Mohon tunggu...
Meilly Victoria Aquino
Meilly Victoria Aquino Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Seorang mahasiswi Ilmu komunikasi di Universitas Atma Jaya

Selanjutnya

Tutup

Analisis

PPN 2025 Naik : Komunikasi Persuasif Pemerintah dalam Memengaruhi Respons Masyarakat

23 Januari 2025   22:43 Diperbarui: 23 Januari 2025   23:18 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Postingan Folkative terkait informasi PPN 2025 tidak ada kenaikan (Sumber: Instagram @folkative)

            Wabah covid-19 yang menyerang Indonesia tak hanya memberi dampak bagi kesehatan masyarakat, tetapi juga memengaruhi perekonomian negara. Melihat hal ini, pemerintah mencari upaya-upaya yang dapat dilakukan agar perekonomian dapat kembali stabil dan menuju lebih baik. Pajak menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang juga memegang peran penting dalam pertumbuhan ekonomi. Indonesia memiliki berbagai macam pajak, salah satunya Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN merupakan tarif pajak yang diberlakukan pada proses penjualan barang dan jasa di Indonesia. Melalui tarif pajak seperti PPN, dapat melengkapi kebutuhan dana untuk membiayai berbagai pembangunan negara (Fauziah, Alkautsar, Suryaman, 2024). Aziz (2021) menyatakan, pada 29 Oktober 2021, ditetapkanlah naiknya tarif pajak yang berawal dari 10% menjadi 11% pada 01 April 2022 dan menjadi 12% yang akan berlaku paling lambat pada 01 Januari 2025. Ketetapan ini diatur berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajak. Naiknya tarif PPN ini bertujuan untuk memperbaiki pertumbuhan ekonomi negara pasca Covid-19. Yahya (2024) menjelaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto menegaskan kenaikan tarif pajak secara bertahap ini tidak akan memberikan dampak yang signifikan. 

            Naiknya tarif PPN pada kenyataannya menarik banyak pro dan kontra ditengah masyarakat. Di sisi lain, banyak masyarakat yang menilai bahwa kenaikan tarif PPN kurang membantu negara bahkan meningkatkan beban perekonomian mereka, terutama bagi masyarakat dengan pendapatan rendah dan menengah (Salim, Sakila, & Rasji, 2023). Dampak dari kenaikkan tarif PPN ini berpotensi memengaruhi daya beli masyarakat, dan ketidakpuasan dengan harga barang. Namun, menurut Dwi Astuti (Pamungkas, 2024), dampak dari kenaikan PPN terhadap harga barang tidak begitu signifikan dan memengaruhi daya beli masyarakat. Hal ini mendorong pemerintah untuk melakukan komunikasi persuasif dan memberikan pengertian kepada masyarakat mengenai sebab dan akibat kebijakan ekonomi dengan dinaikkannya tarif PPN hingga 12% pada awal tahun 2025. Pemerintah dapat menggunakan Elaboration Likelihood Model (ELM) dan teori Disonansi Kognitif untuk memengaruhi respons masyarakat. 

            Elaboration Likelihood Model (ELM) merupakan teori yang berfokus pada hubungan antara variasi-variasi yang ada dalam sifat persuasi dengan cara audiens menerima pesan, terutama melalui proses berpikir yang mendalam (elaborasi) sehingga mampu membantu audiens untuk menyimpulkan pesan tersebut relevan atau tidak. Menurut (Perbawaningsih, 2012), berdasar teori ELM, tidak semua orang dapat berpikir dan memproses pesan persuasi, hal ini disebabkan karena ELM memaparkan dua rute proses persuasi yaitu rute sentral dan rute periferal. Rute sentral merupakan alur yang dilalui oleh individu yang mampu berpikir kritis dan aktif dalam menerima pesan. Individu dalam rute ini biasanya memiliki pengetahuan yang luas sehingga mampu mengolah pesan yang didapatkan berdasarkan isi pada pesan tersebut. Rute periferal berbeda dengan rute sentral, individu yang melalui rute ini lebih cenderung melihat faktor-faktor lain di luar isi pada pesan yang diterima, misalnya cara penyampaian pesan, individu yang menyampaikan pesan, dsb.

            Dalam hal naiknya tarif PPN, masyarakat yang kritis terhadap setiap pesan dengan memperhatikan detail informasi yang diterima, seperti faktor penyebab, manfaat, dampak, dan yang lainnya merupakan masyarakat yang berpikir secara mendalam melalui rute sentral. Di sisi lain, masyarakat yang kurang terlibat dan lebih mudah terpengaruhi dengan faktor emosional serta pihak yang menyampaikan informasi merupakan masyarakat yang cenderung berpikir melalui rute periferal. Beragamnya pola pikir masyarakat mendorong pemerintah untuk bisa menyampaikan informasi-informasi terkait kenaikan tarif PPN dengan menggunakan kedua jalur ini agar dapat lebih diterima. Misalnya, pemerintah dapat menyampaikan informasi berdasarkan data, fakta, dan penjelasan logis terkait dampak kedepannya, sehingga masyarakat pada rute sentral dapat memahami pesan yang diterima. Kemudian, pemerintah dapat menyampaikan informasi dengan cara-cara yang menarik dan menggunakan tokoh-tokoh yang memiliki kredibilitas terpercaya, sehingga masyarakat pada rute periferal dapat mendalami pesan tersebut.

            Menurut Amelia (2022), teori disonansi kognitif merupakan teori yang ditemukan oleh Leon Festinger dan menjelaskan tentang perasaan tidak nyaman seseorang yang muncul ketika mereka melakukan sesuatu yang mereka rasa tidak seimbang dengan pandangan dan keyakinan yang mereka pegang. Festinger berpendapat apabila seseorang memiliki dua keyakinan atau pengetahuan yang berkaitan namun tidak konsisten, maka dapat memicu timbulnya disonansi atau ketidakseimbangan. Teori disonansi kognitif ini juga menjelaskan bahwa seseorang dapat mengurangi disonansi apabila mereka merasakan ketidaknyamanan atau ketidakseimbangan dalam menghadapi sesuatu, misalnya dengan mengubah pikiran dan sikap untuk lebih menyesuaikan kondisi yang ada.

           

Respon masyarakat terkait informasi Netflix dan Spotify yang akan terkena pajak 12% (Sumber: Instagram @folkative)
Respon masyarakat terkait informasi Netflix dan Spotify yang akan terkena pajak 12% (Sumber: Instagram @folkative)

          Naiknya PPN hingga 12% menimbulkan disonansi bagi masyarakat, terutama masyarakat yang memiliki pendapatan kecil dan menengah, serta merasa kebijakan ini justru menambah beban dan mengganggu kesejahteraan ekonomi keluarga. Di sosial media seperti Instagram, Facebook, X dan TikTok terdapat banyak komentar dari masyarakat yang menolak naiknya tarif PPN ini karena menambah beban mereka dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengurangi disonansi ini, pemerintahpun berusaha untuk menjelaskan kepada publik bahwa kebijakan baru terkait kenaikan tarif PPN ini diperlukan untuk pembangunan nasional. Dikutip dari Sekretariat Kabinet Republik Indonesia (2024), menampilkan transkrip isi pidato Presiden Prabowo Subianto setelah mengikuti rapat tutup akhir tahun pada 31 Desember 2024 bersama menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyatakan bahwa kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik dari 11% menjadi 12% yang dikhususkan pada penjualan barang dan jasa mewah seperti kapal pesiar, pesawat jet pribadi, rumah dan mobil mewah. Sementara barang dan jasa untuk kebutuhan pokok masyarakat seperti beras, telur, air, jasa kesehatan dan pendidikan akan dikenakan tarif pajak yang sama atau tidak berubah yaitu 11%. Dengan adanya pengumuman yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto sehari sebelum pergantian tahun 2025, membuat masyarakat merasa lega dan mulai menerima kebijakan baru terkait kenaikan tarif pajak tersebut. 

Postingan Folkative terkait informasi PPN 2025 tidak ada kenaikan (Sumber: Instagram @folkative)
Postingan Folkative terkait informasi PPN 2025 tidak ada kenaikan (Sumber: Instagram @folkative)

Respons masyarakat terkait informasi PPN 2025 tidak ada kenaikan (Sumber: Instagram @folkative)
Respons masyarakat terkait informasi PPN 2025 tidak ada kenaikan (Sumber: Instagram @folkative)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun