Sungai Tondano yang berbatasan langsung dengan Minawanua dan Benteng Moraya, dengan sendirinya menjadi bagian dari strategi dan dinamika perang. Di penghujung perang yang berakhir dengan kekalahan pejuang-pejuang Minahasa, dikisahkan bahwa Sungai Tondano penuh dengan darah atau bercampur darah para waraney yang gugur.Â
Baca juga: Di Antara Sisa Puing-puing Benteng Moraya 021120
Nama Benteng Moraya, asal-usulnya disebut-sebut bertalian dengan darah dalam Bahasa Tondano yairu: meraa' (=berdarah), yang digabung dengan kata waya (=semua) menghasilkan frasa meraa' waya (berdarah semua atau penuh dengan darah). Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa nama Moraya berasal dari Bahasa Spanyol, moraya, yang memang artinya benteng.
Dengan deskripsi di atas, maka rasanya cukup beralasan menyebut Sungai Tondano sebagai "Sungai Darah dan Perjuangan".Â
Kekinian Sungai Tondano:Â Dijajah Eceng Gondok
Sungai Tondano dalam dinamika pembangunan dan kehidupan masyarakat Sulawesi Utara memegang aspek strategis. Selain sebagai sumber pencaharian masyarakat nelayan, sarana transportasi, dan daerah wisata alam, Sungai Tondano merupakan sumber energi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tanggari dan Tonsea Lama. Di samping itu, juga merupakan sumber air minum di daerah Kota Manado, lewat pengolahan Perusahan Daerah Air Minum (PDAM).
Namun demikian, selain fungsi vital tersebut, tak dapat dipungkiri Sungai Tondano kini dihimpit berbagai problema ekologis.Â
Masalah-masalah yang melanda sungai kebanggaan daerah nyiur melambai tersebut meliputi: pendangkalan, banjir akibat meluapnya sungai, dan serangan eceng gondok, Eichornia crassipes.
Masalah ledakan populasi eceng gondok telah dimulai sekitar tahun 1990-an. Invasi gulma air tersebut dimulai dari Danau Tondano, kemudian meluas hingga ke daerah outlet danau, hingga akhirnya sampai ke sungai.Â
Selain dampak-dampak ekologis, imperialisme eceng gondok memengaruhi aspek transportasi, ekonomi dan pariwisata.Â
Memerdekakan Sungai Tondano:Â Butuh Solusi Komprehensif dan Sustainable