Selain konflik sosial, konflik yang sering muncul yaitu konflik pengelolaan sumber daya alam dalam bentuk agraria. Konflik agraria menjadi isu kekinian, mengingat terjadi peningkatan kasus sejak bergulirnya era reformasi. Sepanjang tahun 2016 tercatat ekskalasi konflik sebanyak 450 kasus, angka ini naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya.Â
Terdiri dari konflik warga dengan swasta 38,22%; warga dengan pemerintah 22,44%; antar warga 14,44%; warga dan BUMN 13,56%; sedangkan sisanya lain-lain 11,34%. Dominasi tanah yang dimanfaatkan untuk perkebunan sebanyak 163, properti 117, infrastruktur 100, kehutanan 25, tambang 21, migas dan pertanian masing-masing tujuh. Selain hal-hal di atas konflik agraria juga berdampak pada 86.745 kepala keluarga (kpa.or.id).
Meningkatnya angka-angka konflik agraria tersebut kian bertambah setiap tahunnya, hal ini sesuai dengan proses ekspansi yang masih terus berlangsung. Konflik agraria layaknya gunung es, dari sekian banyak konflik, yang muncul di permukaan hanya beberapa. Sebut saja contoh kasus konflik agraria yang muncul yaitu; konflik lahan penolakan pabrik semen Indonesia di Rembang Jateng, konflik lahan pembangunan bandara di Yogyakarta, dan sebagainya.
Seringkali lahan dijadikan sebagai objek rawan terhadap perselisihan atau sengketa. Hal ini terjadi karena kebutuhan manusia akan tanah semakin meningkat, akan tetapi persediaan tanah relatif tetap (Musnita, 2008). Memaknai perlawanan yang dilakukan petani secara sembunyi-sembunyi merupakan perwujudan dari penolakan mereka terhadap kebijakan atau keputusan yang dipaksakan oleh pihak lain Scott (1993: 3). Masalah agraria telah menjadi isu sosial-politik yang seringkali melahirkan konflik sejak proses modernisasi dan komersialisasi merambah masuk ke pedesaan.
Tentu konflik agraria menjadi ancaman nyata bagi integrasi Indonesia. Berdasarkan Buku Putih Pertahanan (2015) adanya ancaman nir-militer berupa faktor berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, teknologi dan informasi, dinilai mempunyai kemampuan membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa.Â
Kondisi masyarakat Indonesia rentan terhadap tindakan provokasi, memudahkan konflik berkembang cepat dan meluas, serta memungkinkan gangguan terhadap ketertiban publik yang dapat mengganggu stabilitas keamanan nasional. Struktur masyarakat seperti inilah yang menyebabkan kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan memanfaatkan hal tersebut untuk mengganggu stabilitas nasional.
Christodjoulou (Afrizal, 2006: 7) menyatakan konflik agraria tidak lepas dari hubungan-hubungan sosial yang berkaitan dengan pengontrolan dan penggunaan sumber-sumber agraria. Kepentingan rakyat dalam hal ini seringkali harus berhadapan dengan kepentingan koorporasi atau bahkan pemerintah. Benturan ini seringkali mengorbankan kepentingan rakyat, yang diawali dengan perlawanan dan konflik sebelumnya.
Resiko terbesar yang ditimbulkan oleh konflik ini adalah rusaknya solidaritas berbangsa maupun rusaknya ikatan persatuan dan kesatuan bangsa. Di samping itu, kerusakan berbagai infrastruktur, fasilitas sosial dan fasilitas umum dalam skala besar menyebabkan terganggunya kegiatan pemerintahan, terhambatnya kegiatan pelayanan dan penyelenggaraan kegiatan di masyarakat. Lebih lanjut, dampak psikologis konflik menimbulkan rasa antipati masyarakat terhadap pemerintah. Maka perlunya penguatan terhadap identitas nasional pada masa kini.
Implementasi dari upaya penguatan identitas nasional dapat dilakukan dengan membangun dialog antar pihak yang berkonflik. Secara sosiologis, identitas nasional telah terbentuk dalam proses interaksi, komunikasi, dan persinggungan budaya secara alamiah. Konsep masyarakat multikultur relevan bagi penguatan kembali identitas nasional Indonesia yang inklusif, toleran dengan tetap mengakar pada identitasnya.
Kewaspadaan nasional juga harus dibangun mengingat potensi kerawanan konflik agraria yang sumber konfliknya dipandang dari aspek Astra Gatra yaitu Sosial. Dapat menjadi ancaman terhadap keselamatan keutuhan bangsa dan negara. Konflik agraria digolongkan pada konflik vertikal dan horizontal.Â
Lebih jauh, kewaspadaan nasional terhadap konflik yang terjadi dapat dilihat dari: (1) Pemahaman adat budaya yang tidak utuh; (2) Monopoli kebenaran atau pemaksaan kehendak; (3) Kepentingan ekonomi; (4) Dampak upaya unifikasi kebhinekaan atau penyeragaman nilai-nilai lokal.