Mohon tunggu...
Meilanie Buitenzorgy
Meilanie Buitenzorgy Mohon Tunggu... Dosen - Mantan kandidat PhD, University of Sydney, Australia

Mantan kandidat PhD, University of Sydney, Australia

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Pakar Kaleng-kaleng dan Kenaifan Media: Surat Terbuka kepada Republika

11 April 2020   09:57 Diperbarui: 11 April 2020   09:59 5181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Contohnya saya. Saya adalah dosen dan peneliti di sebuah PTN terkemuka di Indonesia. Saya lulusan S3 dari University of Sydney (ranking 42 dunia). Di Google Scholar, statistik kunci yang menggambarkan kontribusi saya terhadap ilmu pengetahuan dunia adalah sebagai berikut: citations = 134, H-index = 3, i10-index = 2. Artinya terdapat 134 publikasi ilmiah internasional yang merujuk pada hasil-hasil penelitian saya. Dengan statistik dan record pendidikan seperti ini, apa saya sudah pantas disebut pakar? Tidak, masih jauh, jauh sekali dari predikat Pakar.

Sekarang, siapa suami saya? Apakah pengangguran sampai-sampai saya harus menyambi jadi buzzer cari receh dan nasi? Suami saya adalah orang Indonesia yang bekerja sebagai dosen dan peneliti sekaligus menjabat sebagai salah satu direktur program di sebuah PTN di Australia.  Yang bersangkutan sudah mencapai jenjang Associate Professor. Lalu berapa statistik kepakaran suami saya di Google Scholar? Citations = 1243, h-index=16, i10-index=29. Selain deretan publikasi jurnal internasional, yang bersangkutan juga sudah menghasilkan 2 buku akademik yang diterbitkan penerbit internasional Palgrave. Apakah yang bersangkutan sudah pantas disebut pakar. Ya.

Sekarang, dimanakah seorang Tifauzia Tyassuma --yang diberitakan berbagai Media sebagai pakar clinical epidemiology-- berdiri di dunia ilmuwan dan penelitian? Mari kita lihat saja statistik kecendekiaan ybs: Citations = 0, h-Index=0, i10-index =0.

Nol nol nol.

Serius? Pakar? Nol sitasi? Come on, tidak mampukah Media-media mainstream memahami statistik Google Scholar, sebagai platform paling generik yang dapat digunakan untuk menelusuri rekam jejak kepakaran seseorang?

Sebegitu parah dan malasnya Media kita, hingga tak mampu juga menemukan fakta bahwa nama Tifauzia Tyassuma bahkan tidak tercantum sedang bekerja di lembaga publik mana pun. Padahal Bu Odah dan mas Fajar, petugas kebersihan kantor kami, pun tercantum nama dan fotonya di laman website kantor kami, bersama-sama dengan para Professor dan Ph.D.

Saya tentu tidak mencap Dokter Tifa sebagai pengangguran lulusan S2. Walau izin praktek dokternya sudah expired sejak 2012, beliau sibuk dengan berbagai aktivitas sebagai sukarelawan pengurus berbagai organisasi, menulis beberapa buku non-akademik, mengelola lembaga konsultan bikinan sendiri dan seller sebuah produk herbal.

Namun dapat disimpulkan, dari sisi pendidikan, pekerjaan, professional standing maupun statistik kepakaran, mohon maaf, tidak cukup basis bagi Tifauzia untuk mengklaim diri sebagai ahli clinical epidemiology maupun ahli di bidang-bidang lainnya.

Padahal Indonesia tidak kekurangan pakar epidemiology dan public health dengan reputasi mendunia, baik yang berlatar belakang kedokteran klinis maupun disiplin ilmu lainnya. Ada Prof. Hasbullah Thabrany, Ph.D lulusan UC Berkeley (ranking 28 dunia), akademisi dan peneliti di FKM-UI, pemilik 1279 sitasi dan h-index 18. Ada Iqbal Elyazar, Ph.D lulusan Oxford University (ranking 1 dunia), peneliti di lembaga Eijkmann, pemilik lebih dari 16 ribu sitasi dan h-index 38. Ada pula dr. Pandu Riono, Ph.D lulusan UCLA (ranking 31 dunia), akademisi dan peneliti di FKM-UI, pemilik 368 sitasi dengan h-index 11.

Sangat disayangkan justru Media lebih memilih mengutip bahkan memberi panggung pada pakar kaleng-kaleng, yang memang pintar meramu berbagai informasi dari internet menjadi tulisan yang menohok di media sosial. Sikap pragmatis Media yang hanya mempertimbangkan click-bait dan mengandalkan self-claim dari figur yang sedang populer di media sosial, justru berkontribusi pada makin terpuruknya literasi masyarakat Indonesia (yg terdidik sekalipun).

Dugaan kebohongan TIfauzia yang terbaru, pada riwayat hidup Tifauzia yang dimuat koran Tempo, ybs mengaku sedang menjalani studi S3 di FK-UI sejak 2014 hingga sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun