"Itu kantong-kantong apa?" tanya ibu penjaga warung ketika aku datang untuk mengembalikan gelas.
"Isinya sampah-sampah plastik yang ada di bawah, Bu," jawab suamiku. "Di bawah banyak sampah plastik bekas makanan dan minuman. Jadi tadi kami bersih-bersih supaya enak buat kami duduk-duduk."
"Yang nyuruh siapa?" tanya ibu penjaga warung.
"Gak ada yang nyuruh, Bu. Tapi kami bersih-bersih supaya enak buat kami duduk-duduk," kataku.
Ibu tua itu menganggukkan kepalanya.
"Di sini gak ada tukang sampah, Bu?" tanyaku.
"Gak ada," jawabnya. "Ada tukang sampah di dekat jalan raya sana. Sampah-sampah di warung ibu dibakar sendiri sama ibu."
Kini giliran aku yang mengangguk.
Itu ada kejadian setahun yang lalu. Saat itu, aku dan suamiku bergabung dalam acara kolaborasi beberapa komunitas dan perpustakaan jalanan yang ada di Bekasi Raya. Lokasi acaranya di Curug Parigi yang berlokasi di desa Cikiwul Kecamatan Bantargebang Kota Bekasi. Saat itu kami masih melihat air sungainya cokelat seperti membawa lumpur dan banyak sampah yang bertebaran di penjuru area curug. Kami pun memutuskan untuk membersihkan sampah-sampah yang bisa kami raih sebelum kami menggelar tikar dan berdiskusi sambil bercanda ria.
Kebanyakan sampah yang kami kumpulkan adalah sampah plastik bekas botol minuman dan plastik bekas pembungkus makanan ringan. Aku memang tidak menemukan tempat sampah di lokasi ini. Padahal biaya masuknya menurutku tergolong mahal. Untuk masuk ke area parkir kami diminta uang lima ribu rupiah dan untuk mencapai area curug kami diminta uang dua ribu rupiah.