Padahal dari laman Forlap Dikti, yang bersangkutan tercatat tidak aktif sejak 2017 bahkan sudah mengundurkan diri dari studi S3 di FK-UI.
Di Republika juga disebutkan Tifauzia menjabat sebagai Direktur Executive di Centre for Clinical Epidemiology and Evidence-Based Medicine (CEEBM) FKUI-RSCM.Â
Klaim ini sulit diklarifikasi. Dalam susunan tim kepengurusan awal CEEBM yang tercantum di websitenya, pada tahun 2015 lembaga ini dipimpin oleh Prof. Dr. dr. Siti Setiati Sp.PD sebagai leader yang membawahi beberapa orang pengurus.Â
Nama Tifauzia tidak tercantum dalam tim pengurus tersebut. Nalar publik pun sulit mencerna, bagaimana mungkin FKUI dan RSCM menyerahkan kepemimpinan lembaga seperti CEEBM pada seorang dokter tanpa izin praktek dan hanya lulusan S2 non-spesialis seperti Tifauzia? Â
Jadi, apakah para netizen seperti saya telah melakukan pembunuhan karakter terhadap dokter Tifa? Tentu saja tidak. Justru para netizen sedang mencoba menyelamatkan rakyat Indonesia dari keterpurukan literasi akibat kepercayaan berlebihan pada pakar klaim kosong bermodal ramuan informasi internet, yang sayangnya, diamplifikasi pula oleh Media-media mainstream yang malas melakukan penelusuran rekam jejak narasumber.
Lalu bagaimana dengan pendapat Dokter Tifa yang gencar menyuarakan lockdown sebagai upaya containment terhadap wabah Covid-19? Tentunya sah-sah saja beliau berpendapat seperti itu.Â
Kebebasan berpendapat dijamin seluas-luasnya di Negara ini, selama tidak mengandung fitnah dan hoax. Namun, mohon maaf, nilai dari opini Dokter Tifa tidak lebih dari opini seorang dokter yang tak punya izin praktek dokter. BUKAN opini pakar.
Kepada Dokter Tifauzia Tyassuma MSc, sekali lagi saya menyarankan agar Anda segera membuat klarifikasi atas berbagai dugaan kebohongan publik yang Anda lakukan dan telah diungkapkan oleh para netizen. Tanpa klarifikasi yang masuk akal dari Anda, jangan salahkan jika para netizen menaikkan status dugaan tersebut menjadi fakta yang tak terbantahkan. Â Â
Kepada media Republika, jika masih ingin memperbaiki reputasi, bersama surat terbuka ini, saya menghimbau agar Republika menulis permohonan maaf atas artikel fitnah buzzer receh yang dimuat tanpa mengedepankan kaidah jurnalistik cover both sides.Â
Kita tentu mafhum bahwa di era online ini, Media terpaksa mengandalkan click-bait. Ada banyak cara terhormat untuk memperoleh click-bait, tapi tentunya bukan dengan cara mengamplifikasi terduga pelaku kebohongan publik.
Publik Indonesia khususnya komunitas muslim moderat seperti saya tentu tidak menginginkan Republika yang kelahirannya dibidani oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dengan spirit sebagai media komunitas muslim moderat dan progresif, harus terpuruk sebagai media receh yang menulis artikel-artikel recehan, hanya demi sesuap click-bait.