Jika suatu ketika lapisan es di bumi mencair maka ketinggian permukaan air laut dapat dipastikan naik hingga 64 meter
Demikian diungkap Nikolai Osokin, pakar glaciologi pada Institut Geografi, Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia dalam suatu kesempatan di Tahun 2007 sebagaimana dilansir AntaraNews. Ia memperkirakan, kota-kota ditepi pantai kemudian tenggelam di bawah permukaan air, termasuk Belanda, yang sebagian besar wilayahnya notabene berada di bawah permukaan air laut. Bagaimanapun juga, baik Belanda maupun seisi planet bumi yakin bahwa kehancuran yang luar biasa dapat terjadi setiap saat dalam beberapa ribu tahun mendatang.
Topik hangat (hot topic) lingkungan hidup global dalam beberapa tahun terakhir ini adalah pencairan lapisan es (melting ice) di kutub akibat pemanasan global (global warming). Pemanasan global adalah bencana global bagi peradaban global yang sepertinya belum kita sadari. Apalagi bagi kita yang masih terperangkap dalam suatu pola pikir (mind set) dan pola tindak yang saya istilahkan sebagai: "perspektif penumpang Titanic".
Menurut Wikipedia.org, RMS Titanic adalah sebuah kapal penumpang super Britania Raya yang tenggelam di Samudra Atlantik Utara pada tanggal 15 April 1912 setelah menabrak sebuah gunung es pada pelayaran perdananya dari Southampton, Inggris ke New York City.Â
Tenggelamnya Titanic mengakibatkan kematian sebanyak 1.514 orang dalam salah satu bencana maritim masa damai paling mematikan sepanjang sejarah. Titanic merupakan kapal terbesar di dunia pada pelayaran perdananya. Kapal ini dibangun pada 1909 sampai 1911 dan sanggup mengangkut 2.224 penumpang.
Kita bertahan dalam paradigma berpikir bahwa bumi ini ibarat "kapal besar , kokoh dan tak mungkin tenggelam". Sama dengan paradigma berpikir para penumpang kapal besar Titanic yang kala itu yang sangat kagum dan percaya diri memandang Titanic sebagai kapal yang megah, kokoh dan tak mungkin tenggelam.Â
Namun, tanpa kita sadari ternyata bumi perlahan-lahan bocor, hancur dan tenggelam sementara kita, "penumpang bumi" lambat menyadarinya, sama halnya dengan penumpang Kapal Titanic
Di samping paradigma berpikir "perspektif penumpang Titanic" di atas, kita memang demikian gampang  untuk tidak menyadari bahwa bahaya lingkungan hidup global sudah berada di depan mata kita, karena sifat dari bahaya global bernama pemanasan global tersebut memang tidak langsung membunuh tapi dampaknya terjadi secara perlahan-lahan dan sebenarnya kita sedang merasakannya saat ini.
Tanda-tanda terjadinya pemanasan global sebenarnya telah dan sedang kita rasakan, ketika kita merasakan panas bumi kita beda dengan panas puluhan tahun sebelumnya. Termometer alami dalam tubuh kita memang merasakan daya sengat panas matahari saat ini lebih meningkat dibanding waktu-waktu yang lalu. Mengapa demikian? panas sang surya yang mencapai bumi yang harusnya dipantulkan kembali terperangkap oleh gas rumah kaca di atmosfer.
Tanda-tanda lainnya adalah ketika petani mengeluh karena musim yang tak menentu yang akhirnya mengacaukan pola tanam jenis yang bergantung pada keteraturan siklus musim panas  dan hujan. Suatu kondisi yang berbeda dengan kondisi tempo dulu, di mana petani tahu persis kapan musim panas - kapan musim hujan.
Gelombang pasang air laut yang menyebabkan ratusan warga mengungsi beberapa tahun lalu juga dapat dibaca sebagai dampak pemanasan global dan melting ice. Di laut dampak bencana global ini juga mulai terkuak. Hasil penelitian Global Coral Reef Monitoring Network menunjukkan, lebih dari dua pertiga terumbu karang di seluruh dunia telah rusak, bahkan terancam punah. Ancaman ini tak lain karena adanya pemanasan global yang tengah terjadi.
Pemanasan global merupakan ancaman besar yang terjadi sebagai akibat dari serangkaian peristiwa, yang nantinya akan kita temui bahwa asal muasal terjadinya berawal dari tindakan manusia yang tidak mampu memprediksi dampak kedepan, sehingga tidak antisipatif dan lebih mengutamakan kepuasan ekonomi semata tanpa memperhitungkan aspek keberlanjutan (sustainable) dari suatu planet bumi yang cuma ada satu.
Kisah "amarah bumi" ini memang berawal dari aktifitas manusia. Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan dampak dari Efek Rumah Kaca (ERK) yang sebenarnya adalah proses alami karena memungkinkan kelangsungan hidup semua makhluk di bumi. Tanpa adanya Gas Rumah Kaca, seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), atau dinitro oksida (N2O), suhu permukaan bumi akan 33 derajat Celcius lebih dingin.
Masalah timbul ketika aktivitas manusia menyebabkan peningkatan konsentrasi selimut gas di atmosfer (Gas Rumah Kaca) sehingga melebihi konsentrasi yang seharusnya. Maka, panas matahari yang tidak dapat dipantulkan ke angkasa akan meningkat pula. Semua proses itu lah yang disebut Efek Rumah Kaca.
ERK merupakan fenomena yang sama dengan yang bisa kita temui saat membiarkan mobil kita diparkir dalam keadaan panas terik dan kaca mobil tertutup rapat. Kita pasti akan merasakan panas yang hebat dalam ruang mobil kita, karena sisa panas yang masuk ke dalam mobil tak dapat dipantulkan keluar sebab tertahan lapisan kaca.
Sejak awal jaman industrialisasi, awal akhir abad ke-17, konsentrasi Gas Rumah Kaca meningkat drastis. Diperkirakan sejak tahun 1880 temperatur rata-rata bumi meningkat 0.5 - 0.6 derajat Celcius akibat emisi Gas Rumah Kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia.
Jenis GRK yang memberikan sumbangan paling besar bagi emisi gas rumah kaca adalah karbondioksida, metana, dan dinitro oksida. Sebagian besar dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) di sektor energi dan transportasi, penggundulan hutan  dan pertanian . Sementara, untuk gas rumah kaca lainnya (HFC, PFC, SF6 ) hanya menyumbang kurang dari 1% .
Tahun 1988, Antony Milne dalam bukunya berjudul "Dunia di Ambang Kepunahan" (judul asli: Our Drowning World) menulis bahwa manusia menjadikan  bumi rumah yang panas dengan cara penebangan pohon dan perusakan tumbuhan dalam jumlah yang besar. Karena bila bahan bakar fosil (dalam bentuk tanaman yang mati atau tertimbun) dibakar, dan bila pohon-pohon yang hidup ditebas, sejumlah besar karbon dioksida (CO2) dilepaskan ke dalam atmosfer.
Milne tidak sembarang bicara, dia mengungkap fakta hasil riset yang mencengangkan mengenai penggunaan bahan bakar fosil. Sejak Revolusi Industri, sebanyak 400.000 milyar ton gas CO2 dilepaskan ke udara. Dan sejak awal abad -20 kita menggunakan  begitu banyak batu bara, minyak dan minyak tanah untuk mengolah perekonomian kita  sehingga menambah 20 % jumlah gas ini.Â
Diperkirakan sebanyak  5,5 milyar ton molekul karbon dipompa ke dalam ekosistem setiap tahun. Hal tersebut diperparah oleh perusakan hutan yang pertumbuhannya mencapai hutan klimaks membutuhkan waktu 50 sampai 100 tahun. Padahal hutan (dan juga samudera) sering disebut sebagai paru-paru bumi yang mengendalikan keseimbangan oksigen dan karbondioksida. Jika Karbondioksida dalam jumlah yang berlebihan maka gas ini akan memerangkap atau manahan panas yang harusnya dipantulkan kembali ke atmosfer bagian atas. Disinilah muncul Efek Rumah Kaca (ERK).
Jadi, ERK menyebabkan pemanasan bumi, disebabkan oleh emisi  GRK yang tinggi ke udara akibat penggunaan bahan bakar fosil dan berbagai bentuk kegiatan manusia yang melepas GRK, diperparah dengan degradasi hutan atau tumbuhan yang sebenarnya dapat menyerap CO2 lewat proses fotosintesis.
Apa yang perlu kita lakukan?
Kondisi bumi yang panas akhirnya kita sadari merupakan ulah kita sendiri misalnya dengan menghasilkan emisi karbon dan menghilangkan hutan di lingkungan sekitar kita. Ancaman global berwujud pemanasan global, mau tidak mau harus kita tangani kalau ingin anak cucu kita menikmati kehidupan yang lebih sejuk dan nyaman.
Tak usah berbuat yang diluar batas kemapuan kita. Berbuatlah dahulu dalam skala lokal untuk menghadapi bahaya global. Kita memang hanya menempati setitik tempat dalam peta dunia, namun bukan berarti lokalitas kita yang kecil tidak bisa memberikan kontribusi yang berarti bagi penanggulangan pemanasan global. Kita harus segera bertindak sebelum panas global yang meningkat akhirnya semakin mengacaukan iklim, mencairkan  es di kutub dan ancaman banjir global, gelombang pasang dan bahaya ikutan lainnya  menyerang kita.
Dua hal bisa kita lakukan yaitu dengan upaya "adaptasi"Â dan "mitigasi". Kegiatan beradaptasi antara lain menanam pohon. Kegiatan mitigasi atau pengurangan efek gas rumah kaca dapat dilakukan dengan hemat energi, tidak konsumtif, mengurangi dan mengelola sampah, serta efisiensi penggunaan transportasi.
Upaya-upaya sederhana perlu kita mulai sekarang dari rencana tindakan-tindakan lokal. Jika banyak region lokal bertindak dengan menanam pohon (penghijauan) maka tindakan lokal dalam kuantitas besar akhirnya menjadi kekuatan global menghadapi ancaman global. Pohon meningkat berarti membantu mengurangi gas CO2 di udara. Disamping itu, upaya pengurangan penebangan pohon perlu dilakukan, termasuk kebijakan minimalisasi penggunaan kertas (paperless).
Menghemat energi dan tidak konsumtif perlu menjadi budaya hidup kita. Sampah harus diolah jangan menambah emisi karbon jika kita hanya berpikir timbun dan bakar. Daur ulang sampah dapat memberikan nilai tambah misalnya dengan mengolah sampah organik menjadi biogas dan pupuk organik sedangkan sampah anorganik dapat diolah menjadi bahan bermanfaat.
Semua itu harus dimulai dari munculnya kesadaran dan perubahan paradigma berpikir karena segalanya telah berubah tetapi - meminjam istilah Einstein --Â "... yang belum berubah adalah cara berpikir kita".
Kita harus mengubah paradigma berpikir dari paradigma "Titanic tanpa kewaspadaan" menuju "Titanic dengan kewaspadaan". Bumi kita memang ibarat kapal yang besar --seperti Kapal Titanic-- tapi, ingat bumi kita seperti juga Titanic bisa hilang keseimbangan, hancur dan menurut Anthony Milne sudah diambang kepunahan. Karena itu, tetap waspada dengan bertindak pro lingkungan.
Sekali lagi, save the earth dan  waspadalah!!!
Selamat Hari Bumi #DiRumahAja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H