Saya memberi contoh pengalaman dengan anak pertama saya.
Saya mulai membawa anak saya bersosialisasi secara offisial dengan lingkungan sejak dia berusia hampir 2 tahun yaitu ke Krabbelgruppe atau kelompok bermain.
Pada umur 3 tahun, saya membawanya ke Taman Kanak-Kanak. Pada saat itu, anak saya sudah berbicara Bahasa Indonesia yang didapatnya dari saya dan Bahasa Jerman dari ayahnya.
Saya melihat anak saya yang berusia 3 tahun itu sudah bisa membedakan dengan siapa dia bercakap. Dia akan berbahasa Jerman dengan orang-orang yang terlihat seperti ayahnya dan berbahasa Indonesia dengan orang-orang yang terlihat seperti ibunya.
Dalam kemampuannya berbicara dwibahasa, ada pola pikir atau karakter yang terbangun pada anak saya. Dia menuturkan bahasa Jerman dengan karakter bahasa Indonesia.
Erziehrin atau sebutan guru Taman Kanak-Kanak menyampaikan kepada saya bahwa anak saya menyebut namanya untuk menyebut dirinya, bukan "Ich" (Saya).
Contohnya:Â
Jika gurunya bertanya "Siapa dari kalian yang ingin bermain di luar?" maka anak saya menjawab "Lily" (bukan nama sebenarnya). Anak saya tidak menjawab dengan kata "Ich" (Saya) seperti seharusnya dalam Bahasa Jerman.
Ini dipengaruhi atas percakapan antara anak saya dan saya di rumah. Sebagaimana bahasa ibu saya, yang mana nama diri digunakan dalam percakapan untuk menunjukkan tingkat kedekatan suatu hubungan. Hal ini berlaku di beberapa daerah di Indonesia termasuk daerah Ibu saya berasal, Poso, Sulawesi-tengah.
Contoh lain percakapan antara saya dan anak saya:
"Mami pergi dulu ya... "