Berbincang “ngalor ngidul” antara kawan dan sahabat merupakan kelaziman yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat sejak dulu. Obrolan yang terkadang memunculkan ide atau angan-angan terhadap sebuah kondisi.
Inilah yang terjadi pada Socrates (470-469 SM), filsuf Yunani kuno yang ngobrol dengan beberapa kawannya, diantaranya Glaucon; Adiemantus dua kakak-beradik dari Plato. Obrolan yang mengarah pada angan-angan kondisi ideal dalam sebuah pemerintah.
Dirangkum dalam buku REPUBLIC karya Plato, memberi perhatian pada gagasan-gagasan yang tercetus, berserta argumen masing-masing dari dialog Socrates dkk. Siapa sosok pemimpin sebuah wilayah atau negara, ditambah bentuk pemerintahannya. Ini dibahas mulai Buku 6 sampai 10.
BENTUK PEMERINTAHAN ALA SOCRATES
Secara sederhana, pembentukan negara bertujuan memberikan kebahagiaan kepada warganya. Selain itu negara harus memberikan keadilan dengan menerapkan prinsip tertib bermasyarakat yang berlandaskan ilmu pengetahuan.
Munculkan gagasan pemerintahan yang dipercayakan kepada beberapa orang pandai; cendikiawan. Disebut Aristokrasi, berdasar bahasa Yunani terdiri kata Aristos – sempurna dan Kratos – kekuasaan. Pemerintahan ini sangat mendambakan kondisi ideal. Kebahagiaan dan Keadilan. Meski tergolong pandai dan bijak, pada kenyataannya mengelola sebuah negara bersama rakyatnya bukanlah pekerjaan mudah.
Pemerintahan yang dipegang kaum Aristokrat berkembang menjadi Timokrasi. Jalannya pemerintahan menjadi tanggung jawab kaum kaya; hartawan; tuan tanah. Semakin kaya seseorang semakin besar pula kekuasaannya. Kondisi ini rentan memunculkan persaingan di kalangan orang kaya dan tuan tanah.
Situasi serba bersaing berujung pada gagasan mempercayakan jalannya pemerintahan pada sekelompok orang saja. Dari Timokrasi berkembang menjadi Oligarki. Dalam bahasa Yunani dari kata “Oligos”yang artinya beberapa gelintir orang (pilihan atau yang ditunjuk). Pemerintahan Oligarki ini pada perjalanan masa dan jaman diwarnai dengan kekerasan. Rakyat harus tunduk. Ketidakpatuhan pada penguasa berujung pada hukuman tegas.
Kemudian muncullah sebuah kebutuhan bersama menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Rakyat, tanpa memandang kasta atau jenis kelamin punya andil dan kewenangan menunjuk siapa yang dicalonkan, sampai dipilih untuk menjalankan pemerintahan demi kemaslahatan bersama. Bentuk pemerintahan Demokratis, rakyat berdaulat. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Jalannya pemerintahan melalui keterwakilan di lembaga khusus, didukung mekanisme suara terbanyak untuk kepentingan mayoritas. Kekuasan cenderung melenakan. Orang yang berkuasa cenderung tergoda untuk tetap atau terus berkuasa. Untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya maka dibuatlah setumpuk aturan, kalau perlu memodifikasi aturan yang sudah ada supaya kekuasaannya langgeng.
Aturan-aturan ini disertai dengan pembentukan instrumen, lembaga yang mengawasi dan menegakkan. Dengan bumbu kekerasan, tidak pandang bulu, terkesan sewenang-wenang (“semau penguasa”) lahirkan sebutan pemerintahan Tyrani.
INDONESIA SELANGKAH MENUJU TYRANI (?)
Perjalanan negeri ini cukup panjang dan penuh pengorbanan. Keringat dan Darah sudah mengucur deras. Sampai sekarang masih terus menggeliat.
Niat luhur yang terpatri dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 juga belum semuanya terbangun. Mencerdaskan; memajukan kesejahteraan; berkeadilan sosial. Kalau mau “nyinyir” di bidang pendidikan belum bisa dikatakan ideal. Pemerataan kesempatan akses pendidikan terkesan hanya bergaung kencang saat rapat dan sidang. Program sertifikasi guru; pembangunan sarana pendidikan terkesan jalan di tempat, kalau tidak mau dikatakan “mandeg”. Masih banyak anak usia sekolah yang harus belajar di sekolah mirip kandang ternak. Untuk pergi ke sekolahpun harus menyabung nyawa; menyeberangi sungai keluar masuk semak belukar bahkan menyisir pinggiran hutan.
Di sektor lain, meski ada upaya pembenahan melalui beberapa kali amandemen UUD 1945, tetap saja belum bisa maksimal. Sektor pertambangan, berlindung di balik dalih teknologi; sumber daya manusia berkemampuan selalu jadi alasan.
Kedigdayaan bangsa ini mengusir penjajah manapun, lumpuh dan bisu melawan kekuasaan kelompok. Simak saja UUD 1945 pasal 33 ayat 4 yang sudah melalui 4 (empat) kali amandemen.
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” (UUD 19945 pasal 33 ayat 4)
Dari kacamata sejarah, bangsa ini dulunya mengawali hidup juga melalui perdagangan. Jual-Beli dengan warga kampung sebelah sampai bangsa asing yang ingin mendapatkan hasil perkebunan; pertanian; kekayaan alam Indonesia dengan harga murah.
Negeri ini sampai sekarang masih dikuasai kelompok kaya; tuan tanah; orang tertentu yang dekat dengan elit dan penguasa sah.
Kalau kembali merujuk obrolan Socrates dan sahabat karibnya, yang dirangkum Plato dalam buku “Republic”, salahkah kalau ada yang mengatakan Indonesia semakin dekat dengan pemerintahan Tyrani (?).
Bagaikan penyakit, dalam dunia medis seorang dokter harus melakukan tahapan “amnanesis” (pemeriksaan melalui percakapan dokter dan pasien untuk mengetahui kondisi pasien). Nah, masih perlu kajian dan dialog panjang untuk bisa memastikan penguasa dan negeri ini sudah di ambang Tyrani.
Itulah Indonesia.
“Right Or Wrong Is My Country”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H