Tübingen adalah kota tua di selatan Jerman dengan semangat muda dan memberi tawaran budaya yang luar biasa. Kota ini juga disematkan sebagai Kota Pelajar.Â
Setiap bulan September di satu atau dua pekan terakhir, aku bersama kawan-kawanku, ibu-ibu di perkumpulan pencinta budaya di desa tempatku tinggal, Kernen-Stetten yang berjarak sekitar 16 km atau sekitar 20 menit bermobil dari kota Stuttgart, mempunyai agenda untuk menutup musim panas dengan mengunjungi kota-kota yang banyak menyimpan budaya.
Tübingen ada salah kota yang memiliki peti harta-karun budaya. Kota tua dengan bangunan yang berusia berabad-abad, memiliki salah satu universitas tertua di Jerman bahkan di Eropa, memiliki alam yang indah dengan wisata perahu di Sungai Neckar.
Orang-orang yang pernah berkunjung ke sana berkata bahwa mereka telah jatuh cinta pada kota itu pada pandangan pertama, tapi sayang sekali tidak denganku.
Ini adalah kali kedua aku akan mengunjungi kota tersebut. Pada kunjungan pertama di beberapa tahun lalu, kota yang katanya begitu mempesona menyambutku dengan hujan dan langit yang berwarna kelabu seharian. Ternyata jatuh cinta dipengaruhi oleh momen dan waktu yang tepat.
Pagi yang segar di akhir pekan kemarin pada pukul 9 pagi, aku dan kawan-kawanku berkumpul di perhentian bus di desa kecil kami. Semuanya hanya berbekal jaket tipis karena siang hari, suhu akan berkisar pada angka 22 °C, angka cantik di akhir musim panas.
Kami menunggu bus yang akan membawa kami ke kota kecil Esslingen dan dari sana berganti dengan Regiobahn ke kota Tübingen. Regiobahn adalah kereta yang menghubungkan kota-kota kecil di Jerman.
Bus yang kami tumpangi melewati jalan desa berkelok-kelok di kawasan lembah perkebunan apel, ceri, dan anggur sebelum memasuki bukit berhutan pinus.Â
Pemandangan di lembah sudah sedikit dihiasi warna agak keemasan yang berasal dari warna dedaunan pohon ceri yang mulai menguning sedangkan di atas bukit warna tetap hijau karena daun pohon pinus tidak berubah warna dalam setiap musim.
Hampir pukul 11, kami tiba di stasiun kereta Tübingen. Kami berjalan kaki untuk memasuki kota dengan melewati taman di depan stasiun. Taman kota yang dipenuhi pohon kastania dengan buahnya yang sudah banyak berjatuhan.
Di taman itu terdapat monumen perunggu Ludwig Uhland, seorang penyair, profesor sastra, dan politikus Jerman pada abad ke-19.
Hanya perlu waktu beberapa menit dari situ untuk sampai ke dalam pusat kota.Â
"Kota ini ngangenin, pertama sampai di sini aku langsung jatuh cinta," kata mbak Hennie Oberst kepadaku.
Mbak Hennie adalah salah satu Kompasianer yang tinggal di kota ini. Sayang sekali hari ini dia tidak bisa menemani rombonganku karena sedang berada di luar kota.
Saat memasuki kota, kami disambut dengan dengan pemandangan yang begitu mempesona. Tidak banyak kota yang bisa memberi hal seperti itu.Â
Tiada kunjungan tanpa memulainya dari Jembatan Neckar
Sensasi keindahan sejarah Neckarfront mengundang untuk ber-selfie. Neckarfront adalah motif terindah di kota ini.
Dengan berdiri di atas jembatan Neckar, memberi pengunjung pemandangan yang sangat cantik, kumpulan bangunan tua bertingkat dan runcing di sepanjang sisi sungai Neckar.
Ada Gereja Stifkirche, Menara Hölderlinturm, kastil Höhentübingen, dan bangunan-bangunan tua lainnya yang menguntai bagaikan butiran mutiara.
Dari jembatan situ ada tangga ke kiri yang membawa pengunjung ke Neckarinsel atau pulau Neckar. Itu adalah daratan yang terbentuk di tengah sungai.Â
Pulau kecil tersebut menjadi tempat populer warga kota untuk berpiknik karena memiliki taman dengan pohon-pohon besar dan rindang.
Kami menyeberangi sungai melewati Jembatan Neckar yang kedua sisinya dihiasi bebungaan beraneka warna, ada juga yang digantung di tiang-tiang jalan.
Banyak sekali pengendara sepeda di sini sehingga di kota ini berlaku peraturan "Pengendara sepeda didahulukan". Mobil hanya diperbolehkan jika rambu tambahan mengijinkan.
Kami berjalan memasuki kompleks Kota Tua, melewati jalan-jalan berbatu dan gang sempit yang diapit toko-toko dan kafe-kafe yang terlihat begitu menyenangkan. Kawasan ini dipenuhi bangunan-bangunan bersejarah.Â
Holzmarkt, yaitu pasar tradisional dengan tenda-tenda yang menjual hasil bumi segar dari petani setempat: sayur-mayur, beraneka buah, berjenis-jenis keju, kacang-kacangan, telur, madu, dan masih banyak lagi.
Seperti namanya Holz (Kayu) dan Markt (Pasar) menjelaskan bahwa di pasar ini kayu diperdagangkan, sampai pada abad-20. Pada masa sebelumnya tempat ini juga menjadi lokasi pasar pelabuhan, tempat pembuat tembikar dan tukang tembaga menjual dagangan mereka.
Stiftskirche adalah gereja yang dibangun pada abad ke-15 atas dorongan Eberhard Karls, pendiri Universitas Tübingen. Saat ini, tangga masuk di pelataran gereja menjadi kawasan populer bagi mahasiswa untuk duduk-duduk dan bertemu di malam hari. Dari situ kami melanjutkan perjalanan ke arah Marktplatz.Â
Marktplatz (Pasar) adalah pasar yang lebih besar dari Holzmarkt, dengan alun-alun yang dikelilingi oleh Fachwerkhaus atau rumah-rumah warisan sejarah yang berusia beratus-ratus tahun, berasal dari abad ke-15 dan ke-16 dengan arsitektur rangka kayu.
Di tempat ini, kami begitu mengagumi Rathaus (Balai kota) yang dicat warna-warni secara sangat detail dari tahun 1435 dengan jam astronomi-nya yang sampai saat ini masih berfungsi dengan baik.Â
Banyak orang yang sementara duduk-duduk sambil menyeruput kopi di kafe-kafe sekitar situ sambil menikmati sisa-sisa akhir musim panas.
Tübingen disebut sebagai Kota Universitas atau Kota PelajarÂ
Ahli retorika Walter Jens mengatakan bahwa Tübingen tidak memiliki Universitas, tapi Tübingen adalah universitas. Ini memang benar karena setiap melangkahkan kaki, hampir disetiap sudut kota kita akan melihat jejak Universitas seperti aula dan tempat-tempat penelitian.
Seperti saat ini, dari arah Markplatz, kami mengambil jalan menanjak ke arah Schloss Hohentübingen.Â
Schloss Hohentübingen adalah kastil yang pembangunannya diperkirakan pada abad ke-11. Dahulu kala tempat ini merupakan kediaman Adipati Württemberg sampai pada abad ke-16.Â
Sejak pertengahan abad ke-18 bagian utama universitas berada di tempat itu, sampai pada tahun 1816 keseluruhan kastil diserahkan oleh Raja Wilhelm I dari Württemberg kepada universitas.Â
Eberhard Karl Universität Tübingen sendiri didirikan pada tahun 1477 sehingga menjadi salah satu universitas tertua di Eropa.Â
Kota ini sejak saat itu menjadi favorit bagi pelajar-pelajar dari berbagai penjuru dunia dengan reputasi panjang di bidang akademik dan bertahan hingga zaman ini dan tetap dinobatkan sebagai salah satu universitas elite di Jerman.
Kehidupan kota universitas ini ditandai juga dengan jumlah mahasiswa (sekitar 28.000), yang merupakan sepertiga dari jumlah populasi penduduk kota.Â
Sebelum memasuki area kastil yang saat ini menjadi bagian dari Universitas Tübingen yaitu Institut der Klassischen Archäologie dan Museum Alte Kulturen (Institut Arkeologi Klasik dan Museum Kebudayaan Kuno), kami melewati bangunan tua yang dijadikan hotel dan restoran dengan tulisan yang sangat menarik di depannya:
"Dohoggeddiadiaemmardohogged"Â
Ini adalah bahasa Jerman dengan Schwäbische Dialekte atau berdialek Swabisch (dialek masyarakat dari negara bagian Baden-Württemberg).
Masyarakat Swabia mempunyai kebiasaan untuk berbicara menyambung kata-kata sehingga seperti tidak ada jeda antara satu kata dengan kata lainnya.Â
Dalam Hochdeutsch atau bahasa Jerman baik dan benar, kalimat di atas akan tertulis:
"Da sitzen die, die immer da sitzen"
Dalam bahasa Indonesia berarti "yang duduk di situ hanya mereka yang selalu (biasa) duduk di situ.Â
Ini adalah salah satu tujuan melakukan wisata budaya karena selain belajar sejarah juga bisa melihat keanekaragaman budaya dan literasi.Â
Setelah menikmati makan siang di salah satu restoran yang terletak di tepi sungai Neckar, kami melewati sore dengan berwisata menggunakan Stocherkahn atau berperahu untuk menyusuri keindahan sungai Neckar.
Tanpa atraksi ini, perjalanan kami belumlah lengkap. Perjalanan mendayung perahu dilakukan dengan tongkat kayu panjang, bukan oleh penumpang tapi oleh kapten perahu profesional.Â
Wajah kami bermandi sengatan lembut mentari dan bayu bertiup lembut sepoi-sepoi membawa udara sejuk sungai Neckar. Aku mencelupkan tanganku ke dalam air untuk menikmati sensasi aliran sungai ini. Rasa bersih dan segar mengaliri seluruh tubuhku.Â
"Meike, schade, deine Freundin nicht mitkommen, wäre doch auch für dich nett gewessen," (Meike, sayang sekali sahabatmu tidak bisa ikutan, padahal itu bisa menyenangkan bagimu) kata kawanku yang bertugas sebagai bendahara kepadaku. Aku mengangkat kedua tanganku dan memiringkan sedikit kepalaku memberi tanda bahwa akupun menyayangkannya.Â
Perahu yang kami sewa berjumlah 14 kursi dan kami yang berwisata hari ini hanya sebanyak 12 orang, masih ada 2 tempat kosong. Kami membayar €110 untuk 1 jam.
Seorang mahasiswi bertindak sebagai kapten perahu. Dia melakukan pekerjaan itu di sela-sela waktu kuliahnya. Dia mendayung sambil bercerita tentang tentang kota Tübingen mulai dari sejarah sampai Tübingen masa kini.
Sayang sekali, tidak terlalu banyak informasi yang bisa kutangkap karena aku duduk di yang paling depan, dan suaranya dibawa angin, manalagi pemandangan bebek-bebek yang lagi asyik berenang mencuri perhatianku.Â
Hanya dua informasi yang kudengar baik-baik yaitu bahwa dia mau tinggal lebih lama di Tübingen karena kota itu romantis. Informasi lainnya bahwa Tübingen pernah selama beberapa tahun setelah perang dunia kedua menjadi ibukota negara bagian Baden-Württemberg karena banyak bagian kota Stuttgart yang saat itu sebagai ibukota hancur terkena bom.
Sekitar pukul 4 sore sesudah berperahu, kami menutup tamasya sehari dengan menikmati kopi dan teh beserta kue di salah satu taman kedai kopi.Â
Tak bisa dipungkiri, Tübingen memang mempesona dari segala sisi. Perpaduan yang sangat istimewa antara alam, sejarah, kecantikan masa lalu berpadu dengan denyut setiap zaman yang berasal dari kaum muda datang dan pergi dari berbagai belahan dunia untuk menimba ilmu.
Kami kembali ke Stuttgart dengan pengalaman yang indah tak terlupakan akan kota tua ini, yang bagiku sebagai cinta pada pandangan kedua.
Kenangan di Tübingen, 21 September 2024
Salam manis,
Meike Juliana Matthes
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H