di dunia pendidikan.
perguruan tinggi menyiapkan SDM bermutu
Suatu perguruan tinggi harus merumuskan standar tenaga kependidikan atau standar sumber daya manusia (SDM), di mana standar tersebut berkembang secara berkelanjutan (continuous improvement), semakin tinggi standar SDM yang di tetapkan semakin tinggi bermutu dosen dan tenaga penunjangnya. Standar ini merupakan acuan standar keunggulan mutu sumber daya manusia.
Pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang. Dengan demikian akses masyarakat terhadap pendidikan tinggi perlu ditingkatkan. Dalam mewujudkan keterjangkauan dan pemerataan yang berkeadilan untuk memperoleh pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan kepentingan masyarakat pemerintah maupun pihak swasta telah membangun banyak institusi perguruan tinggi.
Hari ini Indonesia memiliki kesenjangan serta kondisi, menurut hasil penelitian McKinsey tahun 2008 menemukan adanya kesenjangan antara sistem pendidikan Indonesia dengan dunia kerja di Indonesia yaitu lulusan yang dihasilkan oleh perguruan tinggi tidak sesuai dengan yang dibutuhkan pengguna kerja. Sebagai mana telah dikemukakan bahwa kebutuhan tenaga kerja di era global adalah pasokan dan permintaan tenaga kerja disuatu daerah atau negara yang dipengaruhi oleh situasi global karena dunia telah terkoneksi, disetai dengan peningkatan permintaan tenaga kerja terampil dan transisi ke ekonomi berbasis pengetahuan.
Kemendikbudristek menyebutkan kurang lebih sebanyak 1,85 juta mahasiswa lulus kuliah pertahun, ternyata total lowongan kerja yang tercatat di kementrian ketenagakerjaan (kemenaker) hanya 10 % dari jumlah lulusan.