Bahasa ibu atau bahasa daerah adalah pilar budaya yang merupakan salah satu warisan leluhur, memperkuat identitas karena memberikan petunjuk dari mana kita berasal, mencerminkan sejarah, nilai, dan tradisi.
Tanggal 21 Februari diperingati sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Ini adalah perayaan tahunan yang diselenggarakan di seluruh dunia untuk meningkatkan kesadaran dan keberagaman linguistik dan budaya yang multi bahasa.
Menurut KBBI bahasa ibu adalah bahasa yang dikuasai manusia pertama sejak lahir lewat interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya seperti keluarga dan lingkungannya.
Hal ini berarti bahasa ibu adalah bahasa yang pertama dipelajari oleh seorang anak dari lingkungan terdekatnya: ibu, ayah, saudara atau keluarga dalam kehidupan sehari-hari.
Bahasa yang dipakai suatu keluarga atau lingkungan bisa bermacam-macam bahasa, bisa bahasa daerah, bahasa indonesia atau bahasa internasional.
Pengalaman berbahasa ibu di Jerman
Bagi saya yang hidup di luar-negeri, pemberian pengajaran bahasa kepada anak-anak saya menjadi salah satu hal yang sangat penting.
Pada saat anak pertama saya lahir, saya berkonsultasi dengan dokter anak tentang bagaimana atau sejauh apa daya tangkap seorang anak pada pelajaran bahasa mengingat anak saya akan tumbuh dalam keluarga ber-dwibahasa.Â
"Dokter, saya ingin mempertahankan Bahasa Indonesia atau mengajarkan bahasa ibu saya kepada anak-anak saya. Apakah itu tidak terlalu banyak bagi mereka mengingat mereka juga akan berbicara Bahasa Jerman dengan ayahnya dalam waktu yang bersamaan?" Saya bertanya waktu itu.
"Seorang anak bisa belajar 3 bahasa sekaligus dalam waktu yang bersamaan asal konsisten atau bahasa itu disampaikan oleh orang yang sama. Anda bisa berbicara Bahasa Indonesia dengan anak Anda, ayahnya berbicara Bahasa Jerman. Jika ada kerabat atau saudara Anda yang berbahasa lain, dia juga bisa mempergunakan bahasa itu dengan anak Anda." Si Dokter menjelaskan.
Bahasa ibu sangat berpengaruh pada tumbuh dan berkembangnya pola pikir anak pada usia dini yang kemudian bisa membangun karakter ucapannya.
Saya memberi contoh pengalaman dengan anak pertama saya.
Saya mulai membawa anak saya bersosialisasi secara offisial dengan lingkungan sejak dia berusia hampir 2 tahun yaitu ke Krabbelgruppe atau kelompok bermain.
Pada umur 3 tahun, saya membawanya ke Taman Kanak-Kanak. Pada saat itu, anak saya sudah berbicara Bahasa Indonesia yang didapatnya dari saya dan Bahasa Jerman dari ayahnya.
Saya melihat anak saya yang berusia 3 tahun itu sudah bisa membedakan dengan siapa dia bercakap. Dia akan berbahasa Jerman dengan orang-orang yang terlihat seperti ayahnya dan berbahasa Indonesia dengan orang-orang yang terlihat seperti ibunya.
Dalam kemampuannya berbicara dwibahasa, ada pola pikir atau karakter yang terbangun pada anak saya. Dia menuturkan bahasa Jerman dengan karakter bahasa Indonesia.
Erziehrin atau sebutan guru Taman Kanak-Kanak menyampaikan kepada saya bahwa anak saya menyebut namanya untuk menyebut dirinya, bukan "Ich" (Saya).
Contohnya:Â
Jika gurunya bertanya "Siapa dari kalian yang ingin bermain di luar?" maka anak saya menjawab "Lily" (bukan nama sebenarnya). Anak saya tidak menjawab dengan kata "Ich" (Saya) seperti seharusnya dalam Bahasa Jerman.
Ini dipengaruhi atas percakapan antara anak saya dan saya di rumah. Sebagaimana bahasa ibu saya, yang mana nama diri digunakan dalam percakapan untuk menunjukkan tingkat kedekatan suatu hubungan. Hal ini berlaku di beberapa daerah di Indonesia termasuk daerah Ibu saya berasal, Poso, Sulawesi-tengah.
Contoh lain percakapan antara saya dan anak saya:
"Mami pergi dulu ya... "
 "Lilly mau makan apa?"
Tidak terlihat penggunaaan kata "Aku" dan "Kamu" dalam kedua contoh kalimat di atas.
Pemakaian Bahasa Jerman yang berkarakter Indonesia ini hanyalah terjadi di masa-masa awal anak saya di TK, tapi kemudian lewat proses adaptasi yang singkat dia tidak menggunakannya lagi.
Meskipun cara ini tidak digunakan anak saya lagi tapi dia paham bahwa ada perbedaan karakter antara Bahasa Jerman dan Bahasa Indonesia. Hal ini penting untuk membangun pola pikirnya atas budaya Indonesia.
Bagaimana dengan Bahasa Ibu di Indonesia?
Di Indonesia, kita memahami bahwa bahasa ibu adalah bahasa daerah karena lingkungan sekitar yang berbahasa nasional Indonesia.Â
Menurut penelitian untuk pemetaan Bahasa Indonesia yang dilaksanakan oleh Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang dilakukan sejak tahun 1991-2019, bahasa daerah (tidak termasuk dialek dan subdialek) di Indonesia yang didentifikasi dan divalidasi sebanyak 718 bahasa dari 2.560 daerah pengamatan. (https://petabahasa.kemdikbud.go.id/)
Kita semua sepakat bahwa bahasa daerah adalah pilar budaya yang merupakan salah satu warisan leluhur, memperkuat identitas karena memberikan petunjuk dari mana kita berasal, mencerminkan sejarah, nilai, dan tradisi.
Sebagai generasi X, saya dibesarkan dengan mendengar bahasa daerah meskipun di dalam rumah, saya tidak menggunakan bahasa daerah itu karena kedua orang tua saya berasal dari suku yang berbeda. Bahasa sehari-hari kami adalah bahasa Indonesia.Â
Saya mendengar bahasa daerah jika kerabat ibu (suku Poso) atau ayah (suku Sangihe, Sulawesi Utara) datang berkunjung. Bahasa daerah lain yang kudengar juga adalah bahasa Gorontalo tempat saya dibesarkan. Bahasa yang dipakai oleh tetangga-tetangga saya.
Karena bahasa Gorontalo yang sering saya dengar maka bisa dikatakan penguasaan saya akan bahasa ini lebih banyak dari bahasa daerah kedua orang tua saya.
Data terbaru yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Long Form Sensus Penduduk 2020 (LF SP2020) menunjukkan bahwa 73,87% keluarga Indonesia masih menggunakan bahasa daerah saat berkomunikasi di tengah keluarganya.
Sementara itu, di lingkungan kerabat atau tetangga, bahasa daerah hanya digunakan oleh 71,93%. Angka lebih kecil ditemukan di kalangan generasi Z dan generasi Alfa. Mereka hanya menggunakan bahasa daerah di tengah keluarga di kisaran angka 61---62% saja.
Dari data-data di atas ini menunjukan bahwa semakin hari dalam pergantian generasi, bahasa daerah menjadi lebih sedikit penuturnya.
Ada beberapa faktor penyebabnya, sebut saja karena era globalisasi dan perkembangan dunia digital.
Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional yang paling umum digunakan di internet. Perkembangan Anime dan K-Pop membuat bahasa Jepang dan Korea menjadi pesaing.Â
Hal lain karena perkawinan campur antar suku atau antar berbeda kewarganegaraan. Hal-hal ini menjadikan bahasa daerah menjadi lebih terpinggirkan.
Tidak ada yang salah dengan mempelajari bahasa-bahasa lain. "Memang sudah begitu perkembangan dunia."
Tetapi kembali lagi, apakah kita mau melestarikan budaya bahasa-bahasa daerah itu?
Bahasa adalah landasan suatu kebudayaan. Bagi masyarakat lisan daerah, kata-kata menyimpan pengetahuan yang telah dikumpulkan selama ribuan tahun. Suatu bahasa juga menyimpan cerita, lagu, tarian, protokol, dan sejarah. Bahasa juga seringkali menganut hukum adat masyarakat.
Ketika suatu bahasa mati, begitu pula kaitannya dengan budaya dan sejarah masa lalu. Tanpa hubungan penting dengan sejarah linguistik dan budaya mereka, masyarakat akan kehilangan rasa identitas dan rasa memiliki.
Masyarakat adat atau daerah telah mengamati dan membicarakan lingkungannya sejak dahulu kala. Semua pengetahuan tersebut, yang terkandung dalam bahasa tersebut, merupakan sumber informasi yang sangat berharga tentang sejarah lingkungan alam, iklim, tumbuhan, dan hewan. Ini adalah kumpulan pengetahuan yang tidak dapat diambil kembali.
Ilmu pengetahuan modern juga berasal dari pengetahuan tradisional masyarakat adat dan semuanya terkena dampak ketika gudang pengetahuan lingkungan tradisional yang tak tergantikan itu hilang. Setiap bahasa yang mati sama dengan hilangnya kekayaan budaya.
Disinilah diperlukan tanggung jawab kita. Pelestarian bahasa daerah bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi tanggung jawab kita bersama.Â
Pemerintah telah membuat kebijakan yang memasukkan bahasa daerah ke kurikulum sekolah. Balai-balai bahasa mengadakan kompetisi literasi atau pertunjukan lisan lewat tarian, baca pusi, dan berceritera.
Seperti kegiatan yang dilaksanakan oleh Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara dalam memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional "Penulisan Cerita Anak Dwibahasa" untuk bahasa-bahasa suku di Minahasa: Tonsea, Tonsawang, dan Tountemboan. Kegiatan ini dilakukan secara berkala.
Buku anak berbahasa daerah yang sudah berhasil masuk dalam Global Digital Library.
Misalnya buku Petrus pe Kacang (Kacangnya Petrus) yang ditulis oleh Tandi Jackson dan dialihbahasakan oleh Irene Rindorindo yang saat ini sebagai Koordinator Kelompok Kepakaran dan Layanan Profesional (KKLP) Penerjemahan Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara.
Cara ini akan lebih memperkenalkan kepada dunia internasional akan kekayaan budaya bangsa kita.
Kegiatan lainnya lagi adalah GSMS (Gerakan Seniman Masuk Sekolah) seperti yang dijelaskan oleh Karmila Karim dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Gorontalo.
Kegiatan itu dilaksanakan pada sekolah-sekolah dasar di Kabupaten Gorontalo. Kegiatan yang dimaksudkan untuk memperkuat karakter anak melalui penanaman nilai-nilai budaya.
Langkah-langkah di atas ini adalah sangat baik dan semoga semakin digalakkan atau dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan. Ini menjadi ajang yang bergengsi terutama bagi generasi muda karena akan menumbuhakan rasa bangga akan bahasa daerahnya.Â
Kompetensi kreativitas budaya yang berbahasa daerah dapat memberikan jaminan kehidupan bagi penuturnya. Lihat saja, pegiat literasi, seniman, sastrawan atau sineas-sineas muda yang bisa memproduksi karya mereka dan hal ini sangat diakui dan dihargai oleh dunia internasional.
Seperti Fredy Wowor, seorang budayawan Tuama Sonder (lelaki Sonder) salah satu daerah di Minahasa. Dia meraih penghargaan akan perannya sebagai Makatana di 34th. Singapore International Film Festival dalam film pendek "Of Other Tomorrow Never Know".
Selain Langkah-langkah di atas ini, ada cara lain juga yang saya pikir akan sangat-sangat efektif yaitu memulai gerakan bersama-sama. Gerakan yang berasal dari dalam rumah.
Gerakan Nenek Berbicara Bahasa Daerah dengan Cucunya.
Saya ingat kembali kata dokter anak bahwa seorang anak bisa belajar 3 bahasa sekaligus dalam waktu yang bersamaan.
Gerakan yang saya maksudkan adalah jika seseorang anak lahir dari orangtua yang berbeda suku atau tidak menguasai bahasa daerah maka nenek atau atau kakeklah yang mengajarkan bahasa daerah itu kepada mereka lewat percakapan sehari-hari.
Kita punya tanggung-jawab kepada anak-cucu untuk mewariskan apa yang di dapat dari leluhur. Jika kita menyadari hal ini dengan benar-benar dan sungguh-sungguh maka kita akan tiba pada suatu pemahaman bersama bahwa warisan budaya bahasa daerah beserta lingkungannya adalah sangat berharga.Â
Saya sendiri bukan sebagai penutur bahasa daerah yang baik, tetapi saya punya bahasa ibu yaitu Bahasa Indonesia dengan karakternya yang berasal dari bahasa daerah yang saya warisi dari kedua orang tua.
Sebagai seorang yang sudah lama bermukim di luar-negeri bahasa ini akan saya wariskan kepada cucu saya jika suatu hari kelak saya dipercayakan untuk menerima tanggung-jawab itu.
Saya tidak punya banyak materi untuk diwariskan tapi bahasa ibu. Warisan yang sangat kaya disamping sebagai bentuk penghormatan pada leluhur.
Salam Bhinneka Tunggal Ika,
Penulis: Meike Juliana Matthes
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H