Seminggu yang lalu, tepatnya hari Sabtu (11 Januari 2020), aku mengikuti sebuah lokakarya bertajuk "Pelatihan Membaca Nyaring dan Pemanfaatan Pustaka Digital". Acara tersebut diselenggarakan di Perpustakaan Kota Bekasi.
Kala itu, seorang teman bertanya, "Ngapain sih ikut pelatihan begituan? Emang apa susahnya mbacain cerita?"
Aku kemudian berfikir, "Iya juga sih. Namanya membaca nyaring kan tinggal baca doang. Kalau harus mengarang cerita tuh, baru harus ada latihannya dulu."
Setelah 3 jam mengikuti pelatihan membaca nyaring bersama Bu Roosie Setiawan, aku jadi berubah pikiran. Ternyata membacakan nyaring itu tidak sesederhana yang aku kira, ya.Â
Di awal paparannya, Ibu Roosie mengutip kata-kata dari Jim Trelease (penulis buku The Read Aloud Handbook), "Membaca nyaring adalah aktivitas sederhana, di mana kita menyisihkan waktu untuk membaca cerita, secara terus menerus yang berdampak membuat bisa mendengar, mau membaca, dan akhirnya bisa membaca."
Dengan tujuan semulia itu, kita tentu tidak bisa melakukan dengan sembarangan, kan ya? Kalau kata Gladwell di buku The Tipping Point, kita harus melakukan sesuatu yang memiliki faktor perlekatan supaya anak-anak tergerak untuk membaca. Lalu bagaimana cara membaca nyaring yang baik?
Pertama, orang yang mau melakukan membaca nyaring harus mempelajari terlebih dahulu buku yang akan dibacanya. Kita sendiri, harus belajar membaca dengan baik, mengetahui fungsi tanda baca, dan belajar mengatur intonasi. Yang paling penting, kita sendiri harus tahu bagaimana jalan cerita buku yang akan kita bacakan.
Saat membaca nyaring, kita tidak hanya membacakan cerita untuk anak dan anak tidak sekadar mendengarkan apa yang kita baca. Dengan tujuan untuk mengenalkan bacaan pada anak, artinya selama membaca kita juga harus memperlihatkan apa yang kita baca pada anak-anak. Sehingga kalau anak-anak mau membaca buku yang kita bacakan, dia tahu apa yang terjadi di ilustrasi yang mana.
Kita tidak cukup mengandalkan pendengaran anak-anak untuk menangkap apa yang kita sampaikan. Idealnya, membacakan buku menggunakan buku yang cukup besar dan buku dihadapkan ke anak-anak sehingga buku bisa dilihat dari jarak tertentu oleh pendengar. Pembaca nyaring juga harus memperhatikan posisinya.
Di Facebook, beberapa akun perpustakaan komunitas yang aku ikuti ada yang membagikan foto relawan yang sedang membacakan buku cerita anak tapi dengan cara seperti guru yang sedang membaca diktat pelajaran. Buku menghadap muka pembacanya dan anak-anak hanya mendengarkan apa yang mereka baca. Tampak di foto, ada anak-anak yang tidak fokus menyimak.
Kita perlu mengajak anak membuat prediksi-prediksi kecil berdasarkan sampul bukunya. Demikian juga ketika selesai membaca, kita ajak anak-anak untuk berdiskusi tentang isi bukunya, pengalaman anak-anak terkait isi buku, dan sebagainya. Intinya, kita mengajak anak menjadi seorang pembaca yang kritis terhadap bacaannya.