Paskah merupakan hari di mana umat Kristiani merayakan hari kebangkitan Yesus Kristus. Dalam kepercayaan Kristiani, peristiwa sengsara Yesus merupakan wujud kasih karunia Tuhan bagi kehidupan manusia yang dinyatakan dalam wujud pengorbanan Yesus di kayu salib. Dengan kasih karunia dan pengorbanan tersebut, manusia beroleh selamat dari dosa.
Jadi manusia menang dari dosa karena kasih dan pengorbanan Yesus yang sampai mati di kayu salib. Kemenangan itu nyata ketika kubur tempat Yesus dibaringkan terbukti kosong. Yesus bangkit dan menang dari kuasa maut.
Menurut hemat Penulis, ada 3 hal yang dapat dipetik sebagai pemaknaan dari peristiwa Paskah. Tiga hal tesebut yakni: kasih, pengorbanan dan kemenangan.
Kasih, pengorbanan dan kemenangan, merupakan 3 hal yang saling berhubungan. Kasih atau mengasihi adalah perbuatan yang sarat dengan nilai pengorbanan. Ketika seorang mampu berbagi dalam berbagai bentuk entah pikiran, saran, nasehat, waktu dan harta benda sekecil apapun, maka ada nilai pengorbanan di sini.
Berbagi adalah mengorbankan apa yang kita miliki kepada orang lain. Dengan demikian, tidak ada kasih tanpa pengorbanan. Kita mungkin akan berkata: "saya ikhlas dan tulus memberikan sesuatu," namun tetap saja kita secara nyata, kita berkorban! Jadi, jika kita tidak rela berkorban maka tidak mungkin kita bisa mempraktekan kasih.
Kasih dengan pengorbanan adalah jalan menuju kemenangan hidup. Kita tidak akan memperoleh kemenangan hidup, jika tanpa kasih Allah dalam pengorbanan Yesus. Dengan kasih dan pengorbanan Yesus di kayu salib, maka ada penebusan dosa, dan manusia menang dari kuasa dosa.
Ada kisah ilustratif yang dapat menggambarkan tentang kasih, pengorbanan dan kemenangan. Kisah tersebut yaitu, kisah tentang pertemuan dua ekor kambing.
Alkisah, ada dua ekor kambing dari arah berlawanan berjalan di jalan yang sempit dan di kiri-kanan jalan terdapat jurang. Setelah menempuh perjalanan yang jauh, suatu saat kedua kambing tersebut bertemu di suatu titik yang hanya bisa dilalui oleh seekor kambing saja.
Apa yang harus mereka lakukan? Kembali, adalah jalan yang kurang bijak sebab perjalanan mereka telah jauh, lagipula jalan yang sempit dengan tepi jurang agak beresiko ketika mereka harus berbalik arah. Bertarung demi mendapatkan jalan? Hmmm, beresiko juga. Bisa saja dua-duanya jatuh ke jurang. Lagipula, kalau toh ada salah satu yang menang pertarungan, kambing yang mana yang menang, dan mana yang kalah?
Jadi, bagaimana kemudian supaya bisa menang? Maka berinisiatiflah kambing yang satu, dia merebahkan tubuhnya, memberi kesempatan kepada kambing yang lain melalui jalan sempit itu dengan berjalan menginjak dan melalui tubuhnya.
Yah, kambing yang satu berkorban meskipun diinjak kambing yang lain, asal keduanya selamat. Dia tak rela untuk bertarung meski mungkin dia bisa menang. Dia menerapkan kasih dengan pengorbanan untuk kemudian menang bersama dan selamat bersama. Sebuah kemenangan kehidupan, kemenangan yang penuh kasih dan pengorbanan.
Kambing bisa seperti itu, namun manusia banyak yang tidak lebih bijak dari kambing dalam kisah kita ini. Justru sering ditemui adanya upaya mengorbankan orang lain demi kepentingan kita. Sebuah win-lose oriented (orientasi menang-kalah). Padahal prinsip hidup yang lebih bijak sebenarnya adalah win-win oriented (orientasi menang-menang), anda menang, saya menang. Seperti Kristus yang menang dan memenangkan kita manusia.
Konteks kita saat ini, banyak orang menjadi pemangsa bagi sesamanya. Sikap hidup homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi sesamanya) menjadi dominan dibanding sikap homo homini socius (manusia menjadi rekan/sahabat bagi sesamanya). Yang penting saya menang, peduli amat dengan yang lain!
Padahal, sejak SD kita telah belajar bahwa manusia itu mahluk sosial (homo socius). Namun homo socius sebagai sifat manusia, dewasa ini telah mulai digeser oleh sifat homo economicus (mahluk ekonomi) yang menggiring manusia pada upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi yang terkadang mengesampingkan aspek sosial.Â
Apalagi ketika salah satu prinsip ekonomi yaitu "keuntungan" menjadi dominan dalam praktek hidup, maka jadilah manusia yang lain hanya dilihat dari aspek keuntungan. Kasih dan pengorbanan mengalami disorientasi seperti layaknya praktek jual beli. Memberi atau berkorban harus ada balasannya, take and give. Bukan yang seharusnya yaitu kasih dan pengorbanan yang tulus.
Bahkan, kalau perlu demi keuntungan, jika ada yang harus dimangsa atau dikorbankan, why not? "Yang penting saya untung !" Kalau sudah seperti ini, maka tidak ada lagi makna paskah dalam kehidupan kita, apalagi jika pelaku segala sikap anti sosial tersebut adalah orang Kristen.
Marilah kita introspeksi diri masing-masing, jangan sampai tanpa sadar kita telah menjadi serigala kecil bagi sesama. Jelas, kita tidak akan memiliki mahkota kemenangan di bumi dan di sorga. Belajarlah dari kisah dua kambing: mengasihi, berkorban dan menang bersama.Â
Selamat Paskah saudaraku.
***
(Ditulis ulang dari artikel berjudul: Refleksi Paskah: Kasih, Pengorbanan dan Kemenangan, dalam blog saya: Catatan Meidy Tinangon, www.meidytinangon.com -- 30 Maret 2012)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H