Namaku Eceng, margaku Gondok. Hehe, tak ada yang semarga dengan keluargaku di danau ini. Moyangku diculik tahun 90-an dari pulau seberang karena om dan tante penculik itu terpukau dengan bunga yang cantik menawan. Konon, di kolam sebuah istana.
Dua ahli taksonomi: Carl Friedrich Philipp von Martius dan Hermann Maximilian Carl Ludwig Friedrich zu Solms-Laubach memberi keturunan kami nama ilmiah yang indah. Awalnya Mart memberi kami nama Pontederia crassipes, kemudian Solms akhirnya memberi nama Eichhornia crassipes. Keren, kan? Oh ya, Taksonomi kalau gak salah adalah ilmu tentang pengelompokan mahluk dan tata nama jenis sesuai sifatnya.Â
Aku sampai lupa, aku ini keturunan keberapa. Sudahlah, yang jelas kami penguasa Danau Tondano, di Minahasa Sulawesi Utara, hingga saat ini.Â
Kami menang suksesi tanpa kampanye dan politik uang, hanya politik ruang. Ya, politik ruang. Begini, kompetitor kami Hydrilla, berpaut di tanah dasar danau, berharap nutrisi lumpur danau. Mereka lupa, setiap tumbuhan bergantung pada cahaya sang mentari. Dan kami menutupi ruangnya, dia pun kehilangan cahaya cinta untuk merajut fotosintesa.Â
Kompetitor lain, namanya Kangkung. Ilmu kami sama, ilmu mengapung. Sayangnya, kangkung keasikan menari lenggang kangkung. Dipetik lelaki-lelaki fasung. Disantap bersama teman sekampung. Sementara kami, ditakuti orang sekampung. Makin dipagar, makin menyebar. Â Hehe, selain bunga yang sexy, kami unggul urusan sex. Eits, jangan salah paham sex itu soal reproduksi. Kami beranak, baik kawin atau tak kawin. Kawin berbunga dan berbiji seribu. Tak kawin, bertunas banyak, beranak seibu.Â
Namaku Eceng. Aku disebut Si Rakus. Aku tak marah, itu bukan bully. Aku memang rakus, makan segalanya tanpa kuatir. Makan nasi lumpur, lauk sisa rumput, hingga makan sisa pestisida hingga merkuri. Makanya, aku juga ada di kolam limbah industri. Tak takut polusi, malahan mencerna polutan.Â
Ah, asyiknya kerakusan ini. Makanan berlimpah, berkuasa lagi. Tak usah cemburu padaku. Toh aku tak punya tabungan gede, tak punya mobil mewah, dan, rumah mewah juga tak punya. Bisa makan, bisa berenang bebas, itu sudah cukup. Bahagia.
Merasa terganggu denganku? Tak mengapa. Akupun rela. Sekaligus kasihan. Sudah sekian lama usaha bersama menghentikan kekuasaanku, selalu gagal dan berulang. Â Padahal, berulang kali biaya besar teranggarkan. Milyar.Â
Hai manusia, cerdaslah menghadapiku. Tak usah menghabisi seluruh keluargaku. Nanti dituduh genocide. Hehe.Â
Kendalikan saja diriku secara fisik. Kurung dalam zona nyaman. Panen aku sebelum aku kawin dan berbunga. Dan jangan kau potong diriku, lalu biarkanku pura-pura mati di tepi danau. Esok hari kau kembali aku bangkit menjadi seribu. Siap menyedot seribu kali seribu uangmu. Lagi. Dan, kalau toh aku mati, aku mencipta makanan bagiku, tetapi kotor bagi danaumu. Aku rakus, makan yang kotor-kotor.
Kalau toh aku terpaksa mati, aku adalah uang yang siap dicetak. Tak percaya? Jadikanku pupuk organik. Jadikanku kertas, jadikan diriku kursi dan meja yang cantik, jadikanku pakan ternak, jadikanku biogas. Lalu, tukar aku dengan rupiah.Â
Sederhana bukan? Begitulah aku. Eceng, si rakus di Danau Tondano. Tapi aku cukup bijak bukan? Aku berkuasa sekarang, tetapi rela kehilangan kuasa. Aku tahu Tuhan Allah kita berfirman: "Hai manusia berkuasalah terhadap segala yang Kucipta di bumi." So, Berkuasalah padaku dengan bijak. Aku Eceng, si rakus itu, dicipta bukan tanpa rencana. Bukan tanpa manfaat. Aku punya keunggulan. Sayang aku tak punya otak, beda dengan kau. Manusia.
Salam dariku. Eceng Si RakusÂ
Catatan: Fasung (Minahasa, Manado) = ganteng
Baca Juga:Â
Sang Putri dan Ozon yang Menderita
Sungai Tondano: Sungai Darah dan Perjuangan yang Kini Dijajah Eceng Gondok
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI