Pagi ini, di tempatku hujan cukup deras dan berangin. Aku yang baru selesai mencuci pakaian hanya bisa menyerutkan dahi. Beberapa kali aku mengintip jendela sebelum akhirnya memutuskan untuk menjemur pakaian di dalam rumah saja dengan gantungan baju portable yang kubeli di marketplace.
Ketika aku keluar untuk mengambil sesuatu di garasi, aku melihat seorang tetangga yang termangu di depan rumahnya. Ketika aku sapa, dia bertanya apakah hujan ini akan berlangsung sepanjang hari atau tidak. Raut wajahnya menyiratkan bahwa ada kecemasan yang mendalam.
"Di Bogor hujan nggak ya, Tan?" tanyanya.
"Nggak tau, ya," jawabku polos.
"Aku takut hujan lagi kayak kemarin," ujarnya. "Katanya sampai Imlek nanti bakal ada hujan deras seperti ini."
Belum juga aku beranjak dari garasi, tetanggaku panik. Tukang ayam langganan kami memasang status WA yang mengabarkan kalau dia tidak bisa berjualan karena jalanan di depan rumah dia sudah tergenang air sampai ke betis orang dewasa.
Nampaknya, pengalaman kebanjiran kemarin membuat tetanggaku ini menjadi khawatir melihat hujan deras. Ya nggak berlebihan, sih. Untuk orang yang pertama kali mengalami hal ini, ini adalah pengalaman yang mencekam. Air setinggi lutut masuk ke dalam rumah dan membasahi segala hal yang kita punya.
Beberapa hari lalu, di musala sebelah rumah, yang kemarin menjadi posko pengungsian, diadakan pemeriksaan kesehatan gratis. Aku tidak sempat hadir karena ada sesuatu yang harus aku kerjakan dan ketika aku sudah kembali ke rumah pemeriksaan kesehatan itu sudah selesai.
Mendengar cerita dari tetangga, pemeriksaan kesehatan gratis itu meliputi pengecekan tekanan darah, pemeriksaan darah sederhana, dan konsultasi kesehatan dengan seorang dokter. Yang aku tangkap, itu berarti pemeriksaan kesehatan yang dilakukan adalah kesehatan secara fisik.
Make sense, sih. Di sosial media, akun-akun resmi perusahaan media atau lembaga yang berwenang tentang kesehatan meminta masyarakat waspada dengan timbulnya penyakit paska banjir. Itu memang harus dicegah dan kalau sudah ada yang sakit harus ditangani.
Lalu bagaimana dengan kondisi kesehatan jiwa para korban?