Kalau aku mulai berbagi kisahku dengan ayah, maka tak akan ada habisnya. Sebagai anak perempuan yang banyak polah, sedari kecil aku merasa aku lebih dekat dengan ayahku, aku sadar hal itu ketika aku dengan nakalnya naik pohon kelapa lantas ceroboh dan terjatuh. Tangan kiriku mengalami dislokasi sendi, ibu marah-marah besar padaku seperti tidak tahu betapa aku menahan kesakitan. Sementara ayah bertindak tenang dan menyenangkan membawaku ke rumah sakit. Aku menangis menahan pedih di hati dan fisikku. Beberapa tahun dari itu aku sadar bahwa ayah dan ibu adalah dua kombinasi ciptaan Tuhan yang berbeda namun mereka ditakdirkan menjadi pasangan.
Aku tumbuh besar bersama kakak dan adikku, kami tiga bersaudara. Perempuan semua. Beberapa anak tengah memiliki beberapa keistimewaan dibandingkan anak lainnya, mereka tumbuh dengan pola pikir yang berbeda dibanding saudara-saudaranya. Sempat terbersit di pikiranku, Ibu memliki kedekatan yang tinggi dengan kakak. Sementara ayah menaruh perhatian yang besar terhadap adikku. Kadangkala aku merasa sedikit terabaikan. Labil sedikit aku bisa berontak. Entah karena apa, aku merasa setiap perkataan, pembelaan dan seluruh pola pikirku dianggap bantahan. Akan tetapi moment-moment masa remaja membuatku tak melupakan jasa besar dan pengorbanan mereka. Terutama ibu, yang singkat aku jumpai hingga aku belum genap usia ke enam belas tahun.
Sungguh, tidak pernah terbersit sedikitpun dipikiran kami, apalagi aku. Ibu divonis kanker pancreas stadium akhir, penyakit yang aku fikir hanya ada dalam rekaan dan novel. Dimana orang yang sederhana seperti kami akan jauh dari penyakit seperti itu. Apa daya usaha kami perawatan medis hingga ibu kota provinsi, nyatanya Tuhan memiliki rencana lain. Usai sudah perjalanan ibu di dunia ini meninggalkan kami dalam balutan kesedihan. Rasa sedihku begitu besar, karena aku merasa belum pernah membahagiakan ibu selama hidupnya.
Dan waktupun berlalu, menjadi obat bagi kami. Rasa sedih dan rindu sesekali ada, namun kami tahu hanya doa yang mampu menyatukan ikatan hati antara kami dengan ibu. Diantara kami ayahlah yang paling terlihat tegar. Mulai hari itu ayah menjadi orang tua tunggal (single parent) bagi kami. Peran ayah sekaligus ibu, namun dengan kadar yang kadang aku merasa ayah belum begitu paham bagaimana menjadi seorang ibu. Apalagi seluk beluk ibu rumah tangga yang penuh multitasking.
***
“Ayah ini rasanya hambar..” adikku menggerutu pelan saat kami makan malam sederhana dengan sajian masakan Ayah.
“Di makan saja ya dek, toh Alhamdulilah hari ini kita bisa makan…” hibur Ayah. Aku hanya diam saja dan menyimpan unek-unek rasa masakan ini dalam batin. “Nggak enak yah, masakan ibu kan gurih” Adik menggondok dan justru pergi berlari masuk kekamar. Aku menghela nafas berat melihat hal ini apalagi ayah . Entah rasa sedih apa yang ada dalam benak Ayah.
Ya, jujur kami atau aku sendiri sangat rindu masakan ibu. Tidak hanya lezat di lidah saja, namun terasa hingga ke hati. Karena aku tahu ibu memasaknya dengan ketulusan cinta tanpa pamrih. Toh, bukan berarti aku menilai ayah tidak memiliki cinta kepada kami. Usaha ayah membahagiakan anaknya dari hal-hal kecil hingga besar yang dia perani sendiri sebagai orang tua.
Itu adalah pertemuan kami sekian lama setelah selama ini aku tinggal di rumah nenek yang dekat dengan tempatku melanjutkan studi masa sekolah menengah. Karena satu dan lain hal beberapa minggu kemudian akupun kembali ke rumah nenek, jarak tempuh yang dekat dengan sekolah memudahkan mobilitasku dalam segala urusan didalamnya.
Berselang dua tahun kakak melepas masa lajang, saat akad terucap ketika ibu tak bisa menghadiri. Aku pun terenyuh dalam moment itu moment sederhana takkan terlupa yang membuatku sadar ibupun takkan ada ketika aku menikah nanti. Dan di dunia ini hanya ada ayahku permata ku paling berharga. Ayah menyaksikan moment ketika putri sulungnya dipinang lelaki lain. Dan merestui hubungan mereka sebagai suami istri.
Masa remaja ku kuhabis kan dengan tirakat dan belajar serta beribadah demi apa yang telah diberikan ayah bunda padaku. Diusiaku semuda ini ada jutaan kesempatan yang menungguku disana agar aku menjemput mimpi dan masa depanku. Aku tahu itu tidak akan aku dapat bila aku tetap berada disini walau itu ditempat ternyamanku. Di rumahku.
Dan keberuntungan dan keberkahan datang karena kerja keras dan tawakal, aku berhasil menempuh studi di salah satu universitas terbaik di negeri ini. Jalan setapak membawaku ke proses jalan yang penuh warna. Syukur dari nikmat Tuhan yang tak mungkin aku dustakan.
***
Waktu kian berputar dan akupun merasakan kehidupanku di angka 21 tahun ini, enam tahun tanpa ibu disini. Aku mengenakan pakaian toga, menunggu namaku dipanggil dan nama Ayah pun terpanggil. Diatas podium yang tinggi, dengan wajahku yang terpampang dalam layar yang sangat lebar. Aku menyalami petinggi kampus tempatku meraih gelar sarjana, aku tersenyum tipis, menatap arah ayah. Beliau menangis bahagia dari jauh sana. Sosok yang setia menemani dan berjerih payah mencari rezeki halal untuk kami. Membuatku mengerti bapak rumah tangga terbaik. Dan piala yang di tanganku ini bukan apa-apa dibanding seluruh cintanya. Piala Wisudawan Terbaik.
Surabaya 15 Desember 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H