Fenomena sosok sakti yang mampu melakukan perbuatan di luar logika di tengah masyarakat di Indonesia sudah ada sejak zaman kita masih sekolah pakai celana pendek, jauh sebelum adanya komputer bahkan telepon pintar. Ketika orang menulis dengan daun lontar juga sudah ada.
Dulu ada Mpu Gandring dengan kesaktian mampu mengolah logam nan membara menjadi sebilah keris yang ampuh*1. Sosok yang tak mempan ditembus pisau juga ada di peradaban bangsa kita. Sebutlah ilmu mengunyah silet, memakan kaca sampai berjalan di atas bara api, kesaktian ini sering dipertontonkan secara terbuka sebagai sebuah hiburan.
Kita kembali dihebohkan dengan temuan sosok-sosok orang sakti yang mampu menambah kekayaan dengan cara-cara yang sulit diterangkan dengan nalar kaum awam. Konon hanya orang-orang sakti pula yang bisa “melihat” seperti apa kesaktian ini terjadi dan berproses.
Fenomena Dimas Kanjeng Taat Pribadi di Probolinggo Jawa Timur, atau sosok sakti lainnya di daerah dan kota lain yang akhir-akhir ini harus berurusan dengan Polisi karena kesaktian mereka berujung pada kerugian pihak lain.
Mereka mengaku sakti, berilmu tinggi bahkan berani mengaku sebagai Tuhan bisa melipat-gandakan kekayaan. Fakta ini seakan melupakan ajaran agama dan rasulNYA, supaya manusia bekerja.
Rasulullah SAW bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh seorang dari kalian yang mengambil talinya lalu dia mencari kayu bakar dan dibawa dengan punggungnya lebih baik baginya daripada dia mendatangi seseorang lalu meminta kepadanya, baik orang itu memberi atau menolak”. (HR Bukhari)
NEGARA HARUS BERPERAN
Dalam lingkup negara, campur tangan pemerintah layak dan sudah semustinya menangani temuan seperi Dimas Kanjeng Taat Pribadi atau Kanjeng-Kanjeng lainnya.
Hakekat kehidupan bernegara (berkelompok) seperti yang digambarkan Ki Hajar Dewantara, dilandasi kesadaran secara bersama-sama menuju kehidupan yang maju dengan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan*2.
Untuk temuan fenomena Dinas Kanjeng Taat Pribadi, jelas dan gamblang telah terjadi pelanggaran harkat kehidupan berkeadilan, dimana seseorang rela menyerahkan harta kekayaan; seluruh isi tabungannya dengan harapan menjadi semakin kaya dan semakin makmur. Yang pada kenyataannya, hanyalah mimpi, bualan belaka.
Kesaktian yang dipamerkan Dimas Kanjeng Taat Pribadi di depan pengikut dan simpatisannya, direkam dan diunggah ke internet hanyalah sandiwara belaka. Sampai sekarang belum ada pihak mau dan ikhlas mengaku menjadi kaya-raya sesudah “menyetorkan” mahar nilai tertentu dan dana setoran tadi menjadi berlipatganda. Belum ada satupun pihak yang mengaku berhasil menggunakan ajian; kotak ATM ghoib dari Kanjeng Dimas Taat Pribadi untuk menghidupi dan mensejahterakan sanak keluarga; memodali usaha atau yang lebih ekstrim membangun desanya.
Merujuk pada tulisan Miftakhul Huda – Redaktur Majalah Konstitusi tentang konsep Demokrasi Pancasila*3, masyarakat bergerak ke arah yang lebih maju; membentuk keadaan yang lebih maju dalam kehidupan yang bertoleransi; saling beri-memberi. Kalau kita kembali menelisik fenomena Dimas Kanjeng Taat Pribadi, kemajuan seperti apa yang sudah dicapai? Sikap toleransi apa yang sudah dibangun dan terbentuk? Saling memberi apa yang diajarkan? Semua pertanyaan ini sudah bisa dipastikan berujung pada jawaban yang sifatnya relatif. Sangat subeyektif, bergantung pada kepada siapa kita bertanya.
Sekali lagi, disinilah peran negara sangat ditunggu. Melindungi warga masyarakat lain supaya tidak menjadi korban “kesaktian” yang tidak bisa dibuktikan secara konkrit.
Dalam tulisannya tentang Demokrasi Terpimpin, Ki Hajar Dewantara sebagai pendiri Taman Siswa juga menjabarkan landasa kehidupan berkelompok (berkeluarga) yang harus disesuai dengan jaman dan dengan jiwa masyarakat sekarang*4.
Negara tidak hanya melindungi, secara paralel juga memberikan pemahaman sebagai bekal masyarakat supaya tidak mudah silau dan terpesona dengan sosok-sosok mengaku sakti mandraguna. Masyarakat bebas menentukan nasib dan arah perjalanan hidupnya, sesusai dengan kaedah dan norma yang berlaku di masyarakat dengan meminjam semboyan “Tut Wuri Handayani”*5.
Masyarakat diberi bekal untuk menumbuhkan “tameng” logika berdasarkan ajaran agamanya masing-masing terhadap mulut manis nan-meyakinkan orang-orang “sakti” yang mungkin akan terus muncul di masa mendatang.
PERLUNYA PEMIMPIN
Dalam menjamin arah tujuan maju bersama berlandaskan kebenaran dan keadilan, masyarakat membutuhkan pemimpin berwibawa, tegas dan memihak pada kepentingan khalayak. Ibarat sebuah kapal, pemimpin inilah yang bertanggung jawab sebagai nakhoda membawa semua penumpang (warganya) menuju arah yang disepakati. Kehidupan yang lebih baik. Pemimpin yang bisa menjamin jalannya fungsi-fungsi kehidupan untuk tertib-damainya hak-hak diri*6. Menciptakan suasana tanpa nafsu untuk memikirkan diri sendiri; menguntungkan diri dengan merugikan orang lain*7.
SEANDAINYA
Seandainya aku sakti seperti Dimas Kanjeng Taat Pribadi, aku akan sering berkunjung ke panti anak yatim, panti lansia. Akan kubagikan kekayaan hasil kesaktianku untuk mereka.
Seandainya aku bisa menggandakan uang, aku jadikan sahabat orang-orang yang rela berdiri di tengah jalan jalur Probolinggi-Banyuwangi membawa ember; keranjang; kaleng meminta sumbangan buat pembangunan masjid atau tempat ibadah.
Seandainya aku sakti, bisa menggandakan uang seperti mereka, aku akan bangun sekolah reot di pelosok negeri ini dan kujadikan guru-gurunya sebagai sahabatku supaya mereka bisa memahami dan merasakan sebenarnya sejahtera.
*1 Kitab Pararaton – 1535
*2 Demokrasi – Ki Hajar Dewantara, “Kekuasaan Jumlah” hal. 8
*3 Pustaka Klasik “Memahami Demokrasi Pancasila”
*4 Demokrasi – Ki Hajar Dewantara, “Keluarga” hal. 11
*5 Demokrasi – KI Hajar Dewantara, “Tut Wuri Handayani” hal. 10
*6 Demokrasi – Ki Hajar Dewantara, “Pelaksanaan Untuk Organisasi Keluarga” hal.13
*7 Demokrasi – Ki Hajar Dewantara, “Arti Perkataan Keluarga” hal.13
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H