Kita mungkin akan terasing dengan suasana seperti itu, tapi kita akan tiba di Aleppo besok sore dan minum kopi. Bukan karena kita pernah berbulan madu dan sarapan roti Safiha, tapi sebab kota itu tak pernah benar-benar takluk bahkan oleh kematian. Dan itu penting bagi kita, yang datang ke Aleppo dengan segenap rindu dan cinta."
Udah. Itu aja.
Selebihnya, buku ini menceritakan tentang Rusdi Mathari. Rusdi muda yang nakal dan banyak akal, Rusdi yang takut dengan darah, Rusdi seorang wartawan, Rusdi sebagai suami, Rusdi sebagai seorang ayah, Rusdi yang merasa sudah tidak muda lagi, dan Rusdi yang menulis refleksi dari apa yang pernah ditemui, dibaca, dan dialami.
Bagian yang paling menarik dari buku ini ada dalam subbab yang berjudul 'Menulis'.
"Saya tidak pernah percaya dengan yang dikatakan Arswendo bahwa 'Mengarang Itu Gampang'. Setiap hari saya menulis dan sampai sekarang selalu merasa menulis bukan sesuatu yang mudah. Meminjam istilah Putu Wijaya, menulis asalah sebuah peristira yang khusyuk, sunyi, pedih, melelahkan, menyakitkan, membosankan."
Sangat lucu dan hampir tidak bisa dipercaya, kalimat itu dituliskan oleh seorang Rusdi Mathari, wartawan senior dengan jam terbang yang tinggi.Â
Namun memang harus diakui menulis seringkali memang bukan proses yang mudah. Mengikuti latihan di buku Mengarang Itu Gampang yang ditulis Arswendo pun juga tidak semudah teorinya. Butuh ketekunan dan disiplin untuk bisa menulis dengan baik.
Rasanya, Rusdi Mathari ingin menyampaikan sebuah pesan moral dalam tulisan yang ada di buku ini. Walaupun beliau sudah pergi, semua pesan-pesannya tetap dapat kita 'dengarkan' melalui tulisannya. Al-Fatihah untuk beliau.
NB: tulisan ini pertama kali dipublikasi di jabaraca.com. Dipublikasi kembali untuk mengenang kembali cerita-cerita di dalam buku Aleppo dan penulisnya dengan gubahan seperlunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H