Sungai Tondano selain sebagai sumber kehidupan, juga memiliki nilai historik. Segudang problema yang dialami sungai bersejarah tersebut membutuhkan solusi bagi pelestariannya
Sungai Tondano terletak di Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Nama "Tondano" berasal dari nama Kota Tondano, ibukota Kabupaten Minahasa, kota dimana sebagian aliran sungai tersebut berada. "Tondano" berasal dari bahasa lokal yaitu Bahasa Tondano: "tou" yang artinya orang atau manusia, dan "rano" yang artinya air.Â
Hulu sungai atau kepala Sungai Tondano terletak di Kelurahan Toulour Kecamatan Tondano Timur. Tepatnya di daerah aliran keluar  (outlet) Danau Tondano, yang menjadi sumber utama aliran air Sungai Tondano.Â
Sungai Tondano bermuara di Teluk Manado, wilayah Kota Manado, Ibukota Provinsi Sulawesi Utara.Â
Sungai Darah dan Perjuangan
Sungai Tondano menyimpan catatan historis perjuangan bangsa. Dalam catatan sejarah, perjuangan rakyat Minahasa melawan kompeni adalah momentum historik yang dikenal sebagai Perang Tondano. Dalam beberapa catatan, peristiwa heroik tersebut terjadi sebanyak dua kali, sehingga disebut Perang Tondano I dan Perang Tondano II.
Perang Tondano I terjadi pada tanggal 1 Juni 1661 hingga 1664. Perang ini merupakan kisah heroik yang dilakukan oleh rakyat yang bermukim di sekitar Danau Tondano, tepatnya di sebelah selatan Kota Tondano sekarang ini, yang dahulu disebut Minawanua, melawan pasukan kolonial Belanda (Merdeka.com).
Perang Tondano II terjadi pada 1808-1809 adalah perang yang melibatkan orang Minahasa dan pemerintah kolonial Belanda. Perang pada permulaan abad XIX ini terjadi akibat dari implementasi politik pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh para pejabatnya di Minahasa, terutama upaya mobilisasi pemuda untuk dilatih menjadi tentara (Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, 2012 via Wikipedia.org).
Baik Perang Tondano I maupun Perang Tondano II lokusnya sama yaitu di sebuah tempat dekat outlet Danau Tondano atau hulu Sungai Tondano hingga daerah hilir sungai yang oleh penduduk sekitar menyebutnya "teberan". Â Daerah tersebut dikenal dengan sebutan Minawanua yang merupakan basis pertahanan para waraney (pejuang) Perang Tondano, dengan sebuah benteng pertahanan yaitu Benteng Moraya.
Sungai Tondano yang berbatasan langsung dengan Minawanua dan Benteng Moraya, dengan sendirinya menjadi bagian dari strategi dan dinamika perang. Di penghujung perang yang berakhir dengan kekalahan pejuang-pejuang Minahasa, dikisahkan bahwa Sungai Tondano penuh dengan darah atau bercampur darah para waraney yang gugur.Â
Baca juga: Di Antara Sisa Puing-puing Benteng Moraya 021120
Nama Benteng Moraya, asal-usulnya disebut-sebut bertalian dengan darah dalam Bahasa Tondano yairu: meraa' (=berdarah), yang digabung dengan kata waya (=semua) menghasilkan frasa meraa' waya (berdarah semua atau penuh dengan darah). Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa nama Moraya berasal dari Bahasa Spanyol, moraya, yang memang artinya benteng.
Dengan deskripsi di atas, maka rasanya cukup beralasan menyebut Sungai Tondano sebagai "Sungai Darah dan Perjuangan".Â
Kekinian Sungai Tondano:Â Dijajah Eceng Gondok
Sungai Tondano dalam dinamika pembangunan dan kehidupan masyarakat Sulawesi Utara memegang aspek strategis. Selain sebagai sumber pencaharian masyarakat nelayan, sarana transportasi, dan daerah wisata alam, Sungai Tondano merupakan sumber energi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tanggari dan Tonsea Lama. Di samping itu, juga merupakan sumber air minum di daerah Kota Manado, lewat pengolahan Perusahan Daerah Air Minum (PDAM).
Namun demikian, selain fungsi vital tersebut, tak dapat dipungkiri Sungai Tondano kini dihimpit berbagai problema ekologis.Â
Masalah-masalah yang melanda sungai kebanggaan daerah nyiur melambai tersebut meliputi: pendangkalan, banjir akibat meluapnya sungai, dan serangan eceng gondok, Eichornia crassipes.
Masalah ledakan populasi eceng gondok telah dimulai sekitar tahun 1990-an. Invasi gulma air tersebut dimulai dari Danau Tondano, kemudian meluas hingga ke daerah outlet danau, hingga akhirnya sampai ke sungai.Â
Selain dampak-dampak ekologis, imperialisme eceng gondok memengaruhi aspek transportasi, ekonomi dan pariwisata.Â
Memerdekakan Sungai Tondano:Â Butuh Solusi Komprehensif dan Sustainable
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Minahasa didukung berbagai lapisan masyarakat. Namun sampai saat ini, eceng gondok masih menjadi masalah, baik di Danau Tondano maupun di Sungai Tondano.Â
Masalah-masalah ekologi memang tidak bisa diselesaikan hanya dengan memerhatikan satu aspek saja. Apalagi menghadapi spesis gulma yang memiliki kecepatan penyebaran yang tinggi.Â
Selain komprehensif, juga butuh pemanganan yang sistematis dan berkelanjutan (sustainable).Â
Pertumbuhan dan penyebaran eceng gondok harus dikendalikan dengan memerhatikan siklus hidupnya.Â
Si imperialis ekologis ini punya dua senjata perkembangbiakan: vegetatif dengan stolon yang cepat berkembang, dan generatif dengan biji dalam jumlah besar. Hal inilah yang membuatnya menjadi penguasa di danau maupun sungai.Â
Banyak aspek lainnya yang perlu diperhatikan dalam pengendalian eceng gondok. Aspek-aspek tersebut perlu dirembukan lagi agar supaya Sungai Tondano (juga Danau Tondano) bisa menikmati kemerdekaannya, yang berarti juga kemerdekaan masyarakat dari imperialisme ekologis.Â
Selamat menyambut HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke -76. Â Sebuah kemerdekaan manusia, udara, tanah dan air Indonesia. Merdeka !!!
Tarumakase laker (Terima kasih banyak)
***
Artikel terkait:Â Menjemput Senja Penuh Makna di Minawanua
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI