Apa yang membuat kalian memutuskan untuk membeli sebuah buku?
Aku membeli buku Kambing dan Hujan ini pada tahun 2016. Saat itu, aku membeli buku ini karena ada embel-embel "sebuah roman" dan "pemenang I Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014". Aku lebih berharap membaca sebuah kisah cinta yang berakhir bahagia daripada sejarah tentang perselisihan suatu kaum.
Okay, aku akui itu salahku. Seharusnya, kalau aku mau membaca kisah cinta, aku membaca buku-buku berlabel metropop saja. Yang namanya pemenang Sayembara Novel DKJ, tidak mungkin kalau cerita roman semata. Pasti harus ada sesuatu yang membuat berfikir dan merenung. Bukan sekadar petuah berbuat baik. Tapi petunjuk untuk kita memikirkan sesuatu dengan lebih dalam.
Buku ini dibuka dengan seorang anak perempuan yang tampaknya mau minggat tapi berhasil dicegah oleh teman laki-lakinya. Bab selanjutnya bercerita tentang awal mula kedua insan manusia ini bertemu. Seorang gadis bernama Fauzia dan seorang pria bernama Miftahul yang keduanya kemudian saling cinta.
Ketika mereka berkata pada masing-masing orangtuanya untuk menikah, mereka terseret ke perselisihan masa lalu orangtua mereka. Aku lalu teringat cerita cinta legendaris: Romeo and Juliet.Â
Tapi cerita ini tidak bergulir dramatis seperti itu karena kisah Mif dan Fauzia ini bukan cerita utama. Ini adalah cerita yang ditempel untuk membuka cerita yang sebenarnya.
Kisah selanjutnya adalah tentang Is dan Mat. Dua orang sahabat yang tidak saling bertegur sapa selama bertahun-tahun. Kemudian cerita sebuah kampung yang terbelah menjadi utara dan selatan karena perbedaan cara beribadah. Padahal mereka masih satu agama. Dan semakin jauh aku membaca, kayaknya ini adalah novelisasi dari sejarah perkembangan Islam di sebuah kampung.
Kisah cinta Mif dan Zia hanyalah pemantik untuk membuka kisah yang lebih serius. Kambing dan Hujan mewakili kelompok Islam pembaharuan dan Islam tradisional di sebuah kampung bernama Centong. Dua kelompok yang saling bertentangan padahal mereka masih dalam satu agama. Yang diwakili oleh Is dan Mat.
Mungkin ada yang mengira kalau ini adalah tentang NU dan Muhammadiyah. Waktu pertama aku membacanya, aku mengira juga seperti itu. Namun ketika membaca untuk kedua kalinya, aku rasa bukan itu yang dimaksud. Banyak hal-hal yang orang tradisional Centong lakukan tapi bukan atribut orang NU. Tapi ya nggak tau juga ding. Hahaha
Yang jelas, ini adalah cerita tentang pertentangan 2 kelompok di satu kampung. Titik. Yang satu kelompok mempertahankan tradisi dan kelompok satunya lagi berusaha untuk beragama dengan lebih modern.
Yang kemudian harus membuat lebih fokus lagi dalam membaca buku ini adalah karena tokoh dalam novel ini banyak. Dan mereka semua saling berhubungan.
Walaupun, ini sebenarnya adalah kekuatan Mahfud dalam menulis novel ini. Di dunia nyata, orang-orang dalam satu kampung memang saling berhubungan dan bersaudara kecuali pendatang. Jadi, banyaknya tokoh dengan segala keterkaitannya adalah ketekunan penulis yang harus sekali diapresiasi.
Aku cukup related dengan cerita ini. Bukan soal pertentangannya. Ini adalah soal perbedaan-perbedaan kecil yang cukup banyak menguras perhatian. Kapan puasa? Kapan lebaran? Berapa rakaat tarawihnya? Dan banyak hal lainnya lagi. Agak kikuk juga ketika kami sudah merayakan lebaran tapi tetangga kami masih berpuasa. Lebih kikuk lagi, ketika kami memilih solat tarawih di masjid yang lebih jauh untuk rakaat yang lebih sedikit.
Sayangnya, semakin ke sini, dunia nyata belum menunjukkan tanda-tanda akan berbahagia seperti akhir novel Kambing dan Hujan ini. Perbedaan antar kelompok makin dipertajam. Orang-orang makin keras memaki orang yang tidak sepaham dengan mereka. Ini menyedihkan.
Data Buku:
- Judul: Kambing dan Hujan, Sebuah Roman
- Penulis: Mahfud Ikhwan
- Penerbit: PT. Bentang Pustaka
- Cetakan kedua bulan Maret 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H