Mohon tunggu...
Meidy Y. Tinangon
Meidy Y. Tinangon Mohon Tunggu... Lainnya - Komisioner KPU Sulut | Penikmat Literasi | Verba Volant, Scripta Manent (kata-kata terbang, tulisan abadi)

www.meidytinangon.com| www.pemilu-pilkada.my.id| www.konten-leadership.xyz| www.globalwarming.blogspot.com | www.minahasa.xyz| www.mimbar.blogspot.com|

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Partisipasi Politik, Antara Teks Global dan Konteks Indonesia

7 Juni 2020   22:54 Diperbarui: 7 Juni 2020   23:02 4142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
|| www.study.com ||

Salah satu unsur penting demokrasi adalah partisipasi. Demokrasi mati tanpa partisipasi. Dalam konteks politik sebagai ilmu dan juga sebagai bagian dari peradaban, tak bisa dipungkiri banyak berkembang teori-teori (tekstual) partisipasi politik. Teori-teori tersebut berangkat dari konteks dan perspektif yang berbeda namun dalam kondisi universalitas ilmu yang tak bersekat, ditambah dengan arus globalisasi informasi dengan perkembangan dunia digital maka beragam teori akan memasuki relung-relung kontekstual-kultural jutaan lokalitas wilayah yang tidak mungkin menghadang teori-teori tersebut. Masalah ditemukan ketika teori/teks global tersebut diterapkan dalam konteks lokal. Belum tentu cocok dan konstruktif. Bisa saja yang akan terjadi adalah efek destruktif dari partisipasi politik.

Pustaka ilmu tentang partisipasi politik sungguh beragam. Tingkat aksesibilitas ilmu di era digital sekarang ini menjadi media yang subur bagi tumbuh kembang dan lalu lintas ilmu antar negara, lembaga dan personal. Salah satu teks global yang coba diangkat dalam artikel ini adalah teori partisipasi politik yang diungkap Samuel P. Huntington dan Joan Nelson. 

Partisipasi Politik: Menurut Teks Huntington dan Nelson 
Partisipasi politik adalah aktivitas warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara yang didorong oleh kesadaran politik yang sukarela. 

Namun, Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries, menyebut bahwa partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Partisipasi sukarela dan mobilisasi hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik.

Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian. 

Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political Participation in Europe. Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani).

Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi politik. Huntington dan Nelson membagi landasan partisipasi politik ini menjadi :

  1. kelas -- individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa.
  2. kelompok atau komunal -- individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang serupa.
  3. lingkungan -- individu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan.
  4. partai -- individu-individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintahan, dan
  5. golongan atau faksi -- individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang tidak sederajat.

Mode partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan partisipasi politik. Model ini terbagi ke dalam 2 bagian besar : Conventional dan Unconventional. Conventional adalah mode klasik partisipasi politik seperti Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan 1950-an. 

Unconventional adalah mode partisipasi politik yang tumbuh seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students protest), dan teror. 

Jika mode partisipasi politik bersumber pada faktor "kebiasaan" partisipasi politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi :

  1. Kegiatan Pemilihan -- yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu;
  2. Lobby -- yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu;
  3. Kegiatan Organisasi -- yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah;
  4. Contacting -- yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan
  5. Tindakan Kekerasan (violence) -- yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.

Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson tersebut, telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal.

Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson relatif lengkap. Hampir setiap fenomena bentuk partisipasi politik kontemporer dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi mereka. Namun, Huntington dan Nelson tidak memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subyektif individu.

Praksis Partisipasi Politik: Konteks Lokal Indonesia
Dari beragam teori partisipasi politik, sebagaimana uraian di atas, teks yang diangkat adalah apa yang disampaikan oleh Huntington dan Nelson. 

Teori-teori apapun itu, menurut hemat saya tidak semua berlaku global, dalam pengertian, tidak semua cocok dengan konteks dimana teori tersebut akan diterapkan. Teks lahir dari perspektif dan pengalaman yang berbeda. Sebagai contoh, penerapan teori demokrasi di AS berbeda dengan penerapannya di Indonesia. Sistemnya pun berbeda.

Untuk dapat diterapkan dalam konteks tertentu, maka perlu adanya adaptasi dan modifikasi dari teks global untuk bisa connect dengan konteksnya. Kesulitannya adalah, ketika nafsu praksis politik, preferensi politik serta interest politik sangat kuat mengendalikan tindakan partisipasi politik. 

Padahal sejatinya, politik adalah sebuah usaha atau aktivitas yang mengandung nilai dan tujuan untuk keteraturan dan kebajikan bersama. Kekuasaan politik haruslah diraih dengan cara dan proses atau prosedur politik yang juga mengandung nilai substansial.

Dalam kondisi ini, maka salah satu faktor yang sangat vital dalam mengendalikan ke-tidak-teraturan menuju keteraturan adalah hukum dan penegakannya. Hukum bisa memberi ruang gerak sebuah aktivitas, tetapi juga bisa melakukan pembatasan-pembatasan tertentu. 

Berangkat dari teks Huntington dan Nelson terkait dengan bentuk-bentuk partisipasi politik maka beberapa pertimbangan dalam kerangka berpikir penerapannya dalam konteks Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, kegiatan pemilihan yaitu yang berkaitan dengan kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu, kesemuanya diatir dalam konstitusi dan peraturan-perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. 

UUD NRI 1945 mengatur kegiatan Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah dalam 2 rejim yang berbeda, yaitu rejim Pemilu dan Pemerintahan Daerah. Undang-undangnya pun berbeda, UU Pemilu dan UU Pilkada/Pemilihan. Dengan pengaturan yang berbeda, maka bentuk partisipasinya pun berbeda antara Pemilu dan Pilkada. 

Seringkali terjadi salah kaprah terhadap Pemilu dan Pilkada yang menyebabkan pandangan yang kurang tepat. Misalnya, dalam beberapa artikel menyoal keterlibatan pemerintah dalam proses Pilkada melalui Mendagri dan Kepala Daerah, yang mengarah pada tudingan intervensi pemerintah. Padahal, sistem kita telah mengatur untuk Pilkada memang ada porsi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah.

Hal lainnya misalnya terkait dengan bentuk partisipasi dengan menjadi tim sukses. Undang-undang kita mengatur siapa yang boleh dan tidak boleh masuk dalam struktur tim sukses.

Kedua, lobby yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi atau berkomunikasi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu. Hal ini dimungkinkan oleh konstitusi juga Undang-undang tentang Partai Politik maupun Undang-undang MD3.  hal penting yang perlu diperhatikan adalah bagaimana keterbukaan lembaga-lembaga demokrasi termasuk Parpol dalam menangkap aspirasi lewat proses lobby atau komunikasi dialogis. 

Ketiga, kegiatan organisasi  berupa partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Konstitusi kita mengatur hal tersebut sebagai sebuah kebebasan berserikat dan berkumpul. 

Namun demikian kebebasan tersebut bukan bebas tanpa batas. Warga negara harus tunduk pada perangkat normatif yang mengatur syarat dan prosedur mendirikan maupun bagaimana beraktivitas dalam organisasi. Sepanjang sebuah regulasi yang mengatur adalah sah dan mengikat setiap warga negara, maka sepanjang itu juga warga negara harus taat dalam partisipasinya.

Keempat, contacting yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka. Inipun diatur oleh perangkat peraturan perundang-undangan sebagai hak kelompok dan individu serta kewajiban pemerintah untuk memfasilitasi dan menangkap aspirasi yang terkait dengan keputusan pemerintahan. Perangkat aturan tersebut diantaranya UU tentang Administrasi Pemerintahan dan UU tentang Kebebasan Informasi Publik.  

Kelima, tindakan kekerasan (violence) berupa tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan. Hal ini dalam konteks ber-Indonesia yang harus dihindari. Negara kita anti kekerasan. 

Aspirasi dalam partisipasi tidak harus dilakukan dengan jalan kekerasan. Bentuk partisipasi pertama hingga ke empat di atas merupakan pilihan yang cocok dan konstitusional dalam implementasi partispasi politik. Untuk mencegah tindakan kekerasan, maka bentuk partisipasi politik dalam kegiatan pemilihan, lobby, kegiatan organisasi dan contacting harus berjalan dengan baik dan efektif sehingga dapat membuka ruang partisipasi yang positif dan konstruktif, bukan sebaliknya, partisipasi yang destruktif.

Dari uraian di atas, hendak mengatakan bahwa demikian pentingnya peran hukum dan penegakannya dalam konteks penataan praksis partispasi politik. Masyarakat pun dituntut untuk menjalankan partisipasi sesuai dengan norma hukum yang berlaku. 

Dari teks ke konteks, partisipasi politik sesungguhnya harus berada dalam koridor kesadaran hukum dan penegakannya. Norma hukum harus menjadi panduan dan panglima bagi penerapan partisipasi politik.   

*****
Referensi dan bahan bacaan:

Christina Holtz-Bacha, Political Disaffection, dalam  Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia of Political Communication, (California : Sage Publications, 2008) p.577-9.

Jan W. van Deth, Political Participation, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia of Political Communication, (California : Sage Publications, 2008) p.531-2.

Kai Arzheimer, Political Efficacy, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia of Political Communication, (California : Sage Publications, 2008) p. 579-80.

Oscar Garcia Luengo, E-Activism New Media and Political Participation in Europe, (CONFines 2/4 agosto-diciembre 2006)

Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990) h. 9-10.

Note: Sebagian isi tulisan ini pernah tayang tahun 2013 di web blog saya: www.info-pemilu-pilkada.online.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun