"Hati-hati, produk menggunakan gelatin dari babi."
Demikian tulis seorang kawan di sebuah group WA disertai dengan gambar kemasan sebuah produk vitamin C dengan bentuk sediaan gummy (yang permen kenyal kayak Yuppi).
Merk produk vitamin C ini boleh dibilang merakyat. Iklannya ada di mana-mana dan aku yakin banyak orang yang mengonsumsinya. Tak heran bila beberapa orang di group itu segera menimpalinya.
Namun aku merasa ada yang aneh dengan produk yang dibagikan gambarnya ini. Keterangan kemasannya sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris. Besar kemungkinan produk ini tidak beredar di Indonesia. Atau produk ini dia dapatkan di toko khusus barang impor.
"Emang ini produk beredar di Indonesia, Dok?" tanyaku membalas pesan dari kawanku tadi.
"Lah, ini kan merk terkenal di Indonesia. Kamu belum pernah lihat?" tanyanya balik.
"Saya tahunya merk ini bentuk sediaannya effervescent (tablet yang dilarutkan dalam air sebelum diminum). Tapi kalau yang ada di gambar itu belum," jawabku.
Hening. Tidak ada balasan lagi dari yang bersangkutan. Penasaran, aku membuka laptopku untuk menjelajah.
Tidak hanya effervescent, di situs tersebut merk tersebut mendaftarkan produknya dalam bentuk tablet hisap dan tablet kunyah juga. Namun, yang tablet kunyah didaftarkan khusus untuk ekspor. Bukan untuk diedarkan di Indonesia. Dan tidak ada bentuk sediaan gummy yang didaftarkan.
Aku lalu membuka halalmui.org untuk tahu apakah produk ini bersertifikat halal atau tidak. Merk produk vitamin C ini tercantum sebagai produk halal untuk sediaan effervescent dan tablet hisap. Artinya, yang terdaftar di BPOM sebagai produk yang diedarkan di Indonesia adalah halal. Tidak ada kandungan babi dan bahan-bahan haram di dalamnya.
Lalu, di mana temanku tadi menemukan produk vitamin C berbentuk gummy tadi?
"Itu hoaks tau," kata seorang teman yang bekerja di apotek mal ketika aku tanya tentang masalah ini. Dia kemudian mengirimkan sebuah tautan melalui WA.
Foto yang ditampilkan di tautan dari pegawai apotek mal, sama persis dengan foto yang tadi dibagikan di group WA. Betul-betul sama persis sampai ke lingkaran-lingkarannya. Keterangan gambar itu adalah, produk vitamin C berbentuk gummy yang diributkan tersebut izin edarnya adalah di Singapura. Bukan di Indonesia.
Mungkin bukan hoaks ya, tapi miss information. Produknya memang ada. Barangnya nyata. Hanya saja, barang ini seharusnya tidak dijual di Indonesia. Mungkin beberapa toko daring menjual multivitamin ini (sepertinya aku lihat beberapa di internet). Namun toko-toko obat dan apotek yang berizin resmi tidak akan mungkin menjual produk ini. Aku rasa ini sudah jelas. Pelajarannya: meskipun sekadar multivitamin, belilah di toko obat atau apotek resmi.
Pertanyaanku selanjutnya, tanggal rilis klarifikasi dari tautan yang diberikan oleh temanku tertanggal 3 Oktober 2018. Namun kenapa sekarang masih saja ada yang membagikan isu yang meresahkan itu?
Aku kemudian teringat dengan artikel yang dirilis oleh tirto.id. Dalam artikel tersebut, dikatakan bahwa 1% hoaks paling populer menyebar ke seribu hingga 100 ribu orang, sementara informasi valid jarang menyentuh lebih dari seribu orang.
Alasannya adalah karena berita bohong itu dibumbui klaim agama, kata-kata provokatif, atau testimoni dokter (walaupun dokter yang memberi testimoni namanya tidak bisa ditemukan di daftar organisasi kedokteran) sehingga orang tergerak untuk segera membagikannya.
Untuk kasus gelatin babi ini, aku punya teori sendiri mengapa setelah hampir setahun keluar klarifikasinya tapi masih saja ada yang menyebarkan isu tersebut. Berita bahwa suatu produk yang biasa dikonsumsi masyarakat ternyata mengandung babi jelas sesuatu yang mengguncang.Â
Ini berpotensi membuat heboh. Orang akan panik lalu mengirim pesan ke teman-temannya, "Fren, produk ini ternyata gelatinnya dari babi, lho. Gila gue hampir tiap hari minum produk ini."
Ketika muncul berita klarifikasi, jangan berharap orang akan menyebarkannya secepat itu. Beberapa orang yang membacanya mungkin akan berkata, "Oh, jadi bukan produk Indonesia? Keydeh."
Pernah dengar kata-kata, "Kalo susah ngribetin orang, kalo lagi seneng diem-diem aja" ? Ya seperti itulah. Itu sebabnya informasi valid tidak bisa menyamai kecepatan sebar sebuah berita bohong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H