"Eh, aku mau tanya deh," kataku pada seorang teman. "kamu mau pindah rumah, kah?"
"Hah? Siapa yang bilang?" tanya temanku balik.
"Facebook," jawabku. "Aku lihat di beranda Facebook ada tulisan 'She mengomentari postingan ini' terus di bawahnya aku lihat kamu komentar tertarik buat beli rumah di perumahan syariah."
"Oh, ya tertarik doank masak nggak boleh sih?" sahutnya sambil tertawa. "Aku ngerasa sekarang ada jarak sama tetangga-tetangga. Mungkin akan lebih baik kalau aku pindah di perumahan syariah yang semua penduduknya udah hijrah. Lagian perumahan syariah lebih berkah untuk ditinggali nggak sih?"
"Kamu emang yakin kalau semua orang yang beli rumah di perumahan syariah itu udah hijrah kayak kamu dan enggak akan ada orang yang nyebelin?" tanyaku.
"Harusnya, sih. Emang enggak?"
Aku mengangkat bahu.
"Yang pasti, aku sih nggak yakin kalau perumahan syariah akan berbeda dengan perumahan-perumahan mewah lainnya," jawabku.
Tiba-tiba aku teringat pada sampul buku terbaru dari Kalis Mardiasih yang Berjudul Hijrah Jangan Jauh-jauh, Nanti Nyasar! Ada 4 baris gambar dalam sampul itu. Baris pertama adalah orang yang melihat spanduk-spanduk produk halal, baris kedua adalah orang-orang yang ketakutan mendengar musik, baris ketiga orang yang sedang menonton ceramah di Youtube, dan terakhir adalah gambar orang yang melambaikan tangan pada teman-temannya.
Gambar di baris pertama ini yang aku ingat ketika melihat temanku tadi. Sedikit banyak, aku mengerti kondisi masyarakat tempat tinggalnya sekarang. Sebuah pemukiman yang dihuni oleh orang-orang kantoran. Mereka yang ketika akhir pekan berkumpul bersama keluarga dan kawannya bersenda gurau sambil ngomongin politik atau hal-hal yang enggak penting lainnya.
Wajar sih, kalau dalam proses berhijrahnya, dia kemudian menjadi berbeda dengan tetangga kanan kirinya secara pola pikir. Berbedaan tersebut termasuk juga perbedaan aliran politik. Tahukan bagaimana perilaku orang-orang yang berbeda politik hari ini? Mungkin itu yang kemudian membuat jarak dengan tetangga-tetangganya. Tapi, haruskah dia sampai pindah rumah?
Dalam buku Hijrah Jangan Jauh-jauh, Nanti Nyasar! Itu, dalam cerita berjudul 'Ragam Hidayah di Kampung Kang Kandar', Kalis bercerita tentang Kang Kandar yang kebingungan saat ada orang yang mengatakan bahwa Kang Kandar dan warga kampung lainnya harus hijrah. Lalu orang-orang itu menawarkan produk jualan yang katanya lebih berkah.Â
Di kali lain, ada juga ustadzah yang menyuruh ibu-ibu di kampung Kang Kandar untuk berjilbab dengan benar. Ketika istri Kang Kandar datang ke toko pakaian milik ustadzah, dia kabur karena melihat harganya.
Ya, harus diakui, kan, kalau kadang, kita menggunakan 'agama' sebagai pendongkrak barang dagang. Contohnya ya perumahan syariah itu. Nggak cuma barang, sih. Ada juga jasa. Ada yang pernah melihat jasa menghapus akun medsos di Facebook dengan narasi menggunakan kata-kata 'dosa jariyah'? Sebetulnya nggak apa-apa juga sih. Ada orang yang memang eneg dengan kealayannya di masa lalu kemudian sekarang ingin hijrah dan membuang akun medsosnya. Tapi gimana, ya....
Isi buku Kalis yang baru ini berbeda sama sekali dengan buku dia yang  Muslimah yang Diperdebatkan. Kalau di buku Muslimah yang Diperdebatkan banyak cerita-cerita yang ditulis dengan cara yang lucu tapi di buku ini dia menulis lebih serius. Baca buku ini itu rasanya kayak dia ngetuk pintu kamar aku, terus dia menceritakan pengalaman-pengalamannya. Jadi cerita-ceritanya kayak membekas agak dalam gitu di hati.
Yang paling meninggalkan kesan adalah tulisan yang berjudul "Bapak dan Ingatan Masa Kecil yang Baik". Habis baca tulisan ini, aku jadi nangis keinget sama bapakku. Aku juga pernah se-sok tau itu. Aku juga sempet nangis sewaktu membaca tulisan berjudul "Marlina Masih Ingin Pergi". Sedih bacanya.
Anyway, buku Hijrah Jangan Jauh-jauh, Nanti Nyasar! Ini bagus banget untuk dibaca dan direnungi kalau teman-teman muslim punya waktu senggang. Ada 5 subjudul di dalam buku ini: 'Islam dan Kebaikan Anak-anak', 'Islam dan Kemanusiaan, Islam dan Akal Sehat', 'Islam dan Contoh yang Baik', serta 'Islam dan Modernitas'. Kita akan diingatkan untuk berislam secara sederhana dan dekat. Jadi, kita nggak perlu kemana-mana daripada nanti nyasar.
Jujur saja, aku juga rindu kehidupan (dalam hal ini kehidupan beragama) seperti ketika informasi belum semasif sekarang. Internet belum semerakyat ini. Ketika kita masih baik-baik saja meminta kue putri salju pada teman-teman yang natalan dan berbagi nastar ketika lebaran. Ketika orang masih punya rasa sungkan untuk mengatai orang lain yang berbeda pandangan dengan kita sebagai orang yang salah. Ketika orang masih berfikir untuk menata kalimatnya sebelum mengatai orang lain bodoh.
Aku tidak menganggap aneh atau menyalahkan pandangan hijrah temanku. Sungguh. Aku selalu senang kalau dia bisa menjadi yang terbaik versi dirinya. Aku tahu, berbeda pandangan dengan orang yang setiap hari kita temui itu berat.Â
Tapi aku selalu berharap, walaupun nanti dia benar-benar pindah ke perumahan syariah dia akan tetap membukakan pintu rumahnya ketika aku berkunjung. Jangan malah jadi kayak gambar di baris terakhir buku tadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H