Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Isu Produk Vitamin C Mengandung Babi, Hati-hati Hoaks!

14 Juli 2019   14:20 Diperbarui: 19 April 2021   19:58 4854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hati-hati, produk menggunakan gelatin dari babi."

Demikian tulis seorang kawan di sebuah group WA disertai dengan gambar kemasan sebuah produk vitamin C dengan bentuk sediaan gummy (yang permen kenyal kayak Yuppi).

Merk produk vitamin C ini boleh dibilang merakyat. Iklannya ada di mana-mana dan aku yakin banyak orang yang mengonsumsinya. Tak heran bila beberapa orang di group itu segera menimpalinya.

Namun aku merasa ada yang aneh dengan produk yang dibagikan gambarnya ini. Keterangan kemasannya sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris. Besar kemungkinan produk ini tidak beredar di Indonesia. Atau produk ini dia dapatkan di toko khusus barang impor.

"Emang ini produk beredar di Indonesia, Dok?" tanyaku membalas pesan dari kawanku tadi.
"Lah, ini kan merk terkenal di Indonesia. Kamu belum pernah lihat?" tanyanya balik.

"Saya tahunya merk ini bentuk sediaannya effervescent (tablet yang dilarutkan dalam air sebelum diminum). Tapi kalau yang ada di gambar itu belum," jawabku.

Hening. Tidak ada balasan lagi dari yang bersangkutan. Penasaran, aku membuka laptopku untuk menjelajah.

Ilustrasi kabar burung (sumber: kbr.id)
Ilustrasi kabar burung (sumber: kbr.id)
Situs pertama yang aku buka adalah cekbpom.pom.go.id. Di situs ini, kita bisa melihat produk, merk, dan segala variannya yang sudah memiliki nomor registrasi. Ternyata memang ada beberapa bentuk sediaan dari merk produk vitamin C ini.

Tidak hanya effervescent, di situs tersebut merk tersebut mendaftarkan produknya dalam bentuk tablet hisap dan tablet kunyah juga. Namun, yang tablet kunyah didaftarkan khusus untuk ekspor. Bukan untuk diedarkan di Indonesia. Dan tidak ada bentuk sediaan gummy yang didaftarkan.

Aku lalu membuka halalmui.org untuk tahu apakah produk ini bersertifikat halal atau tidak. Merk produk vitamin C ini tercantum sebagai produk halal untuk sediaan effervescent dan tablet hisap. Artinya, yang terdaftar di BPOM sebagai produk yang diedarkan di Indonesia adalah halal. Tidak ada kandungan babi dan bahan-bahan haram di dalamnya.

Lalu, di mana temanku tadi menemukan produk vitamin C berbentuk gummy tadi?

"Itu hoaks tau," kata seorang teman yang bekerja di apotek mal ketika aku tanya tentang masalah ini. Dia kemudian mengirimkan sebuah tautan melalui WA.

Contoh brand vitamin C (Source: bidhuan.id)
Contoh brand vitamin C (Source: bidhuan.id)
Foto yang ditampilkan di tautan dari pegawai apotek mal, sama persis dengan foto yang tadi dibagikan di group WA. Betul-betul sama persis sampai ke lingkaran-lingkarannya. Keterangan gambar itu adalah, produk vitamin C berbentuk gummy yang diributkan tersebut izin edarnya adalah di Singapura. Bukan di Indonesia.

Mungkin bukan hoaks ya, tapi miss information. Produknya memang ada. Barangnya nyata. Hanya saja, barang ini seharusnya tidak dijual di Indonesia. Mungkin beberapa toko daring menjual multivitamin ini (sepertinya aku lihat beberapa di internet). Namun toko-toko obat dan apotek yang berizin resmi tidak akan mungkin menjual produk ini. Aku rasa ini sudah jelas. Pelajarannya: meskipun sekadar multivitamin, belilah di toko obat atau apotek resmi.

Pertanyaanku selanjutnya, tanggal rilis klarifikasi dari tautan yang diberikan oleh temanku tertanggal 3 Oktober 2018. Namun kenapa sekarang masih saja ada yang membagikan isu yang meresahkan itu?

Aku kemudian teringat dengan artikel yang dirilis oleh tirto.id. Dalam artikel tersebut, dikatakan bahwa 1% hoaks paling populer menyebar ke seribu hingga 100 ribu orang, sementara informasi valid jarang menyentuh lebih dari seribu orang.

Alasannya adalah karena berita bohong itu dibumbui klaim agama, kata-kata provokatif, atau testimoni dokter (walaupun dokter yang memberi testimoni namanya tidak bisa ditemukan di daftar organisasi kedokteran) sehingga orang tergerak untuk segera membagikannya.

Untuk kasus gelatin babi ini, aku punya teori sendiri mengapa setelah hampir setahun keluar klarifikasinya tapi masih saja ada yang menyebarkan isu tersebut. Berita bahwa suatu produk yang biasa dikonsumsi masyarakat ternyata mengandung babi jelas sesuatu yang mengguncang. 

Ini berpotensi membuat heboh. Orang akan panik lalu mengirim pesan ke teman-temannya, "Fren, produk ini ternyata gelatinnya dari babi, lho. Gila gue hampir tiap hari minum produk ini."

Ketika muncul berita klarifikasi, jangan berharap orang akan menyebarkannya secepat itu. Beberapa orang yang membacanya mungkin akan berkata, "Oh, jadi bukan produk Indonesia? Keydeh."

Pernah dengar kata-kata, "Kalo susah ngribetin orang, kalo lagi seneng diem-diem aja" ? Ya seperti itulah. Itu sebabnya informasi valid tidak bisa menyamai kecepatan sebar sebuah berita bohong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun