Ini memang tidak mudah. Belum ada satu pun Presiden negara berflower yang cukup bernyali mengubah kebijakan sumber petaka yang satu ini.Â
 Namun, sepertinya masalah ini tidak bisa dihindari lagi di masa administrasi Presiden Joko Widodo. Saya membaca dan merasakan energi kemarahan kelompok minoritas plus kelompok mayoritas pendukung Pak Jokowi terkait kasus-kasus sengketa rumah ibadah yang makin marak. Mereka disatukan oleh ideologi yang sama: pluralisme. Dan jumlah mereka jauh lebih besar daripada jumlah para pendengki.  Â
 Masalah ini makin diperumit oleh tangan-tangan para elite-oligarki di belakang para mafia yang bisnis kotornya terganggu oleh berbagai kebijakan bersih-bersih ala Jokowi. Dengan licik, mereka menggunakan masalah ini sebagai celah untuk memanfaatkan para pendengki menciptakan instabilitas dalam negeri. Dugaan saya, aksi-aksi para pendengki rumah ibadah yang makin marak belakangan ini tidak lepas dari permainan elite-mafia jahat.  Â
 Semantik ala ketua BPIP itu hanya bisa dipahami oleh kelompok open-minded berliterasi tinggi. Sementara literasi rakyat negara berflower ada di ranking nyaris terbawah. Hasilnya ya begitu itu, heboh. Walau sungguh aneh tapi nyata, mereka yang heboh sekarang itu, malah diam seribu bahasa sewaktu Rocky Gerung secara eksplisit gak pake semantik nyampah  "Kitab suci itu fiksi".
 Tugasmu memang sungguh berat Pak Jokowi. Tapi kita sedang menunggu janji "pemerintahan tanpa beban" itu diwujudkan secara eksplisit. Masalah intoleransi tak bisa diatasi dengan pembangunan terowongan silaturahmi. Masalah sengketa rumah ibadah tak cukup hanya dengan menyentil para kepala daerah dan Kapolri. Â
 Jangan lupa Pak, jumlah KAMI ini jauh lebih banyak dari jumlah para pendengki. Tolong jangan diabaikan suara kegalauan kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H