Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Membangun Karakter Remaja Melalui TBM

25 Juli 2016   10:14 Diperbarui: 25 Juli 2016   10:25 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi. Dika yang memakai baju putih lengan biru

Hari itu, di hari anak nasional, timeline di FBku penuh dengan pemberitaan mengenai Karin Novilda. Dia adalah seorang selebgram yang katanya menangis selama 23 menit di Vlognya karena diputusin pacarnya padahal di foto-foto instagramnya mereka sepertinya berpacaran sudah intim sekali. Yang disorot banyak orang lagi adalah gaya hidupnya dia yang hedon, mulutnya yang suka mengeluarkan kata-kata kasar, dan gaya berpakaiannya yang terbuka, serta tato permanen yang melekat di kulitnya. Aku tidak akan membahas dia karena sudah banyak orang membicarakannya.

Aku ingin membicarakan remaja lain yang kutemui pada sore harinya. Yaitu Dika, seorang remaja berusia 15 atau 16 tahun yang baru masuk jenjang sekolah menengah yang didapuk oleh Pak Wildan, perintis TBM Pengelolaan lingkungan Cibungur, menjadi pengurus di TBM tersebut.

Saat kami mengobrol, Dika menceritakan tentang masa pengenalan sekolahnya yang semi militer di sebuah SMK di Cimahi. Di awal dia bercerita betapa galaknya kakak tingkatnya. Dia bercerita sampai matanya berkaca-kaca dan nafasnya tersengal.

“Tapi sebenernya, itu tuh mereka ngelatih kita supaya jadi pribadi yang tegas. Supaya kita paham tujuan sekolah itu apa. Da kita juga gak disuruh yang aneh-aneh sih.” Kata Dika yang berfikiran positif pada masa pengenalan sekolah yang masih kejam padahal di sekolah lain pengenalan sekolah diisi dengan kegiatan yang menggembirakan.

Namun, di bagian akhir Dika bercerita betapa bangganya dia ketika mendapat lencana tanda secara resmi diangkat sebagai murid sekolah tersebut.

Di antara hingar bingar pergaulan dan kelakuan remaja yang memprihatinkan, sosok Dika ini menjadi anomali. Dia buatku, sosok remaja yang ceria dan lucu tapi tidak aneh-aneh. Bahkan tidak seperti gaya anak remaja yang metropolis, Dika adalah remaja Sunda yang bersahaja. Sebagai pengurus TBM yang menjadikannya sosok kakak diantara teman-teman yang lain, buatku Dika menjadi sosok kakak yang berhasil. Mungkin dia belajar dari Pak Wildan bagaimana membimbing teman-temannya yang lebih muda.

Suatu hari Minggu, Dika mengumpulkan anak-anak SD yang tinggal di sekitar TBM Pengelolaan Lingkungan Cibungur, membuatkan mereka buku kecil ukuran setengah HVS berisi 20 lembar, dan membagikannya untuk diisi.

“Ih, banyak banget halamannya? Selesai gitu nulis buku ini seminggu?” kata seorang anak sambil membalik-balik halaman buku kosong yang dibagikan oleh Dika.

“Bisa atuh,” kata Dika. “Kalo pulang sekolah daripada nonton TV kalian kerjain karangannya.”

“Tapi aku pulang sekolah tidur.” Kata anak yang lain.

“Ya bangun tidur siang bukunya diisi,” Jawab Dika. “Pokoknya itu buku diisi trus minggu depan dibalikin sini.”

Dika pun belajar menjadi sosok yang bertanggung jawab. Suatu hari pernah juga, aku dan Pak Wildan mengajak anak-anak itu main ke Cihampelas Walk, Mall yang sangat happening di Bandung. Sepanjang kami berjalan-jalan mengitari mall, DIka sibuk menghitung jumlah anak-anak yang ikut takut ada yang tercecer.

Dika dan teman-temannya adalah sosok remaja yang sederhana. Di Cihampelas Walk, mereka memang melihat berbagai macam barang tetapi mereka tidak terlihat tergiur oleh barang-barang yang harganya banyak itu. Malahan, salah satu dari anak tersebut berkata, “Barang-barang yang ditawarkan disini kebanyakan sebenarnya bukan barang-barang yang dibutuhkan tetapi barang-barang yang seolah-olah dibutuhkan. Kebanyakan buat gaya atau pingin-pingin.”

“Iya. Cuma ilusi.” Sambung Dika.

Mereka lalu bercakap-cakap tentang barang yang dibutuhkan dan diinginkan. Sedangkan pikiranku melayang ke rumah dimana jam tangan yang jumlahnya lebih dari satu teronggok. Aku cuma butuh satu jam tangan, sisanya? Aku pingin punya soalnya bentuknya lucu. Kayaknya aku yang harus belajar dari mereka.

Saat aku hendak pulang, Pak Wildan datang. Aku kembali duduk untuk mengobrol sebentar dengan Pak Wildan. Saat itu aku mendengar Pak Wildan meminta Dika untuk bersiap-siap karena besok Dika ada pembinaan di Salman ITB, tempat yang selama ini memberikan Dika beasiswa prestasi. Selain memiliki sifat yang baik, Dika juga merupakan anak yang pintar secara akademik.

Jeng saha? Pak Wildan sanes?” tanya Dika.

Urang rek ka Cipongkor, Dika. Ngke sareng Mang Pian nya. Sareng saha deui ngke…” kata Pak Wildan menjelaskan bahwa besok Dika tidak ke ITB bersama pak Wildan.

“Ah, kecewa urang jeng Mang Pian.” Gumam Dika.

“Kecewa kenapa? Gak boleh gitu, Dika. Kamu kemana-mana yang anter Mang Pian lho…” kataku.

Mang Pian adalah supir angkot yang selalu disewa oleh Pak Wildan bila TBM punya acara untuk pergi-pergi dengan banyak orang.

“Habis Teh, kemarin kan aku jaga stand TBM di kantor KBB sampe jam 9 malem. Mang Piannya gak dateng-dateng. Padahal udah janjian. Dihubungi gak bisa Mang Piannya. Mana tau sendiri kantor KBB kayak gitu, gelap, sepi, gak ada angkot. Tiba-tiba jam 10 SMS baru jalan dari Ciroyom. Sampai di kantor KBB jam brapa coba? Jam 11 malem. Sampe di rumah udah lebih malem lagi, jam 12 lebih.” Cerita Dika menggebu-gebu tanpa bisa dipotong. Kantor KBB adalah kantor pemerintahan Kabupaten Bandung Barat yang beberapa waktu lalu mengadakan pameran sekolah dan komunitas.

“Nanti janjian yang bener sama Mang Piannya biar gak kejadian lagi. Nanti aku yang bilang sama Mang Pian.” Kata Pak Wildan.

Bagaimanapun, Dika masih anak remaja yang bisa merasakan kesal tetapi bimbingan dan arahan dari Pak Wildan yang membuat Dika bisa mengontrol emosinya.

Yang aku lihat, di TBM Dika menghabiskan waktunya dengan cara yang positif dan insya Allah bermanfaat bagi sesamanya. Dia belajar bertanggung jawab dan mengorganisir serta mengayomi teman-temannya. Dan dia tak kehilangan sifat aslinya sebagai remaja kampung yang sederhana.

Mungkin tidak harus TBM. Yang pasti, anak-anak remaja ini butuh tempat untuk menghabiskan waktunya, mereka butuh teman untuk mengasah soft skill nya, dan mereka butuh pembimbing untuk mengarahkannya. Sehingga, anak-anak ini tidak punya waktu untuk memikirkan dan mengerjakan hal yang negatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun